Pernikahan

Cerita Pendek

Pernikahan

Ayu Prawitasari - detikHot
Sabtu, 25 Jun 2022 10:28 WIB
ilustrasi cerpen
Foto: ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Air mata ibu membasahi wajahku saat aku mendongak sambil bergumam meminta doa keselamatan darinya. Rasanya terbayar sudah. Ibu benar-benar bahagia melihatku dalam kebaya merah berbahan tulle yang bold, yang entah bagaimana berhasil membalut kulit pucatku menjadi seorang perempuan cantik yang sungguh bahagia di hari itu.

Kebaya tersebut dengan manipulatif juga mampu mengabaikan keinginanku yang tiba-tiba agar segera lari dari tempat itu, menjemput kemerdekaanku yang terancam hilang setelah pernikahan ini. Tapi, kurasakan mantra ibu benar-benar melekat pada kebaya dan jarit yang kukenakan. Mantra itu menyihirku supaya patuh menyelesaikan tradisi sungkem, membuatku sadar bahwa kini ada rantai di kakiku yang kuncinya hilang di lautan bersama orang-orang yang tersesat di dasarnya. Beginilah kehidupan baruku dimulai.

***

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bertahun-tahun yang lalu.

"Tapi usiamu terus berjalan. 32 tahun sudah. Bagaimana ibu bisa menjelaskan kepada orang-orang kenapa kau tidak segera menikah sementara kau punya teman dekat untuk orang yang tidak juga kau sebut sebagai pacar meskipun kalian sering berdua?" kata ibu sambil menaruh tes panas dan jajanan pasar di meja makan, menggeleng-gelengkan kepala melihat jins sobek dan tank top hitam yang kukenakan.

ADVERTISEMENT

Aku baru saja saja menginjakkan kaki di rumah setelah perjalanan 10 jam lamanya. Kupikir ibu akan memelukku, bertanya apakah perjalananku menyenangkan, bagaimana hariku, dan bukannya mengomentari celana serta atasanku setelah setengah tahun lebih kami berdua tak bertemu.

Bapak mendecakkan lidahnya, kebiasaannya saat tak suka dengan suasana di hadapannya. Ia ingin ibu berhenti mengucapkan hal-hal yang tak perlu dan ia ingin aku tak menjawab pertanyaan menjebak ibu. Namun, aku memilih berpura-pura tak menyimak dehamannya itu meski sebenarnya seluruh indraku langsung aktif begitu aku membuka pintu pagar rumah di kampung halaman.

"Dalam bus tadi aku pakai jaket. Masak iya malam-malam di bus AC aku pakai tank top. Paginya ya jaket kulepas, sungguh segar saat kulitku terkena matahari, tidak dibekap jaket terus. Apanya yang salah ibu?" jawabku sambil mengunyah kue kuro, kue kesukaan kakek yang sering kami makan berdua setelah bersepeda pagi saat aku masih kecil dulu. Baru aku sadari bahwa menjadi dewasa ternyata jauh lebih rumit dan merepotkan. Sayangnya menjadi kecil hanya sekali dan menjadi dewasa juga hanya sekali, jadi kuharap segala kerumitan ini segera berlalu.

Ibu menghela napas panjang, tidak berkata apa-apa, memilih diam sambil mengamati pakaianku dengan tatapan yang dalam bahasa verbal kuterjemahkan sebagai anak yang belum mendapat pencerahan. Aku malas bertanya lagi karena aku sudah tahu jawabannya.

Ibu pasti akan mengatakan jilbab bakal membuatku lebih cantik di usiaku yang juga sudah matang ini. Wajar memang ibu mengatakannya karena nyaris semua perempuan muslim di negeriku ini sekarang memakai kerudung, bahkan sejak mereka baru lahir di dunia.

Kondisinya begitu berbeda saat aku masih kecil dulu, waktu semua anak kecil berkeliaran di jalan hanya dengan kaus sporot dan celana pendek, memanjat pohon mangga, mengumpulkan kecebong di ember, bermain bola dengan gawang sandal, dan bukannya menunduk dengan tangan mencengkeram ponsel sambil berfantasi absurd dalam permainan role player di kamar yang tertutup.

Jadi kini memang tinggal aku, perempuan menjelang tua, yang belum mendapat pencerahan karena tak juga menutup rambutku. Yang lebih celaka, perempuan itu belum juga menikah. Begitulah cara ibu menggiring sebuah percakapan sehingga selalu membuatku merasa bersalah.

"Hidup ini sekejap, sangat sebentar. Pikirkanlah. Belajarlah dewasa," kata ibu pelan sebelum melangkah ke dapur, meninggalkanku sendirian di ruang tengah. Obrolan usai, singkat sekali, sesingkat kunjunganku di kampung halaman yang hanya dua kali dalam setahun dan tidak akan pernah lebih.

Sambil menyeruput teh panas dan menggigit kacang hijau di dalam kue kuro yang terasa lumer di mulutku, kupandangi puluhan foto yang tergantung rapi di ruang tengah. Aku tersenyum sendiri saat menyimaknya, sesuatu yang jarang sekali kulakukan.

Ada bayi perempuan yang menangis di pangkuan ibu, bayi itu aku. Ibu sungguh cantik di foto itu, rambutnya dicepol, memakai dress pink dengan tatapan mata tak fokus, mungkin sibuk menenangkan aku yang tak juga bisa berpose manis di depan kamera.

Foto lain diambil bapak ketika ibu baru saja mengeluarkan kue dari oven ditemani anak balita kecil yang sibuk menjilati cairan mirip adonan tepung manis di lantai. Lagi-lagi pandangan ibu tak fokus, antara puas melihat kue yang hangat dan ingin memamerkannya di depan kamera sekaligus ngeri melihat kelakuanku.

Pandanganku lantas beralih pada foto ibu di pinggiran kolam renang. Ibu sedang memegangi tanganku dengan alis bertaut. Aku juga ingat kejadian itu. Ibu memintaku berhenti berenang karena sudah lama aku di kolam sementara aku dengan keras kepala membantah karena kolam yang aku kencingi berkali-kali itu sungguh nyaman. Aku juga sudah bertemu teman yang tepat untuk melakukan kenakalan bersama.

Hampir di semua foto itu ibu terlihat tak fokus. Aku memandangi gelas teh yang kosong dan merasakan ingatan masa kecilku kembali satu demi satu memenuhi gelas itu. Anehnya ingatan tersebut bukan tentang diriku, melainkan justru lebih banyak mengenai ibu.

Aku ingat bagaimana ibu mencengkeram tanganku tiba-tiba ketika keluarga besar kami berkumpul. Saat itu, belasan bude dan bulik yang entah dari silsilah mana saja menganjurkan ibu meminum jamu sampai merekomendasikan ibu gerakan menungging agar bisa segera punya anak lagi.

Harus anak laki-laki, begitu kata mereka, sebab anak perempuan belum masuk hitungan punya anak. Ibu terus tersenyum di sepanjang acara, tak membantah ataupun menyetujui, hanya mencengkeram tanganku sampai memar. Sakit sekali rasanya tanganku saat itu, tapi aku tak mau menangis karena aku merasa ibu juga sedang sakit meski aku tak begitu paham bagaimana sakit ibu sebenarnya.

Ingatan itu lantas menyambung pada ingatan-ingatan yang lain. Saat ibu membantu nenek memasak di dapur untuk pertemuan keluarga, contohnya. Waktu itu keluarga besarku belum datang. Hanya nenek dan ibu yang ada di dapur.

Aku seperti terpaku ketika mendengar percakapan mereka, kurasa istilah monolog nenek lebih tepat karena komunikasi itu hanya berlangsung satu arah. Saat itu, nenek berkata tajam pada ibu perihal bapak yang sering mengeluhkan kenakalanku, anak perempuan yang lebih mirip anak laki-laki. "Akan jadi apa anakmu di masa depan?" begitu kata nenek pada ibu.

Nenek menyalahkan ibu yang dia nilai tak bisa mendidikku padahal anak ibu cuma satu. Nenek punya 11 anak dan ia bisa mendidik semua anaknya dengan baik, termasuk bapak. Bagaimana ibu yang hanya punya satu anak gagal menjalankan tugasnya dengan baik? Kegagalan mendidikku itulah yang menurut nenek membuat Tuhan tidak mempercayakan bayi lagi, anak kedua yang diharapkan ibu dan bapakku.

Dapur bertambah hening ketika nenek meninggalkan ibu sendirian. Kudengar ibu menangis lirih di tengah letusan dan aroma cabai dan terasi yang menyengat hidung. Ibu terus menangis tanpa menyadari aku juga menangis diam-diam di balik pintu dapur untuk alasan yang sedikit demi sedikit mulai kupahami. Ternyata aku adalah alasan terbesar ibu selalu menangis. Dari situlah aku bertekad untuk tak akan membuat ibu menangis lagi.

Aku belajar lima kali lipat lebih banyak dibandingkan anak seusiaku karena aku ingin menjadi yang terbaik. Bukan menjadi yang terbaik di sekolahan, melainkan yang terbaik di keluarga besarku, di antara para sepupuku yang menurut nenek normal. Para sepupu laki-laki yang kuanggap jauh lebih besar mulutnya ketimbang otaknya, atau para sepupu perempuan yang selalu khawatir dengan kulit bersisik dan jerawat mereka, membicarakan kedua hal itu selama hampir 24 jam seolah jerawat dan kulit bersisik itu adalah bagian dari gejala kanker stadium 4. Semuanya kini menjadi tidak penting lagi bagiku dan aku mulai merasa sangat muak.

Aku memainkan sendok kecil di gelas yang kosong. Menatap lagi foto-foto lain, foto saat aku diwisuda sarjana, bersambung dengan wisuda pascasarjana, lalu dilanjutkan wisuda PhD-ku setahun yang lalu.

Ah, fotonya ternyata sudah nangkring di ruang tengah. Bapak benar-benar fotografer andal. Dia konsisten mengabadikan bagian-bagian hidup kami sembari bekerja, sementara ibu dengan cepat membingkai foto-foto itu, menyimpannya di album, dan menggantung bagian yang paling penting dari hidup kami di ruang tengah. Baru aku sadar bahwa akulah bagian terpenting dalam hidup ibu karena semua foto itu menampilkan wajahku.

Foto-foto itu kini mengusik kesadaranku. Baru aku mengerti bahwa dari semua yang kulakukan, ternyata itu belum cukup untuk membuat ibu tak menangis lagi di tengah keluarga besarku! Aku baru memahaminya sekarang. Satu-satunya yang membuat ibu berhenti menangis adalah pernikahanku.

Kutinggalkan ruang tengah cepat-cepat menuju dapur tempat ibu sibuk memasak oseng cakalan kesukaanku, memeluknya dengan erat untuk kali pertama dalam hidupku, dan mengucapkan hal paling dia tunggu.

"Akan kubawa pacarku bulan depan. Ibu tenang saja."

***

Suamiku bukanlah orang yang mencolok, yang suka menjadi mencari perhatian seperti para sepupuku yang bermulut besar atau kebanyakan teman laki-laki di kampusku yang jauh lebih berisik di luar ketimbang di dalam kelas. Dia adalah laki-laki yang biasa saja, suka membaca buku, cenderung tidak banyak bicara sehingga sering menjadi objek candaan orang-orang mengingat betapa naifnya dia.

Laki-laki itu adalah adik kelasku. Setahun di bawahku. Dia adalah laki-laki penjual mimpi, begitu aku menyebutnya karena dia hidup dari berjualan cerita yang dimuat di media massa dan buku-buku bekas di kios kecilnya yang berada di pasar buku bekas di kota ini. Buku-bukunya sangat kuandalkan saat mencari bahan untuk mengajar di kampus. Dia juga teman diskusi yang menyenangkan.

Aku menepati janjiku, membawanya ke rumah, mengenalkannya pada ibu dan bapak. Membuat ibu membelalakkan matanya saat melihat kami datang bersama. Anak perempuan yang amat ia sayangi dengan seorang laki-laki kurus yang mengenakan kemeja flanel lengan panjang warna biru serta jins sobek warna hitam. Dua anak balita kembar berlari-lari di depan kami, laki-laki dan perempuan.

Anak-anak piatu tersebut ditinggalkan ibunya saat berusia satu tahun karena perempuan itu tak tahan hidup dalam kemiskinan. Aku tak bisa menyalahkannya. Masa muda selalu penuh gejolak bukan? Calon suamikulah yang akhirnya merawat kedua anaknya sendirian dengan honor sebagai penulis dan penjual buku. Dan sampai saat ini akulah pelanggannya yang paling loyal, yang setiap bulan membeli buku-bukunya agar dia bisa membeli susu dan pampers untuk anak-anaknya.

Ayu Prawitasari jurnalis, tinggal di Solo

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads