Seus Maria adalah pemilik salon Hosanna di kota Salem Jeru. Janda montok setinggi jamur tapi rezekinya setara raja-raja Timur. Mendapat tawaran untuk merias mayat taipan yang tinggal di perumahan Bukit Golgota.
"Jes Se, eike diundang untuk perhelatan akbar pemakaman Tuan Salomo. Acaranya akan diadakan nanti malam," katanya pada pegawai andalannya. Lelaki kemayu berambut gondrong yang sibuk memijat krim anggur di kepala pelanggan.
"Tuan Salomo yang punya banyak istri itu, Seus?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Emberan, memangnya ada berapa lelaki kaya nan gagah di kota kecil ini?"
"Seus diantar siapa ke sana? Bahaya lho. Nanti dijadikan istri di dunia arwah," kata Jes Se. Wajahnya penuh kekhawatiran.
"Nyetir sendirian aja. Istrinya sudah banyak, nggak mungkin arwahnya tertarik dengan eike."
"Yakin mau pergi dengan mobil tua itu? Lagi pula eike dibantuin sapose?"
"Nanti ada Ester, Ruth, dan Si kembar Kain-Habel."
"Ih cucok deh, ada si kembar. Tapi yakin aman ya, Seus? Eike belum siap menggantikan Seus jadi majikan di salon ini."
"Sialan!"
***
Tepat jam 3 sore Seus Maria meluncurkan mobil dan mencari alamat rumah itu di tengah hutan. Belokan pertama ambil kiri. Belokan ke dua ambil kiri. Lalu kanan. Ah, lihat rumah ini. Benar-benar terlihat seperti hotel.
"Halo, ini saya Seus Maria. Perempuan setinggi jamur. Tapi rezekinya setara raja-raja dari Timur," katanya percaya diri.
Penjaga gerbang tertawa, mempersilakannya masuk meski terlihat bingung. Tapi begitu menemui resepsionis Seus Maria langsung berhadapan dengan pertanyaan aneh.
"Anda sakit apa? Skizo spirituality, bipolar religius, psiko bible, atau messiah syndrom?"
Seus Maria kaget. Dadanya membusung hingga payudaranya yang besar semakin tampak besar.
"Lho, bukannya ini rumah Tuan Salomo?"
"Oh, Anda tamu Tuan Salomo. Baik akan saya antar Anda ke rumah duka."
Resepsionis membawanya keluar gedung. Melewati jalan setapak menuju rumah tersembunyi di pohon-pohon besar.
"Ngomong-ngomong gedung yang tadi saya masuki gedung apa ya?" tanya Seus Maria penasaran.
"Ini adalah rumah sakit jiwa terbesar untuk orang-orang yang kecanduan agama di negeri ini, Seus."
"Mewah sekali," Seus Maria berdecak kagum.
"Lho, Anda baru sadar jualan agama uangnya banyak?" bisik resepsionis.
Ia terbahak sebentar kemudian bersikap biasa kembali. Seus Maria ikut tertawa.
***
Rumah itu cukup besar dan luas. Dinding-dindingnya terbuat dari bata merah yang tidak dicat. Saat Seus Maria masuk ke dalam ruangan, orang pertama yang ditemuinya di sana adalah seorang lelaki penggila jamur yang dikenalnya 50 tahun lalu.
Laki laki itu bernama Agustinus. Santo Agustinus.
"Fungi," ia memanggil Seus Maria dengan suara rendah tertahan.
"Santo Agustinus?" Maria merasakan tubuhnya gemetar memanggil nama itu. Setelah 50 tahun wajahnya tetap membuatnya kelu.
"Ini Seus Maria, pemilik salon yang akan merias mayat Tuan Salomo," terang sang resepsionis.
Agustinus tertawa. Tertawa kencang sekali.
"Kenapa kamu tertawa?" Seus Maria memandang wajahnya heran.
"Kamu pasti akan terkejut melihat siapa Tuan Salomo."
"Maksudnya?" Seus Maria mulai merasa pemakaman ini akan berakhir dengan sesuatu yang lucu.
"Dia Si Akiong teman geng kita dulu."
"A Kiong? Si Kera Sakti?"
Astaga. Seus Maria bahkan tidak tahu nama asli sahabatnya selama mereka berteman selama tiga tahun.
"Nama aslinya Salomo. Dia tak mau nama itu diketahui teman-teman di sekolah," terang Agustinus.
Ya Tuhan. Seus Maria merasa tertipu selama 50 tahun ini. Dan sekarang seenaknya saja si cina kampret itu membongkar identitasnya.
"Kamu dulu sempat suka sama dia kan?" selidik Agustinus.
Sebenarnya bukan dia. Seus Maria menahan suaranya.
"Maksudnya?" Agustinus memandang mata perempuan itu dan sepertinya dia mulai meragukan sesuatu.
"Kamu nggak menikah?" Seus Maria mengalihkan percakapan.
"Memangnya ada yang mau menikah dengan orang gila yang kerjanya berbicara dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang hutan. Sekalinya bicara dengan manusia yang tidak waras pula."
Seus Maria nyengir. Hatinya membuncah.
"Kamu sendiri?" Agustinus memecah kesunyian.
"Aku? Aku sudah bercerai lama dengan Yusuf. Aku lelah hidup menjadi istri tukang kayu. Kamu kan tahu cita-citaku."
Agustinus terpaku mendengar jawaban itu.
"Lagi pula kami dulu dijodohkan kan?"
Seus Maria tersenyum kecut. "Oleh perantara malaikat?"
Santo Agustinus melihat kesinisan dalam kalimat itu.
"Oh, ya Si Salomo alias Akiong punya istri berapa?"
"Dua puluh lima yang ketahuan."
"Buset. Playboy kelas kakap doi."
***
"Mayat Salomo belum diturunkan. Kita masih punya waktu untuk jalan-jalan sebentar."
"Sudah lama kamu berada di rumah sakit ini?" tanya Seus Maria saat mereka berjalan-jalan di pinggir hutan.
"Cukup lama."
"Nggak nyangka ya, kamu berhasil jadi ahli jiwa. Padahal dulu kamu tergila-gila pada jamur."
"Masih kok sampai sekarang. Nanti aku perlihatkan jamur-jamur peliharaanku di dalam hutan."
"Apa yang membuatmu beralih menjadi jadi dokter jiwa?"
"Kamu?"
"Aku. Kenapa aku?"
"Soalnya dari kita SMA, kamu sudah sering menjadi perias orang-orang gila dekat sekolah."
Seus Maria tertawa misterius. Agustinus kembali mengoceh.
"Sejak melihat kamu kupikir jadi dokter jiwa sepertinya menarik. Kamu sendiri? Sudah berhasil jadi make up artist terkenal sesuai impian kamu?"
"Iya tapi melihat tempat ini aku justru kangen melakukan cita-citaku dulu."
"Make over orang sakit jiwa?"
"Bikin mereka cantik dan melihat warna di wajah mereka." Seus Maria menegaskan kalimat itu.
**
Hutan di belakang rumah sakit jiwa ini dipenuhi berhektar-hektar hutan tak terjamah manusia. Di sanalah Agustinus menghabiskan semua kegilaan bersama bangkai-bangkai hewan yang ditumbuhi jamur cantik seperti jamur merah totol-totol di cerita cerita dongeng.
Beberapa cukup beracun dan pernah membuat teman sekamarnya sekarat. Jamur lain menjadi sup yang gurih dan menu favorit di tangan Suster Magda, kepala koki. Sebelum dimasak dia mesti memberikan referensi bahwa jamur itu tak akan membunuh satu bangsal. Meskipun isinya hanya orang-orang gila yang disingkirkan kota.
"Kita lebih terbiasa dengan beragam jenis daging daripada kita mengenal jenis jamur. Kita lebih takut dengan warna-warna jamur daripada racun dalam makanan lain."
Seus Maria mendadak memeluk Agustinus. Pelukannya hangat bagai sup kodok Suster Magda.
"Ibuku dulu punya delusi tingkat tinggi. Dia juga pasien di rumah sakit jiwa di belakang sekolah kita. Setiap kali aku datang, Ibu selalu berpura-pura jadi dokter. Aku tahu Ibu berpura-pura. Tapi aku senang karena dia sangat berusaha membuatku tidak khawatir. Dia ingin aku bangga memilikinya. Padahal saat berpakaian dokter-dokteran atau saat kambuh dia tetap Ibuku."
Agustinus tak pernah tahu kisah itu.
"Suatu hari aku melihat lowongan perias di rumah sakit jiwa. Kupikir itu salah satu cara agar aku bisa selalu dekat dengan Ibu. Aku memasukkan semua make up Ibu ke dalam kotak dan membawanya ke rumah sakit. Mulai saat itu setiap pulang sekolah, aku punya alasan untuk berada di sana. Kata suster penjaganya, mereka berkurang rasa marahnya setiap kali melihat wajah mereka di dalam cermin, tidak berantakan seperti biasanya."
Seus Maria. Alam semesta menghubungkan mereka seperti selium yang diciptakan jamur di bawah tanah, yang menyatukan semua makhluk hidup untuk berkomunikasi.
***
"Kau mencintainya?" tanya Suster Magdalene setelah doa arwah, dan Agustinus bersikukuh menitipkan Salomo pada Nabi Jamur. Suster Magdelene tidak keberatan dengan itu.
Baginya fungi bible lebih nyaman untuk dipelajari. Dan lebih menenangkan ketika bertemu jamur-jamur yang bisa membuat mabuk dan membuatnya masuk ke kesadaran tinggi.
Agustinus menarik bibir. Suster Magda tahu apa artinya itu.
Acara doa selesai, Seus Maria diundang untuk menghias wajah Tuan Salomo. Setelah selesai merias, Maria pergi ke kamar mandi. Di depan buku tamu ia meminta selembar kertas dan pena. Ia menuliskan surat cinta pendek yang akan ia selipkan di kantong jaket Agustinus yang dipakainya.
Seus Maria mengajaknya berdansa di pesta pengantaran arwah. Tubuhnya yang kaku seperti bambu diajak berputar-putar. Wajahnya senang. Suster Magda senang. Teman-teman penghuni bangsal membuat tepuk bintang-bintang di udara.
Seus Maria menyerahkan jaket ke tangan Agustinus tanpa berkata apa-apa. Setelah makan malam, Tuan Salomo diturunkan dan dimasukkan ke peti. Seluruh penghuni bangsal menyanyikan lagu Flying without Wings diiringi hujan gerimis.
Saat peti akan ditutup, Santo Agustinus buru-buru memasukkan jaket itu ke dalam peti. Seus Maria hendak mencegah tapi sudah terlambat. Semua mata sedang terharu melihat persahabatan itu. Peti itu ditutup, dikunci bersama sepucuk surat cinta yang tak pernah terbaca.
Dia memang Seus Maria. Perempuan setinggi jamur, dengan nasib cinta tak semujur Raja Salomo.
Yessy Sinubulan story teller, tinggal di Bandung
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)