Laila mengecek mesin cuci bukaan depan di hadapannya. Sisa waktu tinggal sepuluh menit lagi sebelum pakaiannya selesai dicuci. Di bagian ujung ruangan, empat mesin pengering berukuran jumbo meneteskan sisa-sisa air di kaca-kacanya yang cembung.
Laila terpaksa menempuh empat puluh menit perjalanan dengan bus untuk mencapai self-serviced laundromat terdekat dan termurah. Ia hanya mampu menyewa satu kamar tanpa mesin cuci di flat yang murah dan banyak kecoaknya. Di musim panas ia terpaksa membawa pulang cucian setengah kering dari laundromat dan menjemurnya di balkon. Tapi di musim dingin seperti sekarang, menjemur pakaian bisa dua tiga hari lamanya.
Hanya ada sedikit bacaan di tempat itu. Satu-dua majalah tentang mobil-mobil antik dan Harley Davidson, dan beberapa bacaan bertema taman dan kebun yang sudah tuntas dibacanya sejak pertama kali ke sana. Setidaknya mereka menyediakan satu unit televisi, meskipun kadang hilang siarannya dan diganti dengan garis-garis berbintik di layar.
Sesekali Laila akan menonton berita dan membolak-balik majalah tentang taman itu. Kali ini berita di televisi menyebutkan tentang pertandingan kriket dan bagaimana stadion gegap gempita menyambutnya.
Kriket adalah agama nomor satu di tempat ini, dan hal itu tidak menarik perhatian Laila. Ia membalik lembar majalah lagi dan menekuri tentang nama-nama tanaman hias yang tidak pernah didengarnya.
Ia baru saja akan mengecek cuciannya lagi saat pintu laundromat terbuka. Angin musim dingin berhembus ke dalam bersama seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan. Rambutnya yang coklat keemasan membingkai wajahnya yang tirus dengan tulang pipi yang tinggi.
"Astaga, dingin sekali di luar," ujarnya sambil mengancingkan jaketnya. Laila mendongak dan tersenyum.
"Ya, beruntung mereka menyediakan pemanas di sini," jawabnya kaku. Ia tidak terlalu suka mengobrol. Laundromat ini biasanya sepi, kecuali kedatangan satu-dua orang yang menggunakan mesin pengering. Wanita itu ramping dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh senti. Ia duduk di samping Laila dan mengeluarkan sebungkus rokok.
"Mau?" tanyanya. Laila menggeleng. "Terima kasih, aku tidak merokok".
Wanita itu mengedikkan bahu. "Ya, mungkin baiknya aku juga tidak. Aku sudah berjanji pada diriku untuk hanya merokok sebatang sehari. Lagipula tempat ini juga tidak dibolehkan merokok." Ia mengatakan kalimat terakhir dengan masam saat melihat dua kamera perekam di dinding.
"Jangan khawatir, kameranya mati," ucap Laila.
Wanita itu tersenyum kecut sebelum memasukkan kembali rokok ke dalam tasnya. Diam-diam Laila mengamatinya. Wanita-wanita berpakaian minim saat musim panas itu biasa, tapi wanita ini mengenakan rok mini seperti Julia Roberts dalam film Pretty Woman dan hanya dihangatkan dengan satu jaket kulit tipis. Meski demikian, kakinya dibungkus sepasang Louboutin asli dan tasnya Gucci terbaru.
Sementara Laila sendiri membungkus tubuhnya dengan long john dan dan celana panjang rangkap, ditambah jaket setebal mungkin yang bisa ia temukan. Berjalan dalam pakaian seperti itu membuatnya merasa seperti sebentuk kepompong.
Timer mesin cuci yang digunakan Laila berbunyi dan ia bergegas mengeluarkan pakaian-pakaiannya. Ia menoleh ke arah tabel tarif mesin pengering dengan bimbang. Ia benar-benar tidak ingin kembali ke flatnya dengan pakaian setengah kering sebanyak ini. Menjemur mereka di teras juga percuma karena lama keringnya.
Laila mengecek tabel harga di dinding untuk masing-masing waktu pengering yang berbeda lalu merogoh saku celananya. Dia menemukan beberapa keping dolar dan sen di dalamnya.
"Kau oke?" tanya wanita itu.
Laila ragu. "Mmm...saya ingin memakai mesin pengering, tapi saya tidak tahu caranya," jawabnya malu-malu.
Wanita itu langsung berdiri. "Mau kubantu? Gampang kok. Asal kau bisa siapkan beberapa koin."
Laila mengangguk. Mereka berjalan ke depan mesin pengering. "Ini tergantung seberapa lama atau seberapa banyak pakaian yang ingin kau keringkan. Kalau hanya beberapa lembar, biasanya dua puluh menit juga cukup. Tapi kalau pakaianmu banyak, kau bisa mengeringkannya selama setengah sampai satu jam. Wah, itu baju yang banyak," ujarnya sambil tertawa melihat baju-baju Laila.
Laila tertawa kecil. "Ya, aku hanya bisa mencuci seminggu sekali. Rumahku cukup jauh dari sini, harus naik bus," jelasnya.
Wanita itu mengangguk. "Nah, kalau sebanyak ini, setidaknya empat puluh menit atau lebih." Ia mengerutkan kening. "Atau begini saja, kau bisa memasukkan separuh cucian ke mesin pengering di sebelah kiri, dan setengahnya lagi di sebelah kanan. Dengan begitu kau akan lebih hemat separuh waktu. Toh tidak ada yang memakainya saat ini,"' ucapnya sambil membuka salah satu mesin pengering.
"Wah terima kasih banyak. Itu ide yang bagus," seru Laila gembira.
"Dan jangan lupa pisahkan wol. Aku pernah memasukkan jaket wol kesayanganku dan lupa mengatur suhunya. Keluar mesin pengering, jaketku itu sebesar kepalan tangan saja," sambutnya dan tertawa lebar.
Laila ikut tertawa juga. Wanita ini seperti musim semi. Segala sesuatu darinya seperti menyemburatkan warna-warna cerah. "Apa Anda tidak mencuci pakaian?" tanya Laila.
"Ah ya, aku sedang menunggu customer. Kami janjian di sini," jelasnya.
Laila memasukkan dua dolar ke dalam slot dan wanita itu membantu mengatur temperatur mesin. "Terima kasih, Anda ada janji bisnis?" tanya Laila. Sejenak ia merasa kikuk. Mungkin ia seharusnya tidak bertanya. Itu hanya akan memancing percakapan yang lebih lama, dan ia tidak ingin terlalu lama bercakap dengan siapapun.
Tapi wanita itu tertawa kecil sambil memilin-milin rambutnya. "Ya, aku bisnis. Bisnis waktu," jawabnya. Matanya kembali mengedip-ngedip jenaka.
"Bisnis waktu?" tanya Laila bingung. "Anda pengacara?" tanyanya lagi, lalu ia lekas-lekas minta maaf. Ia merasa mungkin tidak sopan bertanya beruntun pada wanita itu. Tapi wanita itu tertawa lebar.
"Aku bukan pengacara, Dear. Semoga tidak akan pernah. Mereka penuh dengan omong kosong. Tapi sesekali customer-ku adalah para pengacara yang kebanyakan berperut buncit itu. Aku menjual waktu untuk mendengarkan bualan-bualan mereka. Termasuk waktu bersenang-senang yang tidak bisa mereka dapatkan dari istri atau pasangan mereka," jawabnya. Ia memeriksa dengan cermat kuku-kukunya yang dicat merah terang.
Laila menunduk. "Maaf," ujarnya lirih.
"Nah, tidak ada yang perlu dimaafkan. Pekerjaanku memang tidak untuk semua orang. Ini bukan tentang transaksi di atas ranjang. Melainkan tentang seni mendengarkan hal-hal apa yang tidak bisa dikatakan atau dilakukan para lelaki pada pasangan mereka." Ia mengedipkan mata. "Dan itu mahal". Ia melirik Laila.
Laila berusaha untuk tidak bertanya lagi, tapi matanya penuh rasa ingin tahu. "Maaf, boleh saya bertanya, apa Anda menyukai pekerjaan Anda?" tanya Laila malu-malu. Rasa penasarannya lebih besar dari kemampuan menahan diri. Wanita itu mengangkat bahu.
"Pekerjaan adalah pekerjaan dan kau tidak harus menyukainya untuk menjadi seorang profesional. Tapi, ya, terkadang aku bertemu pelanggan yang menyenangkan. Yang sopan dan tubuhnya wangi dan hanya minta ditemani mengobrol. Tentu saja itu lebih bagus. Aku hanya menjadi seorang pendengar yang baik, memberi komentar yang tepat di saat yang tepat, dan bam! Setidaknya tiga ratus dolar itu."
Ia melanjutkan, "Sepertinya aku lebih cocok jadi psikolog," ia terkekeh.
Laila manggut-manggut dan merenung lama. Mesin pengering berdengung pelan di sudut, sementara wanita itu sibuk mengetik dan membaca sesuatu di ponselnya. Laila memperhatikan jam dinding. Ia teringat salah satu gambar lukisan yang pernah dilihatnya entah di mana. Lukisan itu berisi sebuah jam yang meleleh seperti mentega di atas kue panekuk.
"Kau sendiri, apa pekerjaanmu kalau aku boleh bertanya?" tanya wanita itu.
Laila menarik napas. "Berbeda dengan Anda, saya membeli waktu," jawabnya.
Wanita itu terbatuk. "Kau pengacara? Punya seseorang sepertiku juga? Kuharap ia tampan," katanya.
Laila menggeleng. "Sayangnya tidak. Saya membeli waktu dengan duduk di laundromat ini menunggui cucian saya, sambil berangan-angan kapan bisa jadi pengacara," ujar Laila.
Mereka saling menatap sejenak dan terkikik geli seperti dua orang sahabat karib. Ponsel si wanita berdering dan ia melihat nama di layarnya. Ia menggumamkan kata permisi pada Laila dan meletakkan tasnya yang cantik di sandaran kursi sebelum bergegas menjawab teleponnya di sudut ruangan. Tak lama, mesin pengering berhenti berdengung dan Laila beranjak mengeluarkan pakaian-pakaiannya yang kini kering sempurna.
Wanita itu berjalan ke sampingnya, wajahnya berseri-seri. "Sebentar lagi ia akan datang," katanya.
Laila tersenyum kecil. Pakaian-pakaiannya berpindah ke ransel dorong yang dibawanya.
"Well, aku harus pergi, bus berikutnya akan tiba sebentar lagi. Terima kasih banyak sudah membantuku," ucap Laila.
Wanita itu tersenyum lebar. "Hei, tak perlu sungkan begitu. Itu hanya hal kecil. Senang bertemu denganmu," ucapnya tulus.
"Aku juga," jawab Laila. Ia keluar dan tak lama busnya datang. Laila sempat melambaikan tangan sebelum naik. Dari kaca bus ia bisa melihat seorang lelaki berambut coklat memasuki laundromat. Saat bus mulai bergerak, Laila melihat wanita itu mengecup pipi si lelaki.
Di dalam bus Laila merogoh kantong jaketnya. Dompet kulit wanita itu berwarna coklat tua. Dengan hati-hati ia membuka lipatan-lipatannya. Ada selembar foto wanita itu sedang memeluk seekor golden retriever dan keduanya terlihat bahagia.
Di lipatan berikutnya, beberapa kartu kredit mengilat dan beberapa lembar ratusan dolar mengintip di dalamnya. Laila tersenyum puas. Rasanya, ia berhasil membeli waktu dengan baik kali ini.
Julia F. G. Arungan lahir di Lombok, 1982. Menulis puisi, cerita pendek, dan naskah drama. Sejumlah puisinya masuk dalam bunga rampai Seratus Penyair Perempuan (KPPI, 2014), Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, 2014), Taman Pitanggang (Akarpohon, 2015), dan Ibu (Antologi Kata, 2019). Menulis antologi puisi tunggal Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru (CV Halaman Indonesia dan AkarPohon, 2021). Sekarang bermukim di Sandik, Lombok Barat
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video: Pesan Vidi Aldiano di Balik Lagu 'Bertahan Lewati Senja'"
(mmu/mmu)