"Dia mencintaiku, dia tidak mencintaiku...."
Kata pria itu sambil mencabut kelopak bunga yang ia pegang.
"Dia mencintaiku, dia tidak mencintaiku...."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata pria itu berulang-ulang kepada wanita yang berbaring di sampingnya. Wanita yang telah lama ia cintai, namun tak pernah bisa ia miliki.
Kelopak bunga yang dia pegang kini hampir habis. Perlahan-lahan ingatan tentang pertemuan pertamanya dengan wanita itu muncul kembali. Sebuah festival tahunan di jantung kota. Wanita itu datang bersama seorang pria lain. Hingga pria itu sadar bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Sejak awal kisah, pria itu memang ditakdirkan untuk patah hati. Kekasih wanita itu adalah seorang pejabat kota yang terkenal, sedangkan pria itu hanyalah seorang pemilik kedai roti kecil biasa di sebuah sudut kota.
Pejabat kota itu adalah salah satu pelanggannya. Kedai rotinya merupakan favoritnya. Hampir setiap hari ia mengunjungi kedainya. Untuk sekedar minum teh atau membeli bekal perjalanannya.
"Hari ini aku akan bertemu salah satu petinggi kota," ujar pejabat kota itu pada suatu hari.
"Bawalah roti mentega ini. Yang satu untuk bekal perjalananmu dan yang satu lagi untuk hadiah petinggi kota. Roti ini adalah yang paling mewah di kedai ini."
"Ambillah ini semua," ujar pejabat kota itu sambil memberi beberapa keping koin dan mengedipkan sebelah matanya.
Pada suatu hari lainnya pejabat kota itu datang lagi bersama seorang wanita yang pernah ia bawa di festival kota tempo hari.
"Perkenalkan, dia tunanganku dari kota seberang," ujar pejabat kota itu.
Wanita itu menjulurkan tangan kecilnya. Sebuah jabatan tangan yang singkat namun hangat berlangsung. Kini dunia pria itu berputar-putar tak karuan. Ada perasaan bahagia dan juga luka di hatinya.
Sejak saat itu tak ada satu pun hari berlalu tanpa kehadiran bayangan wajah wanita itu dalam benak pria itu. Pernah juga suatu hari ia hampir saja tanpa sadar menuliskan nama wanita itu dengan butiran wijen di salah satu rotinya.
Suatu pagi pejabat kota itu datang lagi ke kedai rotinya bersama wanita itu.
"Aku ingin sebuah roti spesial untuk tunanganku ini. Roti yang melambangkan kasih sayang," tegas pejabat kota itu.
Sebuah roti berbentuk hati dengan taburan kristal gula yang berkilau di atasnya diberikan. Wanita itu tersenyum hangat ketika melihatnya. Matanya bersinar dan pipinya memerah. Tak jauh berbeda dengan roti yang diterimanya pada hari itu.
"Ini adalah sebuah lambang cinta khusus yang dibuat untukmu," ujar pria itu dengan sepenuh hati. Tentu saja tanpa pernah diketahui siapapun.
Keesokan harinya wanita itu datang lagi ke kedai rotinya. Namun tanpa ditemani pejabat kota tunangannya itu.
"Aku ingin sebuah roti untuk menemani kesendirianku hari ini," ujar wanita itu pada suatu sore.
"Ini roti coklat panggang dan segelas teh hangat untukmu. Kalau boleh tahu apa yang terjadi padamu?"
"Ia kini sedang bepergian ke kota untuk waktu yang lama."
"Kau bisa ke sini setiap hari," jawab pria itu.
Entah magis apa yang dituangkan dalam setiap keping roti yang diberikan. Kini wanita itu datang setiap hari. Namun sebenarnya tidak hanya wanita itu, semua pelanggannya adalah orang-orang yang datang kembali setiap harinya untuk mencicipi roti yang kian harinya semakin lezat.
Lama kelamaan pria itu menyadari sesuatu di setiap kedatangan wanita itu. Setiap harinya ia datang dengan berbagai raut wajah yang berbeda.
"Apa yang membuatmu terlihat sendu hari ini?" tanya pria itu pada suatu pagi.
"Terkadang aku merasa tidak yakin dengan perasaanku selama ini," jawab wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca. Tanpa pernah ia katakan apa maksudnya.
Pada hari lainnya dengan raut wajah yang riang, pria itu kembali bertanya hal yang sama.
"Entah kenapa dengan hanya datang ke sini aku merasa senang," kata wanita itu dengan senyuman terhangatnya.
Waktu terus berlalu. Sampai suatu hari wanita itu datang lagi bersama pejabat kota itu.
"Bulan depan kami akan menikah. Tolong buatkan roti spesial untuk pesta pernikahan kami sebanyak 1000 buah."
Seiring dengan itu hari-hari setelahnya cuaca selalu buruk. Hujan serta petir sering muncul.
Pria itu kesulitan membuat roti yang lezat seperti biasanya. Bukan hanya karena cuaca, tapi suasana hatinya juga tidak karuan semenjak kabar pernikahan wanita itu datang. Setiap malam ia masih memimpikan wanita itu. Namun kini dengan perasaan yang buruk.
Wanita itu masih sering datang ke kedainya. Ia menyadari perubahan di suasana hati pria itu. Selain itu rasa roti yang dibuatnya juga kian hambar. Bentuknya juga tidak karuan. Dalam hatinya wanita itu tahu apa yang terjadi, namun tak pernah ia utarakan.
Hari pernikahan wanita itu tiba. Pria itu siap untuk datang ke pesta. Namun ia tidak membawa satu pun roti yang dipesan. Kedatangannya punya maksud lain. Ia bergegas mencari-cari di mana sepasang kekasih itu berada.
Pria itu mendapati mereka sedang bersama di sebuah ruangan. Ia mengambil sebuah pisau yang sudah disiapkan sejak awal.
Pria itu menancapkan pisaunya berulang kali kepada pejabat kota itu tanpa sempat mengelak. Sontak wanita itu berteriak sejadi-jadinya. Pria itu segera mencengkeram leher wanita itu dan menyeretnya membelakangi tembok. "Apakah kau mencintaiku?" tanya pria itu. Namun suara yang keluar dari wanita itu hanyalah tangisan.
"Jawablah! Apa kau mencintaiku!" dengan teriakan dan hentakan.
Cengkeraman leher itu semakin menguat. Wanita itu semakin tak berdaya. Tangannya tak lagi meronta-ronta. Tubuhnya terasa hampa. Jawaban yang ditunggu pria itu tak pernah ada.
Namun pria itu masih bertanya-tanya tentang perasaan wanita itu. Kini ia hanya bisa duduk dan pasrah meratapi tubuh wanita itu yang tak lagi bernyawa. Ia mengambil sehelai bunga yang berada di suatu tempat di sana.
"Dia mencintaiku, dia tidak mencintaiku...."
Kata pria itu, sambil mencabut kelopak bunganya.
"Dia tidak mencintaiku...." gumamnya lirih pada helai terakhir kelopak bunganya.
Yogi Gumilar penerjemah yang lahir dan tinggal di Tangerang; cerpennya dimuat dalam antologi bersama Antara Praha dan New York (Tacenda, 2022) dan Alisa dan Alasan Mengapa Aku Mencintainya (Shivviness, 2022)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)