Bukan siraman peluru atau tikaman sangkur menancap di jantung yang aku tangisi. Bukan itu. Bukan juga karena darah yang muncrat ke segala penjuru mata angin, kemudian lemas aku dibuatnya, sebelum akhirnya ajal meninggalkan raga yang aku ratapi. Bukan itu.
Tapi, betapa aku tidak mengerti pandangan iba orang-orang di sekitar kepada jasadku. Seolah aku manusia malang yang akhirnya tumbang dengan cara paling menyedihkan. Berkalang tanah di tangan lawan tanding yang tak sepadan dalam perkelahian yang tidak mungkin dimenangkan, setelah sejumlah aparat bersenjata menyiramkan peluru, mengeroyokku, dan salah satu di antara mereka berhasil menghujamkan sangkur tepat di rumah jantungku.
Yang aku sedihkan adalah, apakah mereka semua pada akhirnya mampu menanggungkan pedih dan laranya dikunjungi sakaratul maut yang tak tertanggungkan sakitnya. Sebagaimana aku rasakan beberapa jenak sebelum nyawa mabur dari tubuhku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andaikata mereka semua tahu, betapa menyakitkannya memikul yang satu itu. Aku yakin seyakinnya, mereka akan jauh lebih iba dengan diri mereka sendiri alih-alih kepada jasadku.
Ini adalah pengalaman pertama dan terakhir tentu saja berhadapan dengan Elmaut. Aku pikir, dulu sebagai bajingan aku akan mampu menghadapinya, bersemuka dan menanggungkan kengeriannya. Hidupku memang sudah lama di neraka dunia. Karena gemar bersemuka dengan peraturan kekuasaan yang gemar memainkan peran ngawurnya. Yang acap merundung jelata dengan kebijakan kelirunya.
Kesulitan hidup adalah habitatku. Tirakat adalah nama tengahku. Bapakku dulu sengaja melemparkanku ke kawanan serigala. Sebelum minggat entah ke mana, tersebab diburu polisi dari segala penjuru. Dengan harapan, aku akan bertumbuh dan membesar menjadi pemimpin kawanan.
Sekeyakinan bapakku yang ngilang itu, kesulitan hidup adalah guru. Sebaik-baiknya guru. Yang dengan sendirinya akan memperkuat pikiran seseorang. Seperti halnya kerja dan olah tubuh pada raga manusia.
"Kita lebih sering menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan," pesannya kala itu sembari berkidmat: apapun yang tidak membunuhmu, harusnya membuatmu menjadi lebih kuat.
Penjara adalah rumah, sekolah, dan kawan karib pertamaku. Sekaligus tempat bersua dan digembleng kawanan serigala lainnya. Jadi, apa yang istimewa dengan kengerian hidup?
Aku adalah mesin perang, yang seperti mati jika tidak berkelahi dengan siapa saja. Juga dengan aparat negara. Makanya mereka acap memanggilku dengan sebutan si gila. Karena telah binasa urat takutnya. Reputasiku mendahului namaku
Perkelahian adalah makanan keseharianku. Semacam bahan bakar yang membuat hidupku seperti laju. Tanpa harus ada alasan di belakangnya. Ngawurlah pokoknya. Saking semangatnya gelut, tiga kali lawan tandingku pernah sampai semaput, sebelum akhirnya kaput. Makanya mereka beberapa kali melemparku ke rumah tahanan negara. Padahal usiaku saat itu masih belia.
Hebatnya, aku makin riang berkelahi dengan cara satu lawan satu. Tidak berbilang yang telah tumbang di tanganku. Juga saat berada di dalam prodeo. Tapi ternyata, itu tidak cukup membuatku perkasa. Setelah berhadapan langsung dengan kesejatian maut, aku bukan apa-apa. Tiada tanding tiada banding. Bukan lawan sepadan. Bukan apa-apanya.
Kematian selalu menjadi pemenang saat berhadapan dengan kehidupan yang fana. Padahal ilmuku lumayan, meski belum seberapa. Tapi lumayan saja tetap tidak ada artinya. Kematian terlalu perkasa untuk dicurangi, ditawar, apalagi dikalahkan.
Ia terlalu semena-mena. Berdiri sangat kokoh di atas singgasana. Tak terkalahkan oleh siapa saja. Dengan menyertakan sakaratul yang maha sakitnya.
Meski aku tahu, ada beberapa persona yang mampu menghadapinya dengan sahaja. Sehingga maut enggan dibuatnya. Akibatnya, maut harus datang dengan cara paling santun, serba tidak enak hati, permisi berulang kali kepada si pemilik raga. Saking sayang dan hormatnya.
Aku belum masuk golongan itu. Belum sampai. Maqam-ku masih jauh dari semenjana. Karena tidak terlalu lihai mengeja hidup. Acap terlalu sering salah baca malahan. Buahnya, aku sering dan riang berkelahi dengan siapa saja.
Sok-sokan paling digdaya.
Padahal, tidak semua harus dihadapi dengan cara purba itu. Tapi apa mau dikata, bahasa yang aku kuasai cuma itu; berkelahi sampai nanti, tiada peduli mati. Yang sangat bisa datang lewat cara apa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Aku pikir keberanian cukup untuk menghadapi absurd dan peliknya hidup. Tidak, ternyata. Keberanian bukan segalanya. Belum apa-apa. Ada perhitungan, penerimaan, kesabaran, kemampuan menahan diri, ilmu, dan kebijakan yang belum benar-benar berumah di atma.
Aku masih jauh dari selesai dengan diriku sendiri. Sekali lagi, belum apa-apa, belum seberapa. Bajingan kelas kampung, yang baru belajar berkelahi di kota.
Dulu, aku pikir kedamaian atau ketenangan bukan berarti tidak adanya konflik. Aku keliru. Ternyata konflik terus akan ada selama manusia mengada. Semua ternyata hanya persoalan kemampuan (kita) untuk mengatasi konflik itu sendiri.
Belum tahu, kalau kota tempat berumah segala makhluk buas. Yang siap saling menerkam di antara penghuninya. Untuk tinggal dan mencari nafkah di kota, ternyata tidak hanya membutuhkan keberanian dan kepintaran belaka. Lebih dari itu. Lebih dari semua itu. Betapa naifnya. Tidak sesederhana itu.
"Kamu pikir udah jadi jagoan kalau udah ngalahin lawan-lawanmu, Mas?" kata Siti, perempuan yang aku taksir, tapi tidak menaksirku sama sekali.
Sebagai penari lengger jalanan yang menjajakan tarian di pinggir jalan, Siti adalah bidadari sebenarnya. Ayu dan sentosa tubuhnya. Nasibnya saja ruwet. Menjanda di usia muda. Lalu mengadu dadu nasib dengan menjelma lengger di ibu kota.
Tapi, kalau Siti sudah kembenan plus kain jarit, mahkota, dan selendang sewarna di badannya yang singset, dilengkapi pupuran sewajarnya dan gincu merah meradang di bibirnya yang ranum, pecah itu seluruh Depok Raya. Seketika, saweran bertebaran ke arahnya.
Siti pernah menolak dipelihara juragan Pasar Depok untuk digendak sebagai perempuan simpanan. Meski bayarannya, biaya kos-kosannya akan ditanggung, juga sejumlah uang jajan bulanan.
Dia hanya cukup duduk manis, dan mengangkangkan kedua belah paha dan betisnya yang mulus. Lalu bersenang-senang di mal, jajan makanan lekas saji. Sembari mengirimkan sejumlah rupiah ke kampung halaman. Sekadar belanja harian untuk satu anaknya yang dititipkan ke simbok-nya.
Siti menolak kemewahan dan kemudahan instan itu. Dia memilih jalan hidup terhormat meski sesak kesusahan. Bergantung kepada keramahan dan kedermawanan orang di jalan. Panas-panasan dan kehujanan jika cuaca sedang tidak bersahabat. Ditemani Sudarmaji, tukang gendang andalan, teman paling loyal dari semasa kecilnya di Ajibarang.
Seperak-dua tidak menjadi perkara, selama kemerdekaan tubuh ada di tangannya. Bukan di tangan laki-laki lain yang mempunyai kecukupan rupiah, misalnya, tapi tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan, menghormati, menempatkan, apalagi memuliakan wanita. Sebagaimana dilakukan mantan suaminya yang minggat entah ke mana bersama pacar belianya.
Kemandirian adalah segalanya buat Siti.
Siti sebenarnya eman sama aku. Dan menolak cintaku bukan tanpa alasan. Bukan juga karena aku kurang ngguanteng sebagai anak lanang. "Tapi njenengan angel dicekel. Susah dipegang. Pacare sak ndalan-ndalan. Setiap enggokan nduweni wedokan," katanya cepat, menyisakan dialek ngapak.
Aku diam hanya, dan anehnya tetap ndablek, dan asyik dengan diriku sendiri. Adakah kebahagiaan selain bebas merdeka? Seenaknya. Lalu bisa dan mudah jatuh cinta dengan siapa saja? Muda, gegabah, bodoh, sembrono tapi bahagia. "Njenengan koyok bojoku mbiyen, senenge madon," tambah Siti.
Meski demikian, pada akhirnya Siti aku lihat juga menangis sejadinya mengetahui aku mati pada akhirnya. Betapapun dia tetap wanita, dan manusia biasa. Tega larane ora tega patine, demikian kira-kira perasaan Siti kepadaku.
Siti tahu, tahu sekali aku bajingan. Yang gemar "jajan" di Cibinong, karena cintanya ia tolak berulang-ulang. Tapi sebajingannya aku di mata Siti, aku ada sedikit memiliki kemuliaan. Seperti tidak pernah merebut apalagi mencuri, juga mengganggu rezeki orang lain. Aku hanya hobi kelahi.
Aku hanya gali, yang hidup dari setoran sejumlah tukang parkir di beberapa sudut kota Depok. Serta beberapa rumah hiburan kelas jalanan di sekitaran Sawangan.
Yang gemar membagi rezekinya kepada kawanannya, serta sejumlah pengamen jalanan di Jalan Margonda Raya dan sekitarnya. Memberikan beberapa bungkus makanan berlauk sekadarnya, dan minuman es teh plastik. Serta mentraktir beberapa bungkus rokok, dan anggur Cap Orang Tua.
Dulu, dulu tidak sekali. Saat KRL Bogor-Kota masih semrawut. Saat pengamen, pengemis buta, deklamator, tukang rokok, tukang telur asin, tukang buah, dan pencopet masih jadi satu di atas gerbong KRL. Aku acap mengasah keberanianku di dalam gerbong KRL yang mawut.
Dengan memburu pencopet. Meski mereka biasanya tidak sendirian saat melunaskan aksinya. Ada paguyubannya malah. Saat satu orang ketangkap, akan ada rantai pencopet lain yang akan memproteksi dan melindunginya. Serta menebusnya di kantor Polisi.
Tapi persetan. Aku happy aja memburu pencopet. Seperti kanak-kanak mengejar kupu-kupu. Happy tanpa harus ada penjelasan dan alasan.
Bukan sekali dua pencopet berhasil aku ringkus. Sampai-sampai kepala stasiun Tebet sempat merekrutku secara tidak resmi sebagai kepala keamanan di sana. Merangkap kepala keamanan di Stasiun Cawang.
Meski bayarannya tidak mudah dan murah. Kepalaku ditandai paguyuban pencopet. Bukan sekali-dua percobaan penikaman mengarah kepadaku. Tapi mereka keliru, aku bukan tipikal gentar berkelahi dalam keadaan apapun. Dengan siapapun. Malah babak belur mereka di tanganku.
Sampai akhirnya aku merasa karierku mentok. Dan mundur baik-baik dari dua jabatan itu. Lalu memilih mendirikan jasa penyediaan keamanan partikelir di sekitaran Depok dan Sawangan dengan melibatkan jaringan bromocorah dari beberapa kota yang mengadu nasib di Jakarta.
Demikianlah aku menjadi gali, yang bahkan tidak gentar bermasalah dengan polisi yang juga acap "memungut" jasa keamanan di balik seragamnya secara diam-diam atau terang benderang.
Lalu polisi merekrutku untuk dijadikan semacam informan, sampai kawan sepernakalan melunaskan aksi "keamanan" mereka dengan pembagian hasil yang tentu saja jauh dari rasa keadilan.
Sebelum akhirnya, sebagaimana kisah klasik para bajingan: antarpenjahat terjadi persengketaan. Karena rebutan hasil "rampokan". Maka berumahlah banyak butir peluru di dadaku, sebelum akhirnya sebilah sangkur berkalang di jantungku.
Demi membungkam aksi kejahatan, yang tidak boleh tersiar apalagi terkabarkan ke khalayak ramai, maka musnahkan satu nyawa, demi mengamankan banyak nyawa lainnya, lebih dari pantas untuk dituntaskan.
Pada detik menjelang aku mati, akhirnya aku pelan-pelan mulai belajar mengasihi liyan. Andai saja mereka tahu, betapa tidak terperikan rasa sakitnya saat nyawa melayang. Maka, peliharalah kemanusiaan selama napas dikandung badan.
Keterangan
simbok = ibu
gelut = kelahi.
semaput = pingsan
kaput = mati
singset = angsing berisi
pupuran = bedakan
eman = sayang
Pacare sak ndalan-ndalan. Setiap enggokan nduweni wedokan = Pacarnya banyak, setiap tikungan punya perempuan.
anak lanang = cowok
tega larane ora tega patine = tega pada penderitaannya, tapi tidak tega pada kematiannya
gali = preman/bromocorah
Njenengan koyok bojoku mbiyen, senenge wedoan = Anda seperti suamiku dulu, senengnya main perempuan.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)