Rumah-rumah hunian kelas menengah padat perkotaan biasanya hanya menyisakan halaman untuk menyimpan dua buah pot berdiameter 24 cm atau 27 cm untuk tanaman hias lidah mertua atau sri rejeki atau lidah buaya dan rak sandal. Mereka membuat rumahnya menyempit pada halaman depannya dan nyaris tak menyisakan sedikit pun cahaya matahari menyinari halamannya karena persis di atas halamannya yang cuma secuil. Mereka biasanya membuat balkon persegi panjang yang menaungi jalan gang dan menggelapkan pintu masuk tetangganya.
Rumah-rumah itu memiliki gaya nyaris sama-ubin berwarna terang, tempelan batu alam dinding bergaris atau bergelombang, pintu rumah dua daun, dan ventilasi kayu kotak silang. Rumah-rumah itu mudah ditemukan di Caringas, salah satu pemukiman padat di Bandung. Rumah orang-orang Caringas mirip sebuah pohon-terlihat kecil pada bagian bawah dan membesar atau meluas pada bagian atasnya.
Aku sering membayangkan, lorong-lorong sempit gang Caringas itu ibarat sebuah labirin permainan; siapa pun yang masuk ke dalamnya kemungkinan besar akan tersesat dan jika sudah tersesat mereka akan belajar untuk hidup di dalam sebuah akuarium besar yang minim cahaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang aku dapatkan setelah menjalani hidup 25 tahun di dalam labirin Caringas, dalam waktu satu tahun terakhir pada jam 10 atau 12 malam, akan ada anak-anak yang berlarian sambil memukul-mukul pagar warung Haji Goler yang sering mengagetkan tetangga-tetangga di sekitarnya. Pada jam 10 pagi hingga sebelum azan zuhur, nyaris setiap hari, akan terdengar pasangan suami-istri berkarooke menyanyikan lagu-lagu Melayu dengan nada tinggi yang dipaksakan, tapi sepertinya mereka menyukainya karena setelah menyelesaikan lagu Cinta Kita yang dinyanyikan Amy 'Search' dan Inka Christie, mereka selalu terbahak-bahak. Ada juga orang yang membuang sampah sembarangan di halaman rumah orang lain ketika orang-orang mulai lelap karena tak mampu membayar uang iuran bulanan kebersihan.
Kali ini aku akan mengajak kalian bermain di dalam gang Caringas. Tak ada petunjuk atau aturan spesifik yang harus kalian patuhi; kalian hanya perlu mengikuti cerita ini hingga habis. Baiklah, pembaca sekalian, selamat datang di gang Caringas, kiri dan kanan jalan yang aku lalui sekarang adalah tembok semen kasar yang sebagian besarnya telah dipenuhi lumut. Ingat, gang Caringas telah mengalami defisit sinar matahari dalam 10 tahun terakhir. Jalan masuk ini hanya cukup untuk sebuah motor bebek, sebuah becak yang harus dimain-mainkan ekornya karena kalau tidak, ekornya itu akan menabrak tembok rumah orang. Pernah seorang tetanggaku memukul kepala seorang tukang becak dengan palu gara-gara ekor becaknya menabrak tembok pagar rumahnya yang baru direnovasi.
Dari sini aku berbelok kiri saja, di ujung belokan itu adalah sebuah tempat yang sangat mungkin jika kita menemukannya pada zaman Einstein dan Freud adalah tempat paling ideal untuk saling jual ide sains bahkan rencana revolusi. Di pojok itu, berdiri sebuah warung milik Ceu Wari, seorang perempuan bermulut pedas tapi sangat bersahabat. Setiap hari, tidak kurang dari lima orang ngobrol tentang banyak hal sambil mengunyah spatula. Bukan, bukan spatula untuk memasak, tapi istilah untuk menyebut nama makanan olahan spageti dan tulang ayam.
Aku berbelok ke kiri lagi; setiap kali melewati jalur ini, aku selalu menutup lubang hidungku. Lorong gang ini penuh dengan ranjau organik. Di dalam lorong gang ini ada sebuah tempat persalinan. Aneh sebenarnya, apakah tempat persalinan ini juga melayani kucing-kucing yang melahirkan? Aku tidak pernah masuk sekali pun jadi aku tidak tahu.
Aku akan berjalan lurus terus melewati masjid berwarna hijau yang saat aku masih murid SD, halaman masjid itu sering dijadikan transaksi pengedar obat-obatan dan ganja. Pasar paling ramai selalu pada malam takbiran. Sekarang sudah tidak ada lagi transaksi-transaksi gelap itu karena bandarnya sudah mati terkena diabetes 15 tahun lalu.
Aku sudah sampai di gang tergelap di Caringas. Jika gang ini ditemukan 2.000, 3.000, atau bahkan 50.000 tahun mendatang -tentunya jika bumi masih ada- apakah bisa dianggap sebagai gua seperti gua Leang Tedongnge di Sulawesi Selatan? Orang-orang di dalam gang Caringas, juga di dalam gang-gang lainnya di tempat lain di Bandung cukup gemar menggambari dan mencoreti gang dengan warna-warna yang sangat kontras. Tapi, gambar-gambar dan coretan di dalam gang Caringas tak sebagus gambar orang-orang gua 45.000 tahun lalu itu. Menyedihkan!
Berjalan menyusuri gang yang sangat sepi ini mengingatkanku pada sebagian besar kenangan masa kecilku, terutama saat anak-anak gang Caringas tak punya uang untuk menyewa lapangan futsal dalam ruangan. Biasanya kami akan menyusup ke kompleks belakang GOR Soekarno Hatta untuk bermain sepak bola. Satu hal yang nyaris tak pernah kami lewatkan adalah menonton orang-orang yang dibaptis di dalam kolam renang GOR Soekarno Hatta-untuk hal ini kami tak perlu membayar, hanya tinggal meminta izin pada petugas GOR. Dulu aku melihat orang-orang yang dibaptis itu seperti lumba-lumba.
Berseberangan dengan lokasi bekas gedung GOR ini ada sebuah bangunan tua. Sayang sekali aku tidak bisa masuk ke dalam kompleks bangunan itu karena sudah dua kali warga menemukan ular sanca raksasa. Setiap jam 5 hingga 6 sore pada tahun 90-an, dari dalam bangunan itu selalu ada ratusan atau mungkin ribuan kelelawar terbang melintasi langit Caringas dan ini yang paling ditunggu, di belakang gerombolan kelelawar berukuran kecil dan sedang itu selalu ada kelelawar besar yang kepak sayapnya sering membuat kami ketakutan. Kelelawar raksasa itu dikisahkan para orangtua kami suka menculik anak.
Sial! Aku nyaris saja lupa, aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat paling penting dari generasi pertama gang gelap Caringas. Untuk sampai tempat itu, aku harus memutar balik ke arah barat melewati jalan tadi, lalu dari tempat persalinan aku ambil jalan menuju selatan lalu belok ke arah timur hingga mentok. Di tempat itu, pada pertengahan 1990, berdiri rumah bertingkat dua pertama dan jadi rumah paling tinggi di Caringas yang ditempati oleh seorang pekerja IPTN* yang temperamental. Kelak, pada tahun-tahun setelah rumah itu berdiri, satu per satu warga gang Caringas mendirikan rumah dua tingkat atau bahkan tiga tingkat mereka. Dari rumah itulah sejarah gang Caringas seperti akuarium besar yang minim cahaya bermula.
Sangat mungkin, dua puluh atau tiga puluh tahun kemudian tempat bermain kami akan menjadi labirin yang lebih rumit dan cahaya matahari hanya akan kami dapat jika kami keluar dari gang, persis seperti ikan-ikan di dalam akuarium yang akan muncul ke permukaan saat mereka menggapai-gapai oksigen.
Keterangan:
*IPTN singkatan dari Industri Pesawat Terbang Nusantara yang didirikan oleh B.J. Habibie pada 26 April 1976 di Bandung dengan nama awal PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Sejak 24 Agustus 2000, IPTN berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Edi Sutardi tinggal di Bandung
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)