Lagarise duduk di kursi kerja yang dikiranya paling mewah, berlapis kulit asli berwarna ungu anggur. Memang dia lelaki parlente yang berselera norak. Tok ketok tok bunyi pantofel Aigner yang dikenakannya ke mana-mana dengan bangga. Cuping hidungnya mengembang dengan congkak setiap kali dia melirik ke Rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Lagarise baru saja menghabiskan dua sloki Johnnie Walker Black Label sekaligus. Di dalam ruang kerja yang sejuk dengan pendingin ruangan di musim panas, dia berusaha lebih memegahkan diri lagi. Hasilnya, bibirnya lebih mencibir daripada biasanya dan kebengisannya lebih memuakkan daripada bedebah-bedebah jalanan.
"Nah, bagaimana?"
"Segera. Akan diselesaikan."
"Bagus, aku percaya."
"Baik."
"Tunggu! Pastikan di saat-saat terakhirnya dia tahu itu aku,"
Aku mengangguk, menatapnya sekilas lalu berlalu dari situ. Kepingan emas seberat lima ratus gram yang dipecah dalam lima kepingan kecil telah berpindah ke dalam tas kabinku. Aku harus bergegas mengejar satu-satunya penerbangan menuju kota kecil yang tersembunyi di balik hutan dan pegunungan kapur itu.
Seringai serigala, kataku dalam hati, ketika aku telah duduk dengan tenang di kursi kelas bisnis paling depan. Lima ratus gram emas adalah harga yang layak, bukan untuk menyelesaikan tugasku dengan rapi tanpa jejak, tapi untuk sekadar supaya aku mau berurusan dengan lelaki dengan bibir yang seolah-olah mengulum sesuatu itu.
Kalian jangan mengira, seorang pembunuh bayaran benar-benar sedingin dan sebengis yang ditampilkan di film-film Hollywood. Sesungguhnya, kami juga mengalami peperangan sendiri setiap kali memutuskan bahwa kepingan-kepingan emas itu benar-benar lebih berharga daripada nyawa yang akan kami cabut dengan cara-cara jahat manusia.
Tapi pada kenyataannya, belum pernah sekalipun aku menolak atau mundur dari arena. Kali ini aku hanya pura-pura menolak, dan akhirnya Z memberikan hak istimewa mempertemukan aku dengan klien secara langsung, yang anehnya juga tidak menolak untuk menampilkan diri. Dia mungkin terlalu percaya diri bahwa tidak akan ada celah di sistem kami.
Ada sesuatu yang membuat jantungku berdegup dengan profil target, terlebih lagi banyak hal yang harus kuketahui tentang sang pemberi order.
"Hmmm, Miss...segelas susu buatku. Terima kasih," pintaku ketika pramugari telah tiba di depanku dan menawarkan minuman alkohol dalam botol-botol kecil. Sekilas aku melihat, pramugari berkulit coklat yang eksotik itu berusaha menyembunyikan tawanya.
***
Tiga puluh satu tahun yang lalu...
"Habiskan susumu, kalau tidak Granny akan marah dan menuduh aku membuang-buang uang pensiunnya!"
Aku mengangguk kekenyangan, dan kembali meraih gelas susu yang ketiga. Aku sudah hampir muntah, tapi aku harus kuat. Bisa jadi satu atau dua hari lagi barulah aku akan bertemu susu atau makanan lainnya.
"Kamu bisa pergi sekarang, tapi jangan sampai menginjak ranting-ranting kering di jalan belakang. Kamu harus tetap berada di tengah jalan setapak, sangat berlumpur, tapi itu lebih baik daripada binatang hutan dan monster pohon General Sherman terbangun dan mengejarmu!"
Aku tergelak, tapi cepat-cepat mengangguk. Aku takut dia tersinggung dan tidak akan menyelundupkan sekarton susu untukku lagi.
Sejak kecil, dia sudah memiliki imajinasi yang luar biasa aneh dan unik. Di dapur belakang rumah utama atau di pondok di belakang, dia benar-benar memaksa aku untuk mendengar dongeng-dongeng aneh buatannya sendiri.
"Kali ini kamu harus menggunakan kekuatan yang tertanam secara rahasia di dada kirimu. Kamu harus terbang melayang melewati jalan setapak di belakang, Si Beruang Perak sudah mengendus keberadaanmu. Sparkling, Si Kurcaci Bawah Tanah yang baik hati itu tidak akan mampu melindungimu lagi," bisiknya cemas.
"Dan ingat, jangan sekali-kali kamu memetik Anggrek Hantu yang tumbuh liar di hutan dan berpikir untuk memasukkan ke dalam mulutmu! Tumbuhan itu tidak beracun, tapi jika hatimu jahat, maka dia akan membunuh dan memakan hatimu! Tapi aku yakin, hatimu baik," lanjutnya lagi dengan sangat serius, kali terakhir aku datang ke pondok kecil di belakang rumahnya.
Sejak saat itu aku mengenangnya sebagai Anggrek Hantu. Aku bahagia memikirkan bahwa aku memiliki hati yang baik, setidaknya untuknya, sehingga dia bisa menerima aku sekali-kali dalam seminggu muncul begitu saja dengan pakaian gembel di hadapannya. Memohon sekarton susu dan beberapa iris roti berselai.
***
"Jangan takut, ini aku!"
Aku akhirnya berdiri di hadapannya dengan tenang dan tak berdaya. Aku berharap dia masih mengenaliku dan tidak serta merta mengira aku teror setinggi seratus sembilan puluh dua senti yang menyelinap tanpa undangan.
Anggrek Hantu menekan dadanya, dia benar-benar kaget menemukan aku berdiri di tengah-tengah dapur rumah, sama seperti dulu. Dia mengenakan kaos polos putih yang longgar dan celana rumah yang berpotongan pendek.
Rambutnya sekarang panjang, berwarna coklat pasir yang halus. Tentu saja dia tidak semungil dulu lagi, posturnya tinggi dan ramping. Aku yakin dia menghabiskan banyak waktu untuk latihan fisik yang berat.
"Ini kamu?" tanyanya akhirnya, matanya berkerjap-kerjap. "Kamu tahu, aku sebenarnya selalu menantikan kamu di sini." Napasnya terdengar masih berusaha mencari tempo.
"Ya, ini aku. Tom."
"Sekarang aku hidup sendirian di rumah ini, kali lain kamu bisa lewat pintu depan!"
Udara yang kami hirup terasa aneh dan dingin dan penuh kejutan. Aku tidak pernah menyangka akan kembali ke rumah ini lagi. Tentu saja rumah ini tidak sama seperti dulu. Kecuali bagian dapur belakang, masih tetap kuno dan dibiarkan begitu saja.
"Kita berumur dua belas tahun ketika itu. Kamu beruntung, gambar wajahmu benar-benar masih melekat diingatanku." Anggrek Hantu seperti menertawakan dirinya sendiri. "Ke mana saja kamu? Mengapa tiba-tiba ingat jalan pulang?"
Aku ikut tertawa. "Aku? Tidak terlalu menarik untuk diceritakan. Aku ke sini karena ingin menanyakan kabarmu," jawabku tulus.
"Oh, kabarku? Banyak yang telah berubah sejak aku masih meracau dengan segala kisah tentang peri hutan dan binatang hutan dan monster pohon yang jahat." Anggrek Hantu lalu memberi tanda dengan tangannya untuk mengikuti dia ke ruang lain. "Silakan, kamu bisa duduk di mana saja. Soda atau bir dingin?"
"Hmmm, segelas susu dingin?"
Kami berdua lalu tertawa keras, saling menertawakan, karena entah harus berkata-kata apa lagi. Waktu telah memisahkan kami sebegitu jauhnya. Kenangan masa kecil yang begitu menyenangkan, bisa saja telah menjadi dingin dan tawar. Tapi ternyata itu tidak berlaku untuk kami.
"Kamu tahu aku sengaja membiarkan dapur bagian belakang tertata tetap seperti dulu? Atap dan tembok-tembok tuanya telah kubangun ulang. Tapi cangkir-cangkir kaleng tua dan ketel besi milik Granny, juga lemari kayu usang yang miring itu...tidak bergeser dari tempatnya."
"Kamu senang memelihara kenangan."
"Ya, dan aku sangat senang menulis di situ. Kisah-kisah dongeng yang aneh, mungkin gelap. Tidak semua suka, tapi ya aku sedikit mendapat uang dari penjualan buku-bukuku."
"Sangat menarik, akhirnya kesenanganmu menjadi pekerjaanmu."
"Bagaimana dengan kamu? Aku tidak melihat kamu seperti yang dulu lagi."
Anggrek Hantu terdengar menjadi hati-hati dan berusaha sopan. Padahal aku sama sekali tidak keberatan, sudah pasti dia punya andil.
"Pekerjaanku membawaku kembali ke sini."
"Katamu tadi, kamu ke sini karena ingin menanyakan kabarku? Kali terakhir seseorang menanyakan kabarku adalah ketika kaca-kaca jendela mobilku dikapak sampai hancur dan kucingku dipenggal! Dan seorang lelaki bertubuh gempal pendek dengan mata kecil sebelah berusaha melecehkan aku di jalanan."
Anggrek Hantu sudah berdiri di samping kursiku, sambil menodongkan Glock 43 di pelipis kiriku. "Kamu pembunuh bayaran yang disewa Lagarise? Aku dengan senang hati akan membunuhmu duluan!"
"Aku belum akan mati hari ini. Aku ke sini untuk membawamu pergi, atau paling tidak kamu tahu kamu sedang dalam bahaya dan aku berjanji akan menyelesaikannya," jawabku tenang, sambil menimbang-nimbang apakah aku perlu bergerak dua entakan untuk merebut pistolnya. Tapi sungguh, aku tidak ingin melukainya.
"Ya, kamu tidak akan mati hari ini. Kamu boleh pergi dan kabari aku jika kamu telah membunuh Lagarise. Pastikan sebelum menghabisinya dia tahu itu aku, dan jangan lupa masukkan sekuntum Anggrek Hantu ke dalam mulutnya!"
Anggrek Hantu akhirnya duduk di sofa tua di depanku. Memandangku dengan marah. "Kamu tahu aku bukan perempuan yang penakut? Aku tidak akan pernah meninggalkan rumahku! Aku juga sadar, hidupku akan selalu dalam bahaya."
Aku mengangguk. "Dua hari lagi kamu akan mendapat berita. Entah dari mana saja. Mungkin dari berita viral atau berita di TV. Anggap saja itu bayaran untuk berkarton-karton susu yang selalu kamu selundupkan untukku di dapur dan di pondok belakang. Tapi katakan padaku, ada apa dengan Lagarise?"
"Kamu ingat binatang hutan dan monster pohon dan Si Beruang Perak? Sebenarnya, mereka adalah teman-teman masa kecilku. Tapi Lagarise? Lagarise adalah Serigala! Kamu tahu kan Serigala yang Jahat? Dia melebihi itu! Lagarise adalah Serigala yang banyak melecehkan perempuan!"
Hening. Ketika itu, aku menatapnya lebih lama. Andaikan aku tidak pergi dan bisa tumbuh dewasa bersamanya, mungkin dia tidak harus memiliki kisah masa lalu dengan lelaki itu. Aku lalu menjadi mengerti dan tidak membutuhkan penjelasan lebih jauh lagi. Ini adalah pertemuan sekaligus perpisahan terakhir yang paling aneh, sungguh aku ingin berduka untuknya.
"Baiklah, aku akan tetap pergi melalui jalan setapak. Aku akan memetik berkuntum-kuntum Anggrek Hantu untuk Lagarise."
Anggrek Hantu membiarkanku pergi, dengan pandangan mata yang luar biasa tajam tapi percaya dan menaruh harapan.
Aku meninggalkan lima keping emas itu di atas kursiku.
Dua hari kemudian, Lagarise masih saja mengulum berkuntum-kuntum Anggrek Hantu dan seolah belum kenyang, ketika akhirnya dia ditemukan oleh orang banyak.
***
Anggrek Hantu
Pangeran yang baik hati itu, akhirnya datang kembali. Aku lalu mampu menulis kisah-kisah lain yang lebih indah dan manis dan ceria. Pangeran kesayanganku itu telah menyelamatkan aku. Dia muncul dari jalan setapak yang kanan kirinya rimbun dipenuhi rumpun bunga lilac yang lembut dan juga rumpun bunga Anggrek Hantu, memutih dan suram.
Tapi pada sore ini, aku lebih memilih untuk membayangkan, bahwa aku adalah bunga lilac yang sedang berbahagia.
Pangeran masa kecilku itu memang tidak berlama-lama di sini. Kami juga tidak akan pernah bertemu lagi. Tuntas sudah.
Aku menuliskan sekalimat penutup yang indah, pada akhir tulisanku. Dan masing-masing dari mereka, akhirnya hidup berbahagia selama-lamanya.
Caroline Wong besar di Rantepao, Tanah Toraja; sarjana perhotelan dari UK Petra Surabaya
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video Cerita Kimberly Ryder soal Anaknya yang Semangat Bersekolah"
(mmu/mmu)