Utopia Parisian

Cerita Pendek

Utopia Parisian

Sarita Rahel Diang - detikHot
Sabtu, 19 Feb 2022 11:02 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Anggi Dimas Ramadhan
Jakarta -

"Apa kau masih peduli pada tanah airmu?"

Kekasihnya itu masih berdebar-debar. Kobaran api yang sejak tadi melahap damainya pagi tak kian padam. Rambut lurusnya yang legam bak mahoni digulung hingga membentuk buntalan, yang biasa diselipkan ketika memakai topi tinggi jika sedang berpakaian lelaki. Sejak pagi ia mengenakan blus polos putih milik puteranya dengan frock coat yang mengkilat, mondar-mandir gelisah akan kodrat dan pikirannya.

"Negeri yang melahirkanmu, membesarkanmu...hingga kau menjadi seniman yang hebat," lanjutnya masih dengan napas megap-megap. Ia masih tertatih-tatih menggapai segelas air di meja. Sedangkan seniman itu, kekasih gelapnya, diam saja sambil menundukkan kepala. Wajahnya kucai dengan kedua pipi kesipu-sipuan karena sedikit demam. Tetapi ia memilih untuk tak meluapkannya. Tiada gunanya melawan wanita itu, pikirnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Polandia sudah mati bagiku," jawabnya lirih, masih tertunduk menahan getir pahit ucapannya. Ia lihai menyembunyikan perasaannya jika tertekan.

Pasangan itu tidak sendirian dalam ruangan apartemen milik sang seniman itu. Terdapat kedua kawan karib sang wanita yang juga sedang bersiap-siap bertempur di alun-alun Rue Soufflot. Alexandre, sang novelis mulatto, yang siap dengan revolver Colt Walker di pinggang. Dan satu lagi Saleh, sang pelukis orientalis dari Hindia Belanda, yang masih ragu-ragu untuk bergabung.

ADVERTISEMENT

Ruangan itu tertata rapi dengan gorden beludru yang disingkapkan. Meja di samping pintu dipenuhi bingkai-bingkai potret keluarga dan kawan-kawan masa kecilnya di Warsawa, dengan vas keramik Digoin berisi mawar dan anyelir yang masih segar. Meja kerjanya pun rapi, tak ada partitur musik maupun noda tinta yang tumpah di meja. Di tengah ruangan, terdapat piano Erard terbarunya, yang lantai di bawahnya dilapisi permadani dengan wol dicat. Bingkai piano itu dipenuhi naskah yang penuh coretan, dan papannya menjadi singgasana gelas-gelas kosong.

Pemandangan di luar juga terlihat damai. Square d'Orleans adalah pekarangan berbentuk persegi dengan air mancur dan pepohonan kecil. Halaman menuju ke gerbang keluar dipenuhi bunga-bunga violet dalam vas tembaga, pot-pot tanaman serta pohon-pohon magnolia besar. Cuaca hangat dan cerah di luar. Jalan di luar gerbang sudah dipenuhi manusia yang meraung-raung dan kuda serta keretanya yang lari mencongklang. Ada yang membawa spanduk menghina sang raja, bendera Prancis, senapan berburu, pistol serta dinamit di sakunya.

Revolusi sedang menghadang Paris. Rakyat sudah menggulingkan takhta raja Louis-Phillipe yang semakin borjuis, dan membuat Prancis menjadi republik. Kini mereka tak puas dengan pemerintahan Republik yang dipilih parlemen karena terlalu konservatif dan borjuis pula. Tetapi bukan hanya sang raja yang ditantang, melainkan seluruh ideologi lama dan politik negara lain yang menyangkut "kemerdekaan".

Polandia telah kalah perang setelah memberontak pada kaisar Rusia 10 tahun lalu, kini para pro-Polandia merdeka berkumpul di alun-alun membakar bubuk mesiu. Oleh sebab itu, wanita yang di dalam nadinya mengalir darah pemberontak ini menuntut kekasih setanah airnya untuk ikut berjuang. Tetapi ia menolak.

"Lihatlah Andre! Ia bergabung sebab ayahnya berkulit hitam dan kapten kavaleri ternama di bawah komandan Napoleon, tetapi lalu ia mengkhianatinya. Orang Nègre juga dianggap binatang di kota ini."

Wanita itu menunjuk kawannya yang masih duduk dengan gelisah. Ia tak sabar ingin bertempur.

"Lihatlah Saleh! Ia seperti kita. Berasal dari negeri yang terjajah, tetapi oleh kolonialisme. Hasil buminya dikeruk habis-habisan untuk kas kerajaan Belanda! dan Louis-Phillipe adalah pemilik saham terbesar perusahaan dagang rempah-rempah Hindia...rakyat jelata dan bangsawan diperbudak di sana."

"Anastasya sayang...kau tahu fisikku terlalu lemah untuk bertempur ataupun mengaum-ngaum dalam massa yang ribuan jumlahnya. Apa yang kita dapatkan jika pasukan pengawal kota berhasil menumpaskan para pemberontak?" ia menjawab dengan parau. Jelas revolusi ini ialah omong kosong baginya.

"Hal pertama yang perlu dicapai, Frederik yang baik, ialah Prancis menjadi republik terlebih dahulu. Aku yakin segalanya berawal dari sini demi mengakhiri segala bentuk penjajahan. Rusia mungkin akan meninggalkan Polandia, begitu juga Belanda akan meninggalkan Hindia."

Alex menambahkan dengan tenang, walaupun semangat membakar di dadanya. Ia melirik pada pria berkulit seperti lempung itu yang masih termenung, Saleh. Pria itu berasal dari pulau nun jauh di ufuk timur dunia yang bernama Jawa. Natasya, Frederik, dan dirinya lahir di luar Prancis. Oleh karena itu mereka adalah imigran, walaupun dikenal sebagai masyarakat tulen Parisian. Wanita itu berharap kedua kawan inteleknya itu juga memiliki simpati yang sama.

"Nasionalismeku berbeda bagi kalian."

Jawaban Frederik membuat wanita itu bungkam. Kamar ini dilanda hening seketika.

"Ia benar, madame. Aku yakin, begitu juga Frycek 1), bahwa perlawanan pada pasukan sang raja di balik barikade tak akan menyelesaikan kolonialisme," sambung Saleh perlahan, yang tiba-tiba terpotong karena terdengar suara dentuman meriam yang memekakkan, hingga menggetarkan jendela-jendela ruangan ini. Disusul suara letupan-letupan senapan di seberang jalan, dan anak-anak muda berblus putih itu berteriak sambil berlari-lari, mengepalkan tinju ke langit, "Vive la France! Vive la libertΓ©!" 2)

"Sudah dimulai," komentar Alexandre dengan dingin. Natasya membalas tatapannya sambil melotot.

"Kita semua bukan terlahir Parisian. 3) Kita semua imigran - ingatlah itu. Kita akan selalu tertindas, mengapa kau tak memilih untuk melawan?" tegur wanita itu masih dengan percikan api yang sama di matanya. Pria tirus itu mendesah,

"Nastya sayang, perlawananku berbeda bagimu. Aku melawan imperialisme dengan sentuhan pianoku, Saleh melawan kolonialisme dengan sapuan kuasnya alih-alih pedang, dan tulisan Andre serta pidatomu yang membakar massa nantinya tak akan membunuh raja Prancis ataupun Republik Kedua, 4) tetapi ini semua membawa kemajuan... dan dunia pun mendengar.

Perlawananmu sama saja bagiku, hanya saja banyak darah yang harus tumpah dan nyawa yang melayang hari ini akibat ditembus peluru dan tertubruk kuda kavaleri. Sungguh tak manusiawi jika kau lebih memilih kekerasan untuk membalas kekerasan!"

"Pengorbanan memang dibutuhkan demi masa depan utopia!"

"Utopia? Yang terlahir setelah membunuh banyak orang?"

Frederik bangkit dari kursinya dan berseru memaksa tenggorokannya yang mampet. Ia lalu berdehem-dehem sesak, "Kau tak pernah menyaksikan bagaimana perang meluluhlantakkan tempat kelahiranmu dan keluargamu, atau melarikan diri ke kota ini karena diburu oleh pasukan negeri lain! Kau adalah kaum bangsawan! Tak pernah dilanda sengsara kelas menengah dan tekanan imperialisme. Tentu saja kau memilih mara bahaya: sebab kau terpelajar, berbudaya dan ingin luput dari kehidupan monoton nan membosankan rumah tangga. Terkadang, kawan-kawanku... lebih bijak untuk melepaskan amarah, serta mengisi kekosongan hidup dengan tidak membunuh dan bertindak dengan mesiu."

Kedua pipi wanita itu memerah, menahan berang. Tetapi lama kelama kilat anarkis itu padam di hadapannya. Alexandre mengangguk-angguk setuju.

"Kami berjanji tidak akan membunuh. Kami hanya mendukung dan menyumbang suara," jawabnya sambil meninjau jendela.

"Tetapi tampaknya sudah terlambat."

Orang Jawa itu berkomentar dengan murung pada pemandangan kacau di jalanan seberang. Nastasya bergegas keluar tanpa menghiraukan kawan-kawannya. Entah apa yang dilakukannya. Ia bisa saja meluncur ke Pantheon sekarang juga dan menggulingkan parlemen. Pria mulatto itu pun bangkit dan pamit undur diri. Lalu ia bergegas keluar sambil berlari mengejar wanita itu. Pistol di pinggangnya ia raba.

Frederik yang lemas menatap Saleh yang masih menyesali kedua kawannya itu. Pintu itu terbuka dan hampa, menunjukkan masa depan yang penuh kekerasan.

"Kita sudah kalah, kawanku," ucap Frederik dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca memandang jendela yang terus menggigil karena dentuman meriam dari alun-alun. Entah berapa mahasiswa, buruh, dan rakyat jelata yang sudah gugur. Terkapar berdarah di jalanan Paris yang dipenuhi pot-pot bunga, butik-butik, patung, dan tiang marmer.

"Tidak, kawan...kita belum mati, bukan?" jawab orang Jawa itu, menyungging senyum pahit pada matahari yang bersembunyi di balik awan.

Keterangan

1. Panggilan nama "Frederik" dalam bahasa Polandia
2. "Hidup Perancis! Hidup kebebasan!"
3. Kaum Parisian adalah istilah populer untuk merujuk pada masyarakat aristokrat sosialita, kaum kelas menengah ataupun selebriti tenar pada abad ke-18 hingga awal abad ke-20 di Eropa.
4. Setelah Louis-Phillipe digulingkan pada Februari 1848, pemerintah Prancis membangun "Republik Kedua" tetapi bersifat konservatif. Revolusi pada Juni pun meletus.

Surabaya, 9 Februari 2022

Sarita Rahel Diang lahir di Surabaya, 10 April dua puluh satu tahun silam. Kini semester 5 di Jurusan Teknobiomedik, spesialisasi di pemodelan matematika biologi di universitas ilmu terapan FH Aachen, JΓΌlich, Jerman. Beberapa puisi bahasa Jermannya diterbitkan di antologi Deutsche Bibliothek, AusgewΓ€hlte Werke XXIX (2018), dengan nama pena Darelle Faust. Puisi bahasa Inggrisnya pernah diterbitkan di Jurnal Poetryprairie. Sedang menulis naskah drama sejarah epik kerajaan Bohemian dalam bahasa Inggris, yang dipekerjakan oleh Aura-Pont Theater and Literacy Agency, Praha, Republik Chechnya.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads