Debur ombak dan aroma ikan yang tengah disiangi membangkitkan ingatan kecil Marauleng yang penuh rona ketika ia membuat kaus yang dikenakan bapaknya kuyup oleh seisi perut yang dimuntahkan. Saat itu, sebagaimana yang sering dituturkan oleh ibunya, wajah Marauleng berubah pias karena terus memusatkan pandangan ke arus laut. Mabuknya semakin berlarut dan memuncak ketika kepala kebo bule dilarung ke permukaan air.
"Lima belas ribu ya. Sebagian sudah tak berguna," kata seorang pengepul menyadarkan Marauleng dari jeda lamunannya.
"Lima puluh ribu, Pak! Atau tukar dengan solar saja, saya mau meruwat laut."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kau lihat ceret ini?" katanya sembari membolak-balik benda bersepuh warna emas. "Sudah ketinggalan zaman, ditambah penyok di beberapa bagian. Sementara dua lusin mangkuk bermotif ayam jago itu sudah aus dan penuh bercak. Aku tambah lima ribu saja, ya. Kalau tak mau terserah."
Marauleng pasrah. Segera setelah menerima uang, ia memisahkan diri dari baris antrean. Seorang bocah yang sejak tadi menyeret-nyeret wajan maju ke depan. Dari arah jauh, terlihat seorang ibu dengan panci tersampir di pundak berjalan terantuk-antuk bebatuan, ia kemudian bergabung di baris belakang.
Ketika musim paila datang dan celengan nyaris kelompang, pilihan terbaik yang bisa diambil oleh penduduk pesisir Wanatirta adalah menjual sebagian bendanya. Dengan harapan bahwa kelak ketika musim melaut tiba, mereka akan kembali membeli barang-barang rongsok itu, meski dengan harga yang berkali-kali lipat.
Kini Marauleng berjalan perlahan menyusuri tepi pantai. Udara tengah hari membuat kepalanya sedikit pengar. Menjelang tiba di dermaga kecil tempat bertambat kincang-kincang, ia berpapasan dengan sekelompok perempuan yang membawa botol berisi garam dan sekop kayu. Mereka bertukar sapa seperlunya.
Marauleng tak bergabung dengan para pemburu lorjuk. Ketika bocah dulu, memang ia takjub menyaksikan hewan-hewan lonjong itu muncul ke permukaan, seolah hantu yang bangkit dari kubur, sesaat setelah garam disemai di sekitar lubang persembunyiannya yang dalam. Tetapi Marauleng tak ingin menjadi pemburu lorjuk, bahkan jika tak ada pilihan lain. Sejak diajak meruwat laut oleh Bapaknya, ia tugur pada pendirian bahwa ia ingin menjadi pelaut yang tekun.
Cita-cita itu agak muskil tergapai sebetulnya. Sulit menemukan Tauke yang rela membiarkan perempuan menjadi awak kapalnya. Tidak untuk nyimbat juga ngabandega. Untuk alasan-alasan semacam itulah, para perempuan yang belum bersuami atau telah menjanda, bekerja hanya sekitar pantai; mencari lorjuk dan kijing, atau menyiangi ikan asin. Tapi, toh akhirnya Marauleng tetap bisa mencapainya, bahkan nyaris selama dua dasawarsa.
Setibanya di dermaga, Marauleng langsung loncat ke kincang miliknya. Tubuhnya yang ramping --untuk tak menyebut kurus kering-- membuat gerakkannya, seheboh apa pun, tak mencipta riak air yang berarti. Kincang hanya bergeming kecil, sesaat, sebelum akhirnya ketenangan kembali merambat.
Marauleng gegas membongkar peti berwarna hitam yang terikat mati di lambung kincang. Ia rogoh sikat dan sabun colek, juga ember dan lap kering, untuk menguras kapal mungil kesayangannya. Ia lalu mengambil pernak-pernik hiasan yang terbuat dari karton dan gedebok pisang, mengaturnya dalam letak paling strategis, sehingga dekorasi itu terlihat tak berlebihan.
Cuaca masih sama panasnya. Tubuh Marauleng yang menjelang renta kian melambat. Warna kulitnya semakin legam laiknya biji badam, dan kontur kulitnya hampir-hampir keriput, seperti ciplukan yang terlepas dari pohonan selama dua hari.
"Besok jadi mangkat meruwat laut, Wak Marauleng?" dengan ransel hitam di pundak, Karabaong datang menghampiri Marauleng. Jalannya tertatih-tatih karena keberatan oleh beban. Tangan kirinya ditempel di dahi, demi menapis sorot matahari.
"Ongkosku kurang, Karabaong. Kau tak punya persediaan solar, paling tidak sekitar satu jeriken?"
"Tak ada, Wak Marauleng. Sudah kugunakan mangkat dua pekan lalu, tapi tak balik modal. Boro-boro along, petiku malah melompong," lelaki berambut cepak itu merogoh kantung jeans lusuhnya, mengeluarkan bungkusan berisi empat batang rokok. "Berutang sajaah pada Tauke Alfian."
"Kau pikir selama paila aku bertahan hidup dari mana? Aku meminjam uang kepada Tauke Alfian dengan jaminan kincang ini. Dia pasti enggan meminjamiku uang lagi."
"Kau orang paling nekat yang kukenal, Wak Marauleng. Kau berhenti jadi juru masak di kapal pesiar, lalu menghabiskan uang tabungan seumur hidup demi membeli kincang rombeng ini," Karabaong menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, membuat kincang oleng beberapa saat. "Lalu kau ditawari menjaga rumpon benur malah menolaknya. Dan sekarang, di saat orang-orang memikirkan cara mempertahankan lilitan perut, kau malah sibuk hendak meruwat laut."
"Aku bukan berhenti, Karabaong, tapi diberhentikan. Sudah satu tahun sejak wabah menyerang, tak ada turis yang mampir. Dan soal rumpon, lebih baik aku mampus sajalah daripada harus berurusan dengan aparat."
"Sebetulnya kau akan aman-aman saja bila mau berbagi madu, Wak Marauleng. Lembar-lembar uang bisa menutup mata para aparat. Kau tahulah, sebagian dari mereka pengidap rabun kambuhan."
Marauleng terdiam beberapa jenak. Asap menguar di udara, sebab Karabaong menyulut batang rokok keduanya. Ada jeda yang menggantung di udara, berbagi ruang dengan lalat yang mengangkasa.
Di lepas pantai, beberapa kilometer dari tempat bertambat kincang, lampu-lampu dari bagang dan rumpon benur mulai dinyalakan satu demi satu, jelas untuk mengundang kedatangan lobster petelur. Cahaya bermekaran seperti kemilau Jakarta di malam hari, membuat laut seperti karnaval pasar malam yang sunyi.
Marauleng pernah melihat sekilas pemandangan kota Jakarta di tabung kaca televisi; saat itu ibunya berjanji akan mengajak ia berlibur ke sana, kelak. Tapi nahas, Marauleng menjadi yatim-piatu di usia belum genap enam belas. Ibunya meregang nyawa empat bulan setelah lubang kubur bapaknya mengering, karena terserang raja singa.
"Oh, ya, aku tak bisa berlama-lama di sini. Anakku sedang sakit, Wak Marauleng. Kau ambil saja ini," Karabaong menyodorkan plastik besar berisi benih ikan kerapu yang sejak tadi ia simpan di ranselnya. "Semuanya tiga puluh ribu saja."
"Tolong kau taruh saja di buritan, di samping terpal berwarna biru. Dan ini pelunasannya, sisanya akan aku bayar kemudian hari," Marauleng menyodorkan lembaran rupiah dari hasil menjual ceret dan mangkuk tadi siang.
"Sekali lagi aku tanya, kau betul-betul mau meruwat laut?"
"Iya, Karabaong. Kau sudah menanyakan ini sejak dua hari lalu, jangan seperti bocah ingusan."
"Bukan begitu. Aku hanya ingin mengingatkan, jangan terlalu jauh melaut. Paling tidak, batasmu adalah tanjung lawang. Lebih dari itu aku sangsi," Karabaong beranjak sembari membetulkan letak ranselnya. Ia segera pergi, sembari menyulut rokok ketiganya.
Hari menjelang petang. Awan hitam bergulung-gulung di angkasa. Tetapi beberapa bintang mati terhampar di tubuh langit, menjadi isyarat bahwa malam ini hujan tak akan turun mengguyur. Marauleng menengadahkan kepala; ia baringkan tubuh kuyunya di geladak kincang, di atas jaring hasil sulaman tangannya selumbari. Untuk beberapa saat, rasa penat minggat.
Dahulu, ketika pertama kali terombang-ambing oleh arus samudera, ia menangis di gendongan bapaknya karena merasa iba melihat kepala kebo bule di larung ke tengah laut. Tetapi ayahnya, dengan dekapan selembut selimut, terus mengingatkan bahwa itu adalah cara para nelayan bersyukur kepada alam, semacam timbal balik atas segala karunia yang melimpah-ruah.
Marauleng kini mengerti apa yang dimaksud ayahnya-tak seperti dulu, saat ia hanya mampu menangis dan muntah.
Namun malang, kini tak ada lagi kepala kebo bule sebagai sesaji, sebagai persembahan. Satu dekade lalu, seorang pemuka agama mengeluarkan fatwa bahwa meruwat dengan cara-cara lama tak ubahnya menduakan yang Maha, sehingga jika terus dilanjutkan, artinya segala jenis kutukan keji sedang mengintai mereka dari jauh tak terhindarkan lagi.
Marauleng tak mau menduakan Tuhan, apalagi mengundang mala dan kutukan, ia hanya ingin berterima kasih kepada laut, sebagaimana dulu dikatakan oleh bapaknya. Untuk itulah ia membeli benih-benih ikan untuk dipersembahkan kepada laut, meski harus menjual ceret dan berlusin-lusin mangkuk.
Ketika nyamuk-nyamuk tepi pantai mulai menancap dan mencecap darah, Marauleng segera bangkit dan menyadari hari kian malam. Ia nyalakan lampu petromaks dengan geretan yang hampir habis. Tapi angin malam membuat usahanya sia-sia. Marauleng mengulang beberapa kali, sebelum akhirnya cahaya berhasil terpancar dan menerangi kincang kecilnya, menciptakan bayang-bayang yang jatuh di tepi dermaga.
Marauleng disergap kesunyian malam untuk beberapa saat. Ia memindai sekitar dermaga dengan mata sayu yang ia peroleh dari ibunya-dengan tingkat kemiripan hampir sempurna-dan tak menemukan siapa pun mencokol di sana.
Entah didorong oleh setan jenis apa, Marauleng langsung bangkit dan menyambar dua buah dayung yang tergeletak di atas sekoci. Ia kibaskan tongkat yang terbuat dari karet, dengan pangkal yang pipih, ke udara. Kuat dan bangkar belaka.
Marauleng memutuskan untuk mengayuh, sampai jauh. Ia lepaskan tali yang memancang perahunya dari dermaga, kemudian mulai bergerak.
Ia terus mendayung, perlahan-lahan, tapi geraknya cukup berarti. Sepuluh menit ia telah berhasil mencapai tanjung lawang, batas antara muara dan laut lepas, tetapi ia terus melanjutkan perjalanannya. Dua puluh menit, Kincang Marauleng tak lagi terlihat dari daratan. Ia lenyap dari pandangan, seperti tenggelam di balik tepi langit.
Marauleng terus mendayung, semakin jauh. Dia tak pernah kembali lagi. Semua orang akan mengenang; Marauleng bukan hanya sedang meruwat, tetapi juga merawat laut.
Muara Binuangeun, Banten, 2017-2020
Muhammad Nanda Fauzan cerpenis dan esais, kelahiran Lebak, 31 Maret 2000. Bergiat di komunitas Soedirman30. Kini berdomisili di Serang, Banten
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)