Cerita Pendek

Lelaki Berdarah Mestizo

Andria Septy - detikHot
Minggu, 19 Des 2021 09:34 WIB
Foto: iIustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Sore itu suasana amatlah lengang. Orang-orang Quimica sibuk bekerja di sawah dan ladang. Terik matahari pukul tiga begitu membakar kulit. Lelaki berdarah Mestizo itu menendang sebuah bola usang di pekarangan bangunan tak berpenghuni. Bolanya bergulir ke samping pompa tua yang diberikan pemerintah daerah tertinggal dan perbatasan. Satu-satunya pompa guna menghidupi dusun Quimica supaya penduduk setempat leluasa menggunakan air bersih; tidak bergantung pada sungai Piko yang tercemar limbah pabrik kayu dan rumah tangga.

Nando begitu menyayangkan perkara ini dan tidak dapat berbuat banyak, selain daripada merutuk. Keluh kesah senantiasa lelaki bermata elang itu utarakan. Biasanya di kedai kecil di mana para kuli angkut pelabuhan menghabiskan waktu. Semacam berjudi dan minum kopi, sembari sesumbar membahas peristiwa terbaru di dusun Quimica.

Kembali tentang ide liar Nando. Ia betul-betul ingin memporakporandakan pompa tua itu dan berbuat onar. Supaya kelak dusun Quimica kembali menjadi sorotan. Berpuluh tahun silam, dusun sempatlah tersohor lantaran kasus pembunuhan. Pembunuhan sadis itu juga tak jauh-jauh dari sungai Piko. Seorang pegawai pelabuhan menemukan seonggok tubuh tanpa kepala membusuk, tak jauh dari kapal feri milik seorang syahbandar. Hampir dua bulan lamanya kapal feri mewah itu dibiarkan terombang-ambing beberapa meter dari pelabuhan. Spekulasi pun bertebaran bahwa mayat tersebut berhubungan dengan Syahbandar dan sang istri.

Ah, Nando tak ingin berlama-lama berprasangka buruk. Apa jadinya, bila ia menghasut bahwa ada sesuatu dengan kepala pelabuhan itu? Apalagi, baru saja Syahbandar mempersunting gadis berusia 17 tahun. Konon, si gadis bersedia dijadikan istri kedua. Dibelikan rumah gedongan, beserta perhiasan bermutu tinggi dari Spanyol dan Itali.

Kemungkinan kasus ini ada hubungannya dengan pernikahan terlarang Syahbandar. Nando waktu itu baru saja menginjak usia 9 tahun. Kisah itu terus terkenang, bahkan ketika kini berusia 21 tahun. Bisa saja Nando rilis ingatannya ke dalam sebuah novel. Persis seperti novel kesayangannya, berjudul Kronik Kematian yang Telah Diramalkan. Diubah sedikit banyak narasi, deskripsi tokoh dan latar tempat. Nando menggunakan dusun Quimica tentunya. Dijamin, bakal menjadi topik hangat berbulan-bulan.

Barangkali Nando pun terkenal sampai ke pelosok negeri. Itu pun jika Nando tidak ketahuan menyadur maha karya seorang sastrawan raksasa, sekaliber Gabriel Garcia Marquez. Ah, entah apa yang membuat Nando begitu kesumat dengan Syahbandar. Intinya Nando tidak suka perangai Syahbandar beserta jajarannya.

Sembari memikirkan rencana, Nando kembali menendang bola usang berlumpur ke arah utara. Persis di bawah tiang bendera yang sedikit miring dari porosnya. Ia berlari kencang sementara topi sombrero pemberian seorang kawan dari Meksiko, nyaris terjatuh ke sebuah sumur tua. Sumur yang rupanya lebih tua dari usia kakek buyut Nando.

Nando teringat kejengkelan yang terjadi di rumah. Semua berangkat dari memandangi sumur tua itu. Nando menyamakan wajah sumur seperti Norma. Kakak beda ibu yang dibangga-banggakan ke handai taulan; sebagai seorang yang kelak mengentaskan kemiskinan. Norma berhasil magang di sebuah perusahaan minyak nomor satu di kota Matsurica. Baru saja dua pekan lalu, Norma meraih gelar sarjana Teknik Kimia. Bahkan sang ibu tiri, menyiapkan pesta menjelang keberangkatan Norma ke kawasan tepi laut. Tidak hanya kegirangan yang terlihat jelas di wajah Norma. Tapi juga kebusukan hatinya; menyudutkan Nando sebagai anak tak tahu diuntung.

Terekam jelas di benak Nando, bagaimana sikap tulusnya pada Norma. Siapa yang membelikan kemeja putih, sewaktu perempuan itu menjadi mahasiswi baru? Nando rela menyisihkan uang jajan guna membelikannya kemeja. Fakta yang tak bisa dipungkiri, Norma miskin semiskin-miskinnya. Kendati, membanggakan diri berasal dari Ekuador, tapi apa yang bisa dibanggakan jikalau kemeja saja dibelikan? Sepatu bermerek Zapato juga bagian dari hadiah Nando teruntuk kakak tirinya itu. Nando tidak habis pikir, ke mana logika berpikir Norma?

"Pinjami aku uang buat beli ponsel bermerek Movil," pinta si kakak waktu itu dengan memelas.

"Aku tidak punya uang, mi hermana."

"Aku tahu kamu kerja paruh waktu. Kamu bisa dapat harga murah dengan beli di pasar gelap," saran si wanita Ekuador itu padanya. Nando sempat mengenalkannya kepada orang-orang berpengaruh, baik itu di dusun dan kota. Lelaki itu sungguh banyak jasanya kepada Norma yang menggunakan bahasa Quimico saja masih tak karuan.

Jelas ini habis manis sepah dibuang. Sampai kini, Nando belum mendapat pekerjaan layak. Apalagi, ia hanya lulusan sekolah menengah pertama. Norma mengeluarkan taring drakula dan membunuh karakter Nando secara perlahan. Nando tak dapat mengerti, faktor apa yang membuat Norma berubah sedemikian drastis. Dari mahasiswi polos yang acapkali beribadah dan santun hingga menjadi liar. Bahkan penghisap cerutu yang dikirim langsung kekasihnya. Selentingan kabar terendus, kekasihnya putra tunggal seorang mafia di Kuba. Nando sudah mengeluarkan ratusan cara guna menyadarkan Norma, bahwa jalannya sungguh sangat keliru.

"Bila kelak ada yang membawamu mencium bau surga, kenapa memilih aroma neraka?" celoteh Nando ketika itu menasehati. Tapi bukan dapat ucapan terima kasih, malah semprotan bertubi.

"Jangan sok suciii!" sahut wanita itu telak dilecehkan. Norma melancarkan serangan andalannya. Norma melakukan pelbagai cara, supaya Nando tidak betah tinggal di rumah. Akhirnya, senyum kemenangan terpatri di wajah bedebah Norma.

Nando benar-benar terusir oleh perbuatan Norma. Ia sempat tidur beralaskan kardus mie instan di pinggir sungai Piko. Dengan hanya berselimutkan jas hujan lusuh. Kejadian ini kurang lebih dua bulan lalu. Hancur hati Nando mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

"Tentu tidak semua orang jahat. Masih ada pula yang berhati malaikat," ujar seorang kawan yang mempekerjakannya sebagai pengantar barang. Nando tanpa tedeng aling-aling mengiyakan. Bagaimana pun, ia butuh makan dan pakaian layak.

***

Pagi itu, Nando mengantar pesanan ke sebuah plaza di tengah kota. Jaraknya sekitar 171 kilometer dari Quimica. Ketika memasuki area peristirahatan, Nando mendapati iklan lowongan di badan pohon pinggir jalan. Bilamana memenuhi syarat, akan membawa peserta ke negeri matador sebagai novillero, seorang matador pemula. Kesempatan emas tak akan ia sia-siakan, batinnya. Setelah mengantar barang, Nando mendatangi lokasi dan mengikuti serangkaian tes. Termasuk tes menunggangi kuda dan banteng di ibukota. Tanpa kesulitan berarti Nando lulus pada tes tahap awal.

Tes tahap akhir pun digelar tiga hari ke depan.

Nando meminta si bos kurir agar menugaskannya mengantar sejumlah barang ke luar kota.

"Berhati-hatilah, karena lintasan jalan penuh liku," ujar si kawan selaku bos menyetujui dengan alasan kasihan. Di sisi lain, Nando justru meringankan pekerjaan. Terlebih, Nando tidak terlalu banyak menuntut gaji.

Usai mengemban kewajiban, Nando mengikuti serangkaian ujian praktek dan wawancara di sebuah wisma. Di antaranya bagaimana cara merawat hewan dan juga masalah yang berhubungan dengan ternak lain. Semasa ayahnya hidup, ia kerap membantu di peternakan para pengusaha kaya setempat. Nando diberi tahu sang ayah bahwa menjadi penggembala bukanlah pekerjaan hina. Entah keahliannya ini berhubungan dengan novillero atau tidak.

Nando berbahagia sepanjang hari dan berkeliling kampung mendapati dirinya lolos. Tidak menjadi soal, bilamana dirinya dianggap sinting. Nando bermain sepakbola tanpa seorang kawan; di sebuah alun-alun yang kelak menjadi tempat ibadah ketiga puluh.

Nando kini berada di depan sebuah rumah mewah satu-satunya di desa. Letaknya tidak jauh dari lapangan sepak bola. Sepanjang jalan dari bangunan tak berpenghuni, Nando menghitung waktu demi waktu. Dalam beberapa jam lagi, Nando akan keluar dari dusun yang membosankan itu. Sebelum berangkat ke Matsurica, Nando meracuni Norma bersama istri kedua Syahbandar. Mereka menjalankan bisnis rumah bordil dan penjualan organ tubuh manusia.

Nando menyakini bisnis sudah berjalan, sebelum diketemukannya mayat tanpa kepala yang membusuk puluhan tahun silam. Tak diragukan keabsahannya yang menjadi korban tak lain ayahanda tercinta. Tidak ada salahnya membunuh, batin Nando dengan semangat berapi.

Juli 2021

Andria Septy lahir di Samarinda, Kalimantan Timur. Alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. Terpilih sebagai emerging writer MIWF 2020-2021

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com



Simak Video "Video: Saweetie Bakal Berkolaborasi dengan TWICE di Single 'superstar'"

(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

detikNetwork