Caturwulan ketiga dimulai hari ini. Upacara pengibaran bendera yang rutin dilaksanakan setiap hari Senin baru saja diselenggarakan, namun kegiatan belajar mengajar belum sepenuhnya diaktifkan. Sekolah tampak tak terurus setelah ditinggal libur selama sepekan.
Para guru mulai terlihat sibuk mengkoordinasi murid-muridnya untuk bekerja bakti. Ada yang diberi tugas di luar kelas, menyapu daun kering dan mencabut rumput liar, ada juga yang menyapu dan membersihkan ruangan kelas. Beni dan Budi kebagian membersihkan kaca jendela.
"Aku punya mainan baru. Kau pasti suka," kata Beni dari kaca sebelah luar.
Budi penasaran.
Selepas kerja bakti murid-murid tampak sibuk dengan permainan masing-masing. Ada yang lompat tali karet, main engklek, kelereng, petak umpet, bola bekel, dan masih banyak lagi. Beni dan Budi memilih duduk santai di bawah pohon ketapang. Saat Beni sedang asik mendemonstrasikan cara kerja mainan barunya, segerombolan anak laki-laki datang menghampiri mereka.
"Main bola yuk, masih kurang satu orang." kata salah satu di antaranya. Beni langsung mengajukan diri. Tinggallah Budi seorang diri. Seorang diri namun tak merasa sendiri karena ada gimbot tetris yang menemani. Itulah kali pertama mereka bertemu, saling bersentuhan di bawah teduhnya pohon ketapang. Budi mengelus tulisan Brick Game di bawah tombol kuning yang paling besar. Tulisan itu sehalus permukaan daun keladi, Budi mengusapnya lagi dan lagi.
Pada detik itu juga, tumbuh perlahan di dalam diri Budi sebentuk hasrat untuk memiliki sebuah tetris. Ingin ia padamkan segera, tapi tak kuasa. Ia tahu diri. Keluarganya pas-pasan dan ia tak punya uang. Ia tak seperti Beni yang gampang saja minta ini itu ke orang tuanya. Ia juga tak seperti kebanyakan teman-temannya yang rutin mendapat uang untuk jajan di kantin sekolah.
Tiap pagi ia mengucap syukur bila bisa sarapan nasi telur atau tahu tempe sebelum berangkat ke sekolah. Lebih bersyukur lagi bila ia dibekali pisang goreng atau camilan semacamnya. Bagi Budi, diberi uang jajan adalah suatu kemewahan dan menabung uang jajan untuk membeli tetris adalah sebuah kemustahilan. Oh Tuhan, berilah petunjuk-Mu agar aku bisa punya tetris dan main sepuasnya, doa Budi.
Saat menekan tombol On/Off, ia seperti mendengar teriakan "Budi, main yoook." Wah, tetris ini bisa berbicara padaku, pikirnya. Budi merasa takjub akan sensasi yang mampu dihadirkan oleh sebuah tetris. Cuma duduk, dan hanya kedua jempol yang bekerja, tapi rasanya seseru bermain kejar-kejaran dengan teman-temannya.
Dan pada permainan pertama, Budi langsung tahu bahwa ia telah jatuh cinta. Ia seperti menemukan dunianya. Ia bebas mengontrol tanpa ada yang mengkomando, bebas berbuat apa saja tanpa takut disalah-salahkan dan kena marah. Matanya terpaku pada layar, tak sudi beranjak ke mana-mana.
Ia memperhatikan berbagai bangun yang berjatuhan tanpa henti. Ada bujur sangkar, balok yang menyerupai huruf I, L, S atau Z, dan huruf T berkaki pendek. Semuanya harus disusun sedemikian rupa hingga membentuk garis lurus.
Bermain tetris tak hanya membutuhkan keterampilan dan kelincahan. Kinerja otak juga diperlukan. Semakin banyak garis lurus yang terbentuk, durasi permainan akan semakin lama, dan nilai yang dikumpulkan pun akan semakin tinggi. Selain itu, ada juga permainan ular-ularan. Tiap titik yang disentuh akan menambah panjang ular yang sedang dikendalikan.
Bila si ular menabrak dinding layar atau menyentuh bagian dirinya sendiri, maka Game Over, permainan selesai. Budi sudah berkali-kali Game Over tapi dimulai lagi. Begitu terus sampai lonceng tanda masuk kelas berbunyi. Beni datang bermandikan keringat. Budi menatap Beni.
"Kau benar. Aku sangat menyukainya." katanya.
Beni tersenyum.
"Kau bisa pinjam kapan saja, asal jangan dirusak!"
***
Kedekatan Beni dan Budi sudah terjalin sejak mereka masih kecil, sejak masih bayi malah. Mereka berdua lahir di hari yang sama, klinik bersalin yang sama, oleh bidan yang sama. Ada kemungkinan mereka dibuat di malam yang sama tapi di rumah yang berbeda.
Rumah mereka berdekatan, jaraknya hanya sepuluh menitan berjalan kaki. Budi sering ke rumah Beni. Macam-macam tujuannya, mulai dari sekadar bermain, belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, atau menonton acara teve swasta karena cuma Beni yang punya parabola.
Belakangan, tujuan utamanya adalah untuk bermain tetris. Beni hanya sesekali memakainya, Budi lebih sering. Tapi Beni tidak keberatan. Bahkan kalau baterai tetrisnya soak, Beni dengan senang hati membelikan batu baterai yang baru. Budi merasa beruntung punya teman sebaik Beni dan Beni senang punya teman sepandai Budi. Mereka berdua memang datang dari kondisi dan keluarga yang berbeda, tapi sehari-hari mereka tampak seperti saudara kembar yang saling mengerti, saling mencari.
Sebaliknya, Beni makin jarang ke rumah Budi. Beni tak betah berlama-lama di sana karena ibu Budi suka marah-marah. Beberapa kali Beni melihat Budi dimarahi karena lupa atau dianggap tak becus melaksanakan tugas-tugasnya: mencuci piring, menyapu, mencari kayu bakar untuk memasak makanan babi, memberi makan ayam. Dikatai anak bodohlah, pemalaslah, dan semacamnya.
Beni kadang heran karena setahunya Budi adalah anak yang pintar. Sejak masuk sekolah, mereka berdua adalah bintang di kelasnya. Tiap terima rapor selalu ganti-gantian rangking satu. Malahan, mereka berdua pernah sama-sama dapat rangking satu karena jumlah nilainya sama. Hanya berbeda di pelajaran PMP dan Agama. Jadi, jika Budi dicap bodoh, maka ia pun akan merasa sama bodohnya, dan itu tak bisa ia terima.
Sayangnya, Beni tak punya nyali untuk protes. Seram ia membayangkan sebatang lidi di genggaman ibu Budi. Dan Budi juga tak pantaslah disebut pemalas. Sesekali lupa memberi makan ayam karena keasyikan bermain masih tergolong hal yang wajar, bukan malas. Namanya juga anak-anak. Toh ibu Budi juga pernah kelupaan. Beni ingat di suatu pagi, di ruang kelas yang masih sepi, Budi hampir dibuat malu karena resleting celana sekolahnya yang lupa diperbaiki oleh ibunya. Budi duduk di bangkunya dan Beni bisa melihat burungnya. Untung waktu itu Beni punya peniti.
"Pernah tidak kau bayangkan kita tukaran orangtua?" tanya Budi.
"Tentu saja tidak" Beni terbahak-bahak.
"Apanya yang lucu?"
"Pertanyaanmu! Hahaha. Coba kau tanya satu kampung, kujamin tak akan ada yang sudi punya ibu secerewet ibumu."
***
Ebtanas baru saja selesai. Budi berlari-lari kecil ke kelas sebelah untuk menemui Beni. Mereka memang ujian di ruangan yang berbeda, terpisah oleh aturan ganjil genap nomor urut absensi.
"Bagaimana?" tanya Budi
"Ada beberapa yang salah dan cuma sedikit yang kupastikan benar. Kau bagaimana?"
"Entahlah" jawab Budi singkat seakan tak peduli. Sebenarnya dia memang tidak peduli pada soal ujian, asal jawab saja. Tinggal pilih A,B,C,D kok dibikin susah. Baginya, ada hal yang baginya lebih susah ketimbang soal Ebtanas: menahan diri untuk berlama-lama puasa main tetris.
Karena diharuskan untuk fokus menghadapi ujian Ebtanas, tetris Beni disita dulu oleh bapaknya. "Tidak boleh main-main. Nilainya harus bagus. Kalau bagus, nanti bapak kasih hadiah."
Mendengar kata hadiah, Beni langsung menyebut sepede Federal. Bapaknya mengiyakan.
"Nanti kupasangi boncengan, biar kita bisa sekolah barengan." katanya pada Budi.
Beni mulai terpacu. Ia terlihat bersemangat membuka-buka bukunya. Berbeda dengan Beni, Budi merasa kurang antusias, semangatnya meredup. Ia tahu, sebagus apapun nilainya, ia tidak akan mendapatkan hadiah. Lagipula, ia sudah punya rencana. Ia akan mendaftarkan diri di sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah neneknya. Itu berarti ia akan berpisah dengan Beni, berpisah dengan tetrisnya.
"Aku sebenarnya sudah lama ingin tinggal dengan kakek dan nenekku. Mereka sangat sayang padaku, dan aku sudah tidak tahan tinggal dengan orangtuaku. Cuma karena ada kau jadi kutahan-tahan."
Budi membuka bukunya lalu menulis kata Brick Game.
Beni diam sebentar. Ia memperhatikan Budi menulis kata Brick Game berulang-ulang. "Hei, tak baik membenci orangtua. Kau tak takut disebut anak durhaka?"
"Ah, aku takutnya justru mereka yang durhaka," balas Budi. Mereka berdua tertawa, pelan-pelan saja.
"Kalau begitu, kita perlu taruhan." Beni menutup bukunya lalu duduk di samping Budi. "Kalau nilai Ebtanasku lebih tinggi dari nilai Ebtanasmu, kau bisa mengambil tetrisku. Bawa ke rumah nenekmu. Lumayan jadi kenang-kenangan." Beni menepuk-nepuk bahu Budi.
"Kau serius?" Ada sepercik api muncul di sudut mata Budi.
Beni mengangguk
"Trus, kalau nilaiku lebih tinggi dari nilaimu?" tanya Budi
"Itu artinya kau adalah anak yang pintar!" Beni kembali ke meja belajarnya.
Toraja Utara, Oktober 2021
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video Kebiasaan Yuni Shara Agar Tetap Sehat dan Bugar di Usia 53 Tahun"
(mmu/mmu)