Toko hampir tutup. Pukul sembilan lebih seperempat. Dua perempuan muda dan dua laki-laki setengah baya berpenampilan necis sedang meniti tatap ke balik etalase.
Selamat datang di Mademoiselle Camelia!
Perempuan mungil bersetelan mirip seragam koki berwarna peach menyampaikan salam ini sembari membukakan pintu kaca. Aku tersenyum, lalu mendekati etalase itu dan menunjuk satu kue tar yang cantik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aih, ya! Seorang kawan di perusahaan tempatku sebelumnya bekerja merekomendasikan toko ini. Cabang dari Prancis, bilangnya. Benarkah? Setahuku, Mademoiselle Camelia adalah merek yang mengeluarkan sampanye kelas menengah. Harga sebotolnya bisa puluhan dolar. Selain itu, kalau tak keliru, Mademoiselle Camelia juga produk jam tangan dari rumah mode Channel. Sejak kapan jadi toko kue?
Setelah berulangkali didesak-desaknya, dengan dibarengi berbagai upaya menerangjelaskan yang serba menggebu perihal betapa nikmat kue-kue dan roti yang dijual di Mademoiselle Camelia, pada satu sore berhujan sepulang kerja aku datang ke sana. Tentu saja tanpa menaruh harapan apa-apa. Dan memang, dugaanku tak meleset jauh.
Dia keliru soal Prancis. Seantero toko hanya kutemukan jejak samar pada kertas pelapis dinding bergambar Menara Eiffel di dekat pintu masuk. Eh, ada juga poster film Minuit a Paris, serta wajah cantik Marion Cotillard dan Sophie Marceau dalam pigura kayu yang digantung tak jauh dari meja kasir. Itu saja. Tidak ada Croissant. Tidak ada Macarons, Eclair, dan Mille-Feuille. Bahkan tidak ada Baguette. Prancis apaan? Toko ini cuma toko kue lokal sok Prancis yang dengan semena-mena mencaplok nama Mademoiselle Camelia.
Namun dia akurat tentang cita rasa. Dia tak membual. Kue dan rotinya sungguh luar biasa. Apakah karena mereka menggunakan bahan baku nomor satu? Ataukah lantaran keahlian peraciknya? Aku tidak tahu. Banyak toko kue dan roti di kota ini; beberapa pernah jadi langgananku, tapi belum pernah kutemui kue dan roti selezat di sini.
Meski demikian, sesungguhnya bukan semata keistimewaan ini yang membuat aku jadi pelanggan Mademoiselle Camelia. Kue dan roti, kukira, seberapa pun dahsyat cita rasanya tidak akan cukup kuat menyeret langkahku untuk datang saban hari. Iya, sejak sore berhujan itu aku datang tiap hari. Membeli kadang kue kadang roti. Kadang cuma kudapan. Aku hanya absen jika sakit atau sedang bertugas ke luar kota.
Pertanyaannya, jika bukan cita rasa, lalu apa?
Hmm...Di depan toko ini, persisnya di seberang jalan di depan toko bunga yang terletak hampir bermuka-muka dengannya, ada satu pemandangan yang tidak pernah gagal membuatku meneteskan air mata.
Toko bunga itu bernama Mawar Hitam. Aku pernah membaca satu artikel yang pada intinya menyimpulkan bahwa mawar berwarna hitam tidak pernah benar-benar ada. Mawar yang disebut hitam sesungguhnya mawar dengan kelopak merah kotor yang gelap atau ungu gelap hingga tampak kehitam-hitaman.
Namun ada artikel lain yang menyebut sebaliknya. Mawar hitam bukan mitos. Memang ada mawar yang kelopaknya sungguh-sungguh berwarna hitam seperti tinta. Mawar ini tumbuh di Halfeti, satu desa kecil di sebelah timur Turki, dan hanya mekar di musim semi.
Apakah toko bunga Mawar Hitam juga menjual mawar hitam? Atau jangan-jangan sekadar asal caplok saja seperti Mademoiselle Camelia? Aku juga tak tahu, dan tak pernah berupaya mencari tahu karena memang itu tidak penting.
Bagiku yang penting adalah pemandangan di depannya. Pemandangan yang ppseperti kubilang tadi-- tidak pernah gagal membuatku meneteskan air mata. Seorang lelaki setengah baya bertubuh sedikit gempal dengan kaki satu dan seorang perempuan muda berambut panjang selalu dikepang. Mereka pengamen.
Laki-lakinya bernyanyi dan memainkan gitar, kadang-kadang meniup harmonika, sedangkan yang perempuan duduk di kursi kayu dari peti jeruk sembari menyanyi dan memukul-mukulkan kerincingan. Suara dendangnya merdu. Juga suara laki-laki itu. Harmonisasi suara mereka sangat padu. Seperti Muchsin dan Titiek Sandora. Seperti Dewi Yull dan Broery Marantika. Aku sudah melihat mereka sejak pertama kali datang ke Mademoiselle Camelia, tapi baru pada kedatangan kelima aku tahu laki-laki itu buta.
Pegawai toko Mademoiselle Camelia menceritakan kisah mereka padaku. Kisah cinta tentu saja. Bagaimana lelaki itu memperjuangkan perasaannya dengan ketulusan yang sungguh-sungguh mencengangkan. Bagaimana laki-laki itu rela mengorbankan segala yang ia punya. Tak terkecuali matanya. Iya, tadinya, perempuan itu yang buta.
Kisah seperti ini mungkin akan mengharukan bagi orang lain. Bagiku tidak. Aku punya kisah sedih sendiri. Namun, sekali lagi, pemandangan yang kulihat di depan Mawar Hitam memang selalu berhasil menerbitkan air mataku.
Pemandangan tatkala laki-laki berkaki satu, usai menyanyi, mengangkat tangannya --meraba-raba menggapai udara-- dan perempuan itu cepat-cepat meletakkan kerincingan lalu bangkit dan tergopoh melangkah menghampirinya dan meraih tangannya. Dia mendekapkan tangan laki-laki itu ke dadanya dan selalu setelahnya akan memandang wajahnya lekat-lekat. Senyumnya mengembang.
Senyum laki-laki itu juga mengembang (bagaimana dia bisa tahu perempuan itu sedang tersenyum padanya?). Dan mereka kemudian berpelukan. Erat, intim, dan rindu, seolah mereka sudah lama sekali tak bertemu.
Pemandangan yang barangkali juga akan kelihatan biasa-biasa saja bagi orang lain, tapi tidak bagiku. Sepasang pedendang ini melemparkanku kepada kenangan, yang walaupun manis, sesungguhnya tak pernah ingin kuingat-ingat lagi. Sebab setelah manisnya yang menenteramkan, yang membahagiakan, datanglah rasa pahit durjana.
Aku tidak mengerti kenapa perubahan bisa terjadi begitu cepat. Ayah tak lagi menyambut tangan ibu. Pun ibu mulai sering membalas hardikan ayah. Dan dari sinilah semua kekacauan bermula. Adikku yang laki-laki, diam-diam membeli lipstik dan menyempil-nyempilkan gumpalan kertas koran ke balik kaus dalamnya.
Adik bungsuku, perempuan yang wajah manisnya selalu mengingatkanku pada ibu, lebih suka keluyuran bersama kawan-kawannya. Dia jarang pulang. Dia lebih suka menginap di rumah kawan-kawannya itu. Juga di rumah tante, adik ibu. Aku? Aku memilih mendekam di kamar.
Lalu ayah makin sering marah-marah. Dia menampar adik yang mulai berani pula mengenakan long dress dan wig blonde seperti rambut Marylin Monroe. Lalu dia mengusir adik dan dia sendiri pun pergi. Kami tahu ke mana dia pergi.
Kami juga tahu siapa perempuan itu. Dia sering datang ke rumah. Dia anak teman ibu. Usianya kurang lebih tiga atau empat tahun saja di atasku. Aku juga mengenalnya. Bahkan beberapa kali kami sempat jalan bareng. Ke mall, belanja ini dan itu, nonton bioskop, atau sekadar nongkrong di kafe. Juga ke konser-konser musik. Kami sama-sama menyukai pop rock, fusion, dan jazz.
Aku memanggilnya kakak. Sumpah! Aku tidak tahu kapan dan dengan cara bagaimana dia bisa dekat dan kemudian menjalin hubungan dengan ayah.
Lalu ibu sakit. Makin lama makin parah dan akhirnya meninggal dunia. Kami memakamkannya tanpa kehadiran ayah. Aku mencoba menghubungi ayah. Adik juga. Namun entah berapa puluh panggilan telepon kami tak berjawab. Beberapa hari setelahnya, kami mendengar kabar bahwa persis pada hari kematian ibu itu, ayah dan istri barunya sedang menanti kelahiran anak mereka.
Aku makin jauh mendekam di kamarku. Makin malas bertemu orang-orang. Dulu aku punya kawan seorang Jepang, yang setelah sempat depresi akibat pemerkosaan yang dialaminya, kemudian melakukan hikikomori; memutus hubungan dengan dunia luar dan sepenuhnya menjadi manusia kamar. Aku ingin menirunya tapi tak bisa. Aku harus bekerja. Aku harus mencari uang untuk bertahan hidup. Setidaknya hidupku sendiri.
Iya, setelah kematian ibu kami tercerai-berai. Adik bungsuku memutuskan untuk seterusnya tak pulang. Dia tinggal di rumah tante. Adik laki-lakiku entah ke mana. Dia tak pernah berkirim kabar. Baru belakangan aku tahu keberadaannya, dan saat kami bertemu, aku hampir-hampir tidak dapat mengenalinya lagi. Wajahnya lebih bersih, lebih cemerlang, lebih cantik dari wajahku. Kulitnya putih mulus dan halus. Alisnya berlekuk aduhai. Dadanya bulat dan besar. Bahkan jauh lebih bulat dan lebih besar dari dadaku. Dengan isyarat mata kulirik bagian bawah tubuhnya dan dia mengangguk pelan. Hatiku remuk redam.
"Mbak, jadi kuenya?" suara pegawai toko mengejutkanku.
Kulihat sekeliling. Ah, tinggal aku di sini. Dua perempuan muda dan dua laki-laki setengah baya berpenampilan necis tadi sudah pergi. Kecuali yang di depanku, pegawai toko lain tengah bersiap-siap pulang. Hampir pukul 10. Pintu depan tertutup separuh.
"Eh, iya. Iya, Jadi."
"Diberi tulisan selamat ulang tahun, Mbak? Ke berapa?"
Aku menyebutkan angka. Seketika ada rasa ngilu menusuk dadaku. Sudah lama sekali, ternyata. Malam tadi ayah menelepon. Entah dari mana dia mendapatkan nomorku. Ayah menanyakan kabar dan kujawab sekadarnya, dan pembicaraan kami memang tak lama. Tak lebih dari tiga menit. Aku masih membencinya, dan kukira aku belum siap untuk bertemu dengannya.
Barangkali tak akan pernah siap. Namun aku mencoba memaafkannya. Kukira suatu hari nanti aku bisa melakukannya. Paling tidak, sejauh ini aku sudah bisa mengingat ulang tahunnya dan menuliskan namanya.
Medan, 2021
T Agus Khaidir lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), 4 Februari 1977. Tinggal di Medan dan bekerja sebagai wartawan
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)