Tak ada nasi megono seenak racikan Mak Kudung. Perpaduan asin yang pas, manis yang pas, pedas sedikit. Harga pas pula di kantong; tiga ribu rupiah per porsi. Hariman mengatakan pada istri tak perlu repot bikin sarapan, biar itu jadi tugas Mak Kudung.
Usai Salat Subuh, Hariman naik Vario ke rumah Mak Kudung di Jalan Wesiaji Desa Lumpang Rejo. Pulang membawa lima bungkus nasi megono dan seplastik gorengan. Istri dan dua anaknya masing-masing mendapat jatah sebungkus nasi megono. Untuk Hariman dua bungkus.
Kata istri Hariman, nasi megono Mak Kudung lezat karena berbungkus daun jati. Aroma khas daun jati seperti meresap dalam nasi megono hingga menjadikannya begitu nikmat. Menjumput satu per satu sisa nasi yang lengket di daun jati jadi ritual yang menyenangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Coba nasi megono ini dibungkus kertas minyak, tentu tak selezat bungkus daun jati," kata sang istri, suatu kali.
"Kalau dibungkus daun pisang, apa masih nikmat?" tanya Hariman.
"Mungkin, tapi tetap lebih lezat bungkus daun jati."
"Begitu, ya?" Hariman percaya analisa sang istri yang paham kuliner.
Warung Mak Kudung buka sejak subuh sampai tengah hari. Sebetulnya itu bukan warung, lebih tepat seperti warung. Wanita setengah baya itu --Hariman perkirakan usianya 50 tahun-- menggelar dagangannya di teras rumahnya.
Ada dua meja panjang yang diatur membentuk huruf L. Ada sebuah etalase di atas salah satu meja tempat meletakkan nasi, megono, dan aneka gorengan. Meja lainnya untuk memajang aneka kerupuk dan piring anyaman lidi.
Di ruang tamu ada beberapa kursi plastik. Biasanya, para sopir suka sarapan di ruang tamu itu sebelum mereka berangkat kerja. Mereka makan nasi megono yang disajikan dalam piring anyaman lidi yang dilapisi selembar daun jati.
Makan di tempat atau dibawa pulang, nasi megono Mak Kudung selalu menyatu dengan daun jati. Ciri khas yang tidak ditemukan di warung nasi megono di tempat lain.
Saat ini Mak Kudung berjualan dibantu seorang wanita sebaya dirinya, masih tetangga. Anak tunggalnya, perempuan, masih kuliah Manajemen di sebuah PTS di Pekalongan. Kos di sana. Kabarnya sang anak tinggal menyelesaikan skripsi.
Suami Mak Kudung wafat beberapa tahun silam, karena truk yang disopirinya masuk jurang, rem blong. Untuk menyambung hidup setelah menjanda, Mak Kudung membuka warung nasi megono.
Mak Kudung, itu nama yang unik. Hariman sempat mengira itu sekadar panggilan yang merujuk pada kerudung yang selalu dipakai wanita itu. Ternyata itu bagian dari namanya, Kudung Mawarni. Ah, nama yang sedap, sesedap megono racikannya.
Dan, daun jati. Itu daun yang langka pada zaman serba buatan pabrik ini. Di pasar Lumpang Rejo jarang yang menjual daun jati, kalaupun ada pasti cepat habis. Penjual daun jati pun orang yang sudah renta. Mereka sudah jualan daun jati sejak muda, sudah puluhan tahun.
Pemasok daun jati untuk Mak Kudung juga sudah sangat tua. Namanya Mbah Siyem dari Desa Sumurwatu, sekitar lima kilometer di utara Lumpang Rejo. Ia berjalan kaki menggendong keranjang anyaman bambu berisi banyak gulungan daun jati menuju rumah Mak Kudung.
Mbah Siyem berusia 70 tahun, takut naik motor, muntah kalau naik angkutan, sehingga ia memilih berjalan kaki ke mana pun pergi.
Hariman pernah melihat Mbah Siyem di warung Mak Kudung, suatu siang ketika hendak mengambil nasi megono untuk konsumsi rapat di kantor. Tubuh wanita pamasok daun jati itu sudah bungkuk, tetapi tampak masih kuat, yang tergambar dari wajahnya yang semringah seakan tak ada beban dalam hidupnya.
Melihat Mbah Siyem yang renta, meski masih tampak kuat, Hariman berpikir berapa lama lagikah wanita itu akan jadi pemasok daun jati? Semua ada masanya, ada akhirnya, apa yang akan terjadi bila wanita itu berhenti memasok daun jati? Tetapi pertanyaan itu hanya disimpan Hariman dalam hati.
Pertanyaan itu pun kemudian terbenam oleh pikiran Hariman tentang Mak Kudung sebagai wanita tangguh. Hariman bertekad apapun yang terjadi, dengan daun jati atau tanpa daun jati, ia akan tetapi jadi pelanggan setia warung Mak Kudung.
Warung Mak Kudung ramai sepanjang hari. Kalau pagi berjubel orang seperti antre tiket kereta api. Banyak anak sekolah yang sarapan di sana, termasuk anak-anak SMA Negeri tempat Hariman bekerja.
Suatu siang ada sebuah mobil bak terbuka alias doplak yang berhenti di depan kantor Hariman. Di bak mobil itu memuat banyak bibit aneka tumbuhan. Hariman tertarik, lalu keluar kantor.
"Maaf, Pak Guru. Saya hanya parkir sebentar. Ada orang mau COD di sini," kata pemuda si sopir doplak.
"Tak apa, Mas," jawab Hariman. "Saya bukan guru, hanya pegawai TU biasa. Bibit apa ini, Mas?"
"Oh, itu bibit jati emas, Pak."
"Jati emas? Berapa lama tumbuh sampai tingginya?"
"Enam sampai lima belas tahun sudah bisa ditebang, Pak."
"Kalau perlu daunnya saja, perlu berapa lama nunggunya, Mas?"
Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
"Daunnya saja, Pak? Mm, mungkin usia tiga tahun sudah lebat daunnya, Pak."
"Berapa harga per bibit, Mas?"
"Lima puluh ribu, Pak. Ini jati emas kualitas unggul, Pak"
"Saya ambil dua, Mas."
"Baik, Pak."
Ide membeli bibit pohon jati emas itu muncul begitu saja. Hariman teringat Mak Kudung dan nasi megono berbungkus daun jati, Hariman teringat Mbah Siyem yang tak mungkin jadi pemasok daun jati selamanya. Semua ada masanya, ada akhirnya.
Sang istri tertawa melihat Hariman pulang membawa dua polibag berisi dua bibit pohon jati emas. Kata sang istri, belum pernah seumur-umur ia melihat Hariman pegang cangkul.
"Mau tanam di mana pohon itu? Halaman kita sempit," kata sang istri, masih tertawa.
"Di pot."
Tawa sang istri makin keras.
Dua hari Hariman tidak makan nasi megono Mak Kudung, karena harus mengikuti penataran bagi Kepala TU di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi. Pada hari ketiga, saat pulang dari penataran, Hariman mencoba mampir ke warung Mak Kudung, siapa tahu ada sisa nasi megono, tetapi sudah tutup.
Esok pun tiba. Seperti rindu pada kekasih, usai salat subuh, Hariman memacu Vario-nya lebih kencang dari biasanya. Seakan itu hari terakhirnya bisa makan nasi megono Mak Kudung. Sampai di sana, Hariman kecewa.
"Kok bungkus daun pisang, Mak?"
"Mbah Siyem pensiun, capek katanya, sudah tua. Belum nemu pemasok daun jati lagi. Mau beli di pasar, nggak kebagian. Sudah habis dipesan bakul pindang."
Benar kata sang istri, nasi megono yang berbungkus daun pisang memang masih enak, tapi tidak selezat bungkus daun jati. Aroma khas daun jati dan daun pisang sungguh berbeda, berbeda pula kelezatan yang dimunculkan. Meski begitu, Hariman masih mencoba setia jadi pelanggan warung Mak Kudung.
Setelah daun pisang, kini kertas minyak. Hariman kecewa sekali, tetapi ia mencoba tersenyum pada Mak Kudung seakan tak ada perubahan pada cita rasa nasi megono wanita itu. Tetapi pandangan wanita yang telah kenyang asam garam, tak mampu ditipu.
"Nggak enak, ya, pakai kertas minyak? Mau gimana lagi, cari daun pisang juga susah sekarang."
"Masih enak kok, Mak."
Bukan lima bungkus, tapi kini cukup empat bungkus nasi megono Mak Kudung yang dibawa Hariman ke rumah. Istri dan anak-anak tampak malas memakannya. Dahulu, mereka selalu menghabiskan jatah mereka. "Kalau bisa dimakan, mau pula kumakan daun jati ini," kata sang istri, dahulu. Mereka sudah fanatik pada daun jati. Jangan melawan orang fanatik!
Suatu hari --Hariman ingat itu hari Minggu-- sang istri tidak mengingatkan Hariman untuk ke warung Mak Kudung. Sang istri tampak sibuk di dapur, bersiap memasak.
"Aku mau ke warung."
"Tidak usah," sergah istri.
"Kenapa? Aku tak enak kalau tak ke sana. Warungnya di seberang kantorku."
Hariman merasa tak perlu berdebat dan memilih mengurungkan niat ke warung Mak Kudung, ketika sang istri menjawab, "Sudah tugas istri menyiapkan sarapan untuk keluarga!"
Keterangan
Megono merupakan makanan khas daerah Pekalongan (Jawa Tengah) dan sekitarnya. Terbuat dari nangka muda yang dicacah kecil-kecil, dikukus, dicampur parutan kelapa yang telah diberi bumbu rempah-rempah. Perpaduan asin dan manis, ada pula yang agak pedas, menciptakan rasa yang gurih. Sebagian orang menganggap nasi megono akan lebih nikmat bila dibungkus daun jati.
Sulistiyo Suparno lahir di Batang, 9 Mei 1974. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)