Setelah menunggu hampir tiga bulan --atau malah tiga bulan lebih?-- tentu Anda sudah bisa mengira bahwa saya akan bilang tidak pada cerita pendek Anda. Maaf telah membuat Anda menunggu begitu lama, dan balasannya mungkin mengecewakan. Tidak, mungkin ini terlalu egois karena saya terdengar minta maaf untuk diri saya sendiri. Akan lebih bijak jika saya ulangi dan ralat: maaf, Anda harus menunggu begitu lama. Seandainya saya lebih cepat merespons, tentu Anda bisa lebih cepat pula mengirimkan cerita pendek Anda ke media lain, yang barangkali akan memuatnya.
Atau, Anda sudah lama berhenti menunggu? Dan, diam-diam telah mengirimkan karya Anda ke media lain karena, ya, sekali lagi, Anda sudah bisa mengira bahwa saya akan menolaknya. Dalam email balasan Anda yang singkat, selain tentu saja basa-basi ucapan terima kasih karena "Anda bersedia membacanya saja saya sudah senang", saya menggarisbawahi kalimat penutup Anda yang mau tidak mau terbaca sangat emosional oleh saya --untuk tidak mengatakan sinis, bahkan sarkastis. Anda bilang, "Semoga pada kesempatan lain bisa memenuhi selera sastra Anda."
Jujur, saya perlu berulang kali menajamkan penglihatan saya untuk membaca kembali kalimat itu, dan meragukan diri saya sendiri: benarkah Anda telah mengatakannya --maksud saya menuliskannya? "Selera sastra"? Selera sastra saya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya tidak keberatan dengan kata "selera", karena bagaimana pun, sebagai editor di sebuah situs berita yang seminggu sekali memuat cerita pendek sebagai bagian dari pencitraan intelektual dan sesuatu yang telah dianggap sebagai kelaziman laku budaya dalam masyarakat beradab, memang itulah --ya, selera itu-- nyaris satu-satunya yang saya punya. Memangnya apa? Ketajaman? Kedalaman? Apa yang lebih utama dalam menilai sebuah seni, karya sastra, termasuk puisi, dan dalam hal ini kita bicara tentang cerita pendek, selain selera? Selera bukan hanya nyaris satu-satunya, melainkan bahkan yang utama dan segalanya.
Nanti kita akan bicara lebih banyak lagi tentang itu, tapi sekali lagi, saya tidak keberatan dengan kata "selera"; saya lebih khawatir dengan kata "sastra" yang Anda sematkan di belakangnya. Seandainya Anda hanya bilang, "Semoga pada kesempatan lain bisa memenuhi selera Anda," barangkali saya tidak akan memikirkannya sampai terbawa tidur, dan kemungkinan besar saya tidak akan membalas lagi email Anda. Tapi, dengan menyebut-nyebut "sastra" di belakang kata "selera", saya merasa ada persoalan cukup penting yang perlu kita bicarakan lebih jauh lagi.
Saya orang yang tak suka disalahpahami. Saya berada di posisi saya sekarang ini setelah menempuh perjalanan yang jauh, sebuah proses panjang, dan mohon dengan segala kerendahan hati hal itu bisa menjadi bahan pertimbangan Anda dalam menilai saya. Apakah saya terdengar meninggikan saya sendiri, meskipun saya telah dengan sangat hati-hati memohon dengan segala kerendahan hati? Semoga Anda cukup paham maksud saya.
Saya telah mendengar bisik-bisik, kasak-kusuk, selentingan, apapun istilahnya, di luaran sana, yang secara sekilas dan sambil lalu saya tangkap dari berbagai obrolan di kolom-kolom komentar media sosial, atau diberi tahu oleh seorang kawan yang mencuri obrolan di sebuah komunitas para penulis, bahwa saya ini dianggap sebagai "editor yang sulit ditaklukkan". Apakah ini sebuah pujian? Saya tidak cukup naif untuk merasa terpuji; sebaliknya, yang saya tangkap saya telah dikesankan sebagai sesosok pribadi yang angkuh, angker, keras kepala, dan --paling buruk dari semua itu-- sombong.
Saya juga mendengar --atau membaca-- penilaian-penilaian seperti "redaktur aneh", "gatekeeper yang inkompeten", dan frasa-frasa lain yang tak mudah saya mengerti. Tapi, okelah, apapun itu, saya toh tak bisa mengatur kesan, anggapan, dan penilaian orang terhadap diri saya. Faktanya, saya memang punya, ya katakanlah, kedudukan dan otoritas yang menentukan atas tersiarnya sebuah karya, yang diakui atau tidak (pengakuan itu tidak datang dari diri saya sendiri), telah menjadi semacam barometer gengsi dan kualitas: bahwa cerita pendek yang saya terbitkan memiliki "kelas" tersendiri, yang membuat penulisnya juga ikut "naik kelas", dan tentu saja bangga.
Sekali lagi perlu saya tegaskan, bahwa pengakuan itu bukan klaim sepihak dari saya. Faktanya, media (online) tempat saya bekerja adalah sebuah media besar, media pelopor, menjangkau publik yang sangat luas, dibaca banyak orang, melebihi jangkauan dan jumlah pembaca yang bisa kita bayangkan pada media-media lama. Siapa hari ini yang masih membaca koran? Sedangkan majalah, nasibnya lebih buruk lagi. Mungkin tidak ada lagi sekarang majalah yang memuat cerita pendek. Dulu, waktu saya masih kuliah, ada seorang kritikus dan budayawan ternama, disegani, dianggap mumpuni, dan suaranya didengar, mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir (kala itu), cerpen-cerpen terbaik tidak muncul di Horison, melainkan di Majalah Matra.
Saya masih ingat betul majalahnya, sebuah majalah bulanan yang menampilkan wawancara panjang yang sangat ciamik dengan para tokoh sebagai salah satu sajian utamanya; saya rajin membelinya. Dan, saya juga tak pernah ketinggalan membaca halaman cerpennya, yang harus kita akui memang memuat karya-karya yang baik. Tapi, apakah kalimat bombastis semacam itu --yang diucapkan oleh sang kritikus tadi-- masih bisa diulang lagi dalam situasi zaman yang telah jauh bergeser dan berubah seperti sekarang? Zaman ketika setiap orang, tanpa terkecuali Anda, bisa membuat (bahkan menjadi) media sendiri, memproduksi konten sendiri, termasuk tentu saja cerita pendek, yang entah kenapa masih dianggap primadona (oleh siapa?).
Belum lagi ratusan website yang dikelola oleh komunitas atau penerbit buku atau sekadar sekumpulan "anak-anak muda idealis", yang khusus memuat isu-isu budaya, dan sudah barang tentu tak ketinggalan puisi dan cerpen.
Bahkan baru-baru ini, seorang teman saya --dia penyair, penerjemah, dan kritikus-- mengunggah sebuah cerpen sebagai "status" di Facebook-nya. Lalu, apakah hanya karena cerpen itu "tercetak" di timeline sebuah media sosial di internet, dan bukan di rubrik dengan nama indah semisal "pertemuan kecil" atau "seni dan budaya" di koran nasional atau majalah gaya hidup, serta-merta kualitasnya lebih rendah, atau bahkan lebih buruk dan lebih kurang bernilai? Perlu saya katakan, saya sangat menikmati cerpen itu, dan seandainya dikirimkan kepada saya, tanpa berlama-lama saya akan dengan antusias memuatnya. Bukan karena dia teman saya, tapi karena memang cerpen itu layak disuguhkan kepada sidang pembaca, berdasarkan "selera" saya, bukan "selera sastra" saya.
Sampai di sini Anda barangkali bisa menangkap kekhawatiran (atau ketersinggungan?) saya. Atau, saya terlalu berputar-putar? Saya harap Anda cukup mudah menangkap maksud saya, bahwa saya khawatir Anda tidak sadar dengan sinisme Anda sendiri. Bahwa saya tersinggung karena Anda telah menggunakan embel-embel "sastra" sebagai sebuah olok-olok, sindiran yang kejam, seperti menempelkan ke jidat saya dengan gerakan yang agak kasar sebuah label untuk menandai saya sebagai seorang editor yang "selera sastra"-nya diragukan. Apakah tadi saya sudah mengatakan bahwa saya tidak keberatan dengan kata "selera"?
Silakan ragukan dan pertanyakan selera saya. Saya tidak peduli. Tapi, saya merasa telah dicemooh, direndahkan, dan dilucuti kapasitas saya ketika Anda dengan serampangan dan sembrono membawa-bawa kata "sastra". Mengatakan bahwa "semoga pada kesempatan lain bisa memenuhi selera sastra Anda" sama dengan mengatakan bahwa, "Oke, Anda memang punya selera, tapi maaf, Anda tidak memahami karya sastra, tidak bisa menilai mana karya sastra yang bagus dan mana yang buruk."
Apakah Satyagraha Hoerip peduli seandainya Anda menggugatnya: kenapa di antara sekian puluh cerita pendek Seno Gumira Ajidarma, ia memilih Ngesti Pandowo untuk dimasukkan ke proyek antologi ambisiusnya, Cerita Pendek Indonesia, yang sampai empat jilid buku itu? Apa pula alasan dia memasukkan Emha Ainun Nadjib ke dalam antologi itu --apakah Emha bisa dianggap sebagai cerpenis yang "bagus"? Apakah sketsa suram yang cenderung karikatural berjudul Jakarta karya Totilawati Tjitrawasita dalam antologi itu bisa disebut "cerpen"? Untuk apa memasukkan Taufiq Ismail dalam sebuah antologi yang berusaha menjadi kanon cerpen Indonesia, kalau ia lebih dikenal sebagai penyair, dan karya-karya puisinya memang jauh lebih kuat?
Saya harap Anda cukup paham bahwa saya tidak sedang meragukan nama-nama itu. Saya tidak hendak menimbang kembali mereka, termasuk Satyagraha sendiri --apakah selera sastra dia buruk? Saya hanya ingin menunjukkan bagaimana "selera" bekerja, dan menjadi penentu. Sekali lagi "selera", dan bukan "selera sastra".
Saya khawatir bahwa yang Anda anggap sebagai "sastra" adalah cerita-cerita yang mengandung diksi seperti "negeri senja", "pemetik hujan", "pemintal kesedihan", "penyalin cahaya"; atau menggarap tema-tema gelap seperti "tempat terindah untuk mati", "pertemuan terakhir", "stasiun tak bernama"; atau mengangkat "realitas" seperti "catatan seorang pelacur", "pengakuan pembunuh bayaran", "perempuan suamiku"; atau berpretensi filosofis seperti "takdir", "mimpi", "eros"; atau mereferensi hal-hal di luar cerita itu sendiri, tapi benar-benar ada dalam kehidupan, semata hanya agar tampak keren, seperti "haruskah aku mengiris telingaku seperti van Gogh", "aku ingin mati seperti Virginia Wolf", "seorang lelaki mirip Jim Morrison".
Sementara menurut saya, sastra adalah kejujuran --ya, sesederhana itu, dan mungkin saking sederhananya jadi Anda lupakan. Sastra adalah keberanian untuk bertelanjang dan menceritakan Anda sendiri, atau tokoh-tokoh (ciptaan) Anda (yang itu sebenarnya tak lain refleksi dari Anda sendiri juga) apa adanya. Saya ulangi, apa adanya, tanpa sibuk dan muluk-muluk dengan diksi, tema; tanpa kekhawatiran untuk kemungkinan dianggap "tidak serius" --tidak "nyastra".
Tentu saja, tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa dalam sebuah cerpen kita butuh unsur-unsur itu --cerita, diksi, tema, penokohan, latar, hingga suasana. Tapi, lebih penting dari itu semua adalah bagaimana Anda bisa mengendalikan diri untuk tidak melebih-lebihkan dan terkesan berusaha keras untuk "mengarang-ngarang" agar pembaca takjub, terkesan --tapi justru tergelincir dalam "khayalan", bahkan lebih buruk lagi kebohongan.
Sastra membutuhkan imajinasi, bukan fantasi. Imajinasi muncul, berkembang, dan diasah melalui kekayaan batin, wawasan, pengalaman, pengamatan untuk kemudian diolah dengan perspektif --psikologi, logika-- sehingga betapapun "tinggi" dan "mengawang" ia tetap punya pijakan, yaitu kenyataan. Sedangkan fantasi tidak berakar pada kenyataan, ia bisa ngawur dan seenaknya, mengumbar sensasi, tapi tak ada isi. Sastra selalu kembali pada kejujuran, kesederhaan, kejernihan.
Misalkan dalam cerita Anda, Anda menulis "aku ingin mati seperti Woolf atau Plath", ya tentu pembaca akan langsung "wow"; keren sekali penulis ini. Di hadapan sidang pembaca yang, katakanlah, cerdas dan berwawasan, akan langsung tampak --atau setidaknya Anda ingin orang melihat-- ke-"universal"-an keinginan Anda untuk mati (bunuh diri). Mungkin salah satu pembaca di kamarnya entah di mana berdecak memuji betapa Anda telah khatam dengan "strategi diskursif" ala Foucault. Penulis yang cerdas!
Tapi, sebagian pembaca lainnya yang tak kalah cerdas dan berwawasan, bisa segera melihat sebenarnya ada beberapa masalah yang akan muncul dari strategi Anda itu. Pertama soal referensi tadi; Anda jadi terdengar pretensius, sok, gaya, dan sok gaya --untuk apa menyebut Woolf dan Plath selain untuk pamer? Itu risiko pertama. Kedua, referensi itu sendiri sebenarnya juga tidak terlalu jelas, mati seperti Woolf itu seperti apa? Apakah Anda menganggap semua pembaca Anda tahu bagaimana cara Woolf mati --dengan menenggelamkan diri di sungai setelah mengantongi batu di piyamanya? Atau "ingin mati seperti Plath" untuk mengatakan bahwa Anda "tidak ingin mati dengan meninggalkan pesan terakhir seperti di film-film picisan"? Tapi, bagi pembaca yang tahu Plath akan dengan gampang menyerang Anda, lho, bukankah setiap puisi Plath adalah surat terakhir?
Pesan saya sederhana: berhati-hatilah dengan diksi, tema, dan referensi karena bisa jadi hal-hal itu justru akan menenggelamkan Anda ke dalam ketidakjelasan. Kembalilah pada diri Anda sendiri, lihat lebih dalam dan gali lagi. Kenali terus-menerus tempat Anda berdiri, sekeliling Anda, lingkungan Anda --di mana Anda hidup selama ini. Ketika kepala Anda penuh dengan bayangan tentang kematian, apa yang Anda rasakan? Batu yang dingin di dalam saku dan daun-daun coklat di kulit pucat Woolf? Atau, rambut pirang Plath yang gosong di dalam oven? Atau, baygon di sudut kamar Anda sendiri? Tetangga Anda yang diam-diam mengamati kegelisahan Anda dan curiga? Anda ingin semua orang --pembaca Anda-- ikut merasakan itu semua, tapi Anda sendiri belum tahu apakah itu yang Anda rasakan? Sedih? Putus asa? Semua ini tidak ada gunanya? Hampa? Kenapa?
Seperti halnya sastra yang Anda puja dan agungkan, Anda tidak perlu berusaha menyimpulkan apa yang Anda rasakan; Anda hanya merasakannya. Anda memang merasakannya dan memberitahu pembaca dengan sejujurnya apa yang Anda rasakan.
Dengan cara yang sama, sebagai orang yang harus memanggul salib "gatekeeper sastra" dengan segara risikonya --penghakiman, prasangka-- saya menerima, membaca satu per satu, dengan kesabaran dan kejengkelan, menyeleksi, untuk kemudian menyiarkan dan menolak cerita-cerita yang dikirimkan kepada saya, menyerahkannya ke khalayak, atau mengembalikannya kepada sang penulis, seperti Anda. Tidak lebih, dan tidak kurang....
(untuk Mikael Johani yang dokumen lamanya di tumpukan saya menginspirasi cerita ini)
Mumu Aloha wartawan, editor, kadang-kadang menulis esai, sesekali menulis cerita, lebih sering mengkritik
(mmu/mmu)