Datanglah pada Hari Onan

Cerita Pendek

Datanglah pada Hari Onan

Jasman Simanjuntak - detikHot
Minggu, 31 Okt 2021 11:15 WIB
ilustrasi cerpen
Foto: iIustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Dua pekan setelah masa berkabungmu berakhir, penguasa pasar mengumumkan sesuatu yang sesungguhnya sudah biasa kudengar. Tetapi pengumuman kali ini membuatku lama menghentikan kerja parang pada babi hutan yang kujual lantaran dia menyebut nama seorang yang kukenal dekat.

"Wahai paranon sekalian...Dengarkan aku!" penguasa pasar berteriak dari satu pijak tanah di pasar. Dia mengangkat tangan kanannya, sedangkan tangan yang lain menyentuh bagian belakang tubuhmu. Di sana, di samping penguasa pasar, kau berdiri.

Orang-orang semakin banyak menoleh ke sumber suara keras itu ketika penguasa pasar melanjutkan, "Bersamaku di sini ada Mak Sintong, seorang janda yang ditinggal mati suaminya, mendiang Singkap Sambola. Mulai sekarang, lelaki mana pun boleh meminangnya, asal sesuai adat."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ah, Singkap Sambola. Aku mengenal pemilik nama itu. Dia kawanku yang malang. Dia mati tiga bulan yang lalu ketika belum lama kau melahirkan anak pertama kalian yang masih begitu merah. Aku tak tahu apa penyebab kematiannya. Akan tetapi, berita yang kudengar, suamimu itu diserang angin duduk hingga dia kesulitan bernapas dan berujung tangis bagimu dan yatim bagi anakmu.

Aku sungguh menyesal tidak bisa hadir untuk melayat dan saat pemakamannya. Kala itu, aku tengah berada di hutan untuk menjerat babi hutan. Ketika aku kembali ke kampung dengan membawa hewan hasil menjerat, seorang warga mengatakan kepadaku bahwa kawanku yang malang itu sudah mati dan juga sudah dimakamkan. Seekor babi hutan yang kupikul sontak jatuh berdebuk menumbuk tanah yang lembab, diikuti kedua lututku.

ADVERTISEMENT

Dalam tangisku, aku bersumpah bahwa Singkap Sambola adalah kawan yang baik.

Aku dan Singkap Sambola semakin akrab ketika kami merantau bersama-sama ke Labuh Boga. Sebelum kami mendapat pekerjaan tetap, kami bekerja serabutan dan tidur di sekitar pelabuhan yang kerap memerangkap gigil angin. Ketika matahari sebentar akan muncul dari balik bukit, kami mengitari pasar, menjaja tenaga kepada orang-orang yang barangkali memerlukannya untuk memindahkan barang-barang dari mobil bak atau tepi jalan ke lapak jualan mereka.

Di pelabuhan, kami mengatakan kepada tekong agar membiarkan kami mengangkut ikan-ikan dalam peti atau keranjang ke tempat pelelangan. Dengan cara begitu kami bisa hidup.

Pada pekan keenam kami di Labuh Boga, aku ingat betul, seorang tekong menawari kami bekerja sebagai anak buah kapal pukat. Katanya, tiga awak telah pulang ke kampung mereka dan sepertinya tak akan kembali ke sini. Kami beruntung, dan menjadi awak merupakan pekerjaan yang lebih menjanjikan ketimbang harus melangsir barang dan luntang-lantung di pasar.

Tetapi, seumur hidup kami tak pernah melaut. Kendati daerah asal kami di Tanah Loba ada danau dan penjala ikan, tentu itu tidak serupa dengan melaut. Singkap Sambola terbiasa di ladang, sementara aku menganggap diriku hanya terampil menjerat babi hutan. Namun tetap saja kami menyanggupi tawaran tekong.

Kami pun bertolak entah ke mana. Aku melihat sekeliling adalah laut belaka, tanpa tanda-tanda daratan sudah dekat. Kepastian yang lain: Singkap Sambola dan aku mabuk laut. Kami berdua muntah-muntah, dan itu menjadi pemicu gelak tawa bagi para awak, seakan-akan penderitaan kami adalah lelucon yang terlampau berharga bila tak dirayakan.

Penderitaan yang menimpaku seolah tak kenal cukup dan jauh lebih berat dibandingkan Singkap Sambola. Mabuk yang Singkap Sambola alami tidak berlanjut pada hari kedua. Sementara aku, perlu kukatakan bahwa pelayaran itu merupakan serupa menjelang ajal; bau garam dan guncangan gelombang telah keterlaluan menyiksaku sehingga tiga hari aku menguras isi perutku dan wajahku pucat. Penderitaan ini mendorongku memutuskan bahwa aku tak mau lagi melaut.

Setelah berlabuh di Labuh Boga dan kami menerima sejumlah uang dari tekong, aku mengatakan kepada Singkap Sambola bahwa aku tak kerasan melaut. Kawanku yang baik itu membalas, wajar kiranya mabuk mendera orang yang kali pertama melaut. Dia coba meyakinkanku dengan menyodorkan pendapat yang kedengaran kosong belaka bagiku bahwa pelayaran kedua akan baik-baik saja. Aku tetap pada keputusanku semula.

Sebelum Singkap Sambola berangkat dalam pelayaran kedua-pelayaran yang menurutnya akan baik-baik saja, berarti pelayaran yang tidak memabukkan-kami masih melakukan pekerjaan lama kami di pasar dan pelabuhan hingga pada waktunya dia benar-benar pergi berlayar. (Soal mengapa dia mau melakukan pekerjaan lama itu, aku menduga, hanya untuk menyenangkanku saja atau sebentuk solider.)

Sebelum meninggalkan Labuh Boga, seminggu lamanya aku bekerja serabutan. Akhirnya, aku meminta bantuan pada seorang kuli panggul di pelabuhan agar sekiranya dia bersedia menyampaikan pesan kepada Singkap Sambola bahwa aku telah pergi.

Aku tak lagi tahu keadaan Singkap Sambola sampai delapan atau mungkin sembilan bulan semenjak aku meninggalkan Labuh Boga. Durasi itu bisa lebih panjang andai dua perempuan tidak berbincang sambil menginang sirih di dekat lapak jualanku pada hari onan itu. Dari mereka kutahu kau telah dibawa Singkap Sambola ke Tanah Loba untuk melangsungkan pernikahan kalian. Aku senang mendengar itu, yang kuanggap sebagai kejutan, apalagi ternyata kawanku itu menikahi gadis dari Labuh Boga.

Harus kuakui bahwa aku ini teman yang buruk bagi Singkap Sambola. Bahkan aku sendiri sungguh tak pantas mengaku teman Singkap Sambola setelah apa yang kulakukan terhadapnya. Bila kutimbang-timbang lagi, aku telah keterlaluan dengan meninggalkannya di Labuh Boga. Terbawa oleh perasaan aku-telah-keterlaluan ini, aku tidak sanggup menghadiri acara pernikahan kalian atau menemui Singkap Sambola.

Kejutan yang lain terjadi pula pada hari onan kali ini. Kau berdiri di sana, di samping penguasa pasar yang mengumumkan berita.

Aku mendekat untuk mengamatimu. Tubuhmu lampai. Kulit wajahmu cokelat, seperti kebanyakan perempuan yang kulihat di sekitar pelabuhan sewaktu aku di Labuh Boga. Lesung pipit yang timbul ketika kau tersenyum membuatku ingin berlama-lama memandangmu tersenyum. Aku suka sekali mata cerlangmu itu. Dan, seranting beringin tersemat di sanggulmu menegaskan bahwa aku tak keliru mencerna seruan penguasa pasar tadi bahwa kau siap dipinang lelaki yang akan menggantikan mendiang suamimu.

Dengan menengokmu di sana, aku segera meralat anggapanku atas mendiang suamimu; Singkap Sambola, kawanku yang baik itu, bukanlah seorang yang malang. Kukira, dia beruntung memperistrimu, walau rumah tangga kalian tidak lama berjalan. Lelaki mana pun yang kauterima pinangannya nanti, kupikir dia juga beruntung.

Mungkin kau akan bernasib seperti janda-janda lain. Sudah beberapa kali aku melihat penguasa pasar mengumumkan tentang janda yang siap dipinang-persis yang sekarang dilakukan terhadapmu. Tak lama setelah pengumuman, janda itu dilamar seorang lelaki. Barangkali hal serupa akan terjadi padamu tidak lama lagi. Aku jadi berpikir-pikir siapa gerangan lelaki yang meminangmu kelak.

Aku belum selesai mereka-reka lelaki itu ketika seseorang memanggilku dari belakang. Rupanya dia, orang yang memanggilku, adalah Mak Lundu. Aku melangkah ka arah Mak Lundu yang berdiri dan satu tangannya menenteng belanjaan, kemudian bersamanya ke lapak jualanku.

Aku telah menyiapkan pesanan Mak Lundu sebab aku hafal apa yang dia inginkan. Mak Lundu adalah pelanggan yang sudah sering membeli daganganku. Setiap belanja, dia memboyong dalam jumlah yang lumayan besar, sedikitnya lima kilogram, untuk kemudian diolahnya menjadi tambul di kedai tuaknya. Aku memberi bungkusan berisi daging bagian pinggul dan iga kepadanya dan berharap dia cepat pergi.

Kali ini aku tak mau Mak Lundu banyak omong seperti biasa dilakukannya denganku. Aku sedang malas mengobrol, namun aku keras menerka-nerka siapa lelaki yang akan meminangmu.

Tetapi, Mak Lundu tentu tidak tahu dalam benakku tentangnya, sehingga dia tak perlu menunda mengucapkan kalimatnya seperti sedang berseloroh: "Dia saja jadikan istrimu." Mak Lundu mengatakan itu seraya menunjuk ke sebelah kanannya menggunakan dagu.

Aku tahu siapa yang dia maksud. Walau aku tengah malas mengobrol, ternyata dia berhasil menggodaku. "Siapa?"

"Yang baru saja diumumkan." Sebelum melanjutkan omongnya, Mak Lundu mengusap cairan liur bercampur sirih dilumat yang merembes dari sudut bibirnya. "Itu, Mak Sintong."

"Oi, si Singkap itu kawanku."

"Tidaklah salah. Apalagi kau sudah berumur. Kapan lagi kau kawin?"

Usiaku sekarang memang sudah cukup tua untuk ukuran lajang di kampungku, bahkan di Tanah Loba keseluruhan. Dua adik perempuanku telah menikah dan masing-masing mereka memiliki anak. Nama anak sulung dari adik perempuanku yang tertua telah disematkan pada Among dan Inong. Kini, Among dan Inong punya sebutan baru, yaitu Ompung ni si Tiar (kakek dan neneknya si Tiar).

Namun, dalam acara-acara adat, kurang pas kiranya menyematkan nama cucu dari anak perempuan untuk sebutan baru Among dan Inong. Mungkin karena itulah Among dan Inong mengimbau agar aku-sebagai anak lelaki satu-satunya dan sulung pula-lekas menikah dan punya anak.

Oh, tidak. Among dan Inong tak hanya mengimbauku lekas menikah. Mereka telah keras berupaya menjodohkanku dengan seorang gadis dari kampung sebelah. Namun, aku tidak tertarik padanya dan perjodohan. Kalau pun harus dijodohkan, aku mungkin bisa menerima asalkan dia adalah perempuan yang tersenyum padaku di pelabuhan di Labuh Boga itu; perempuan berlesung pipit yang membuatku yakin bahwa tubuh tak hanya perlu berak dan kencing.

"Among dan Inong memang sudah mendesakku supaya kawin saja."

"Nah, itu. Apa kau tak kasihan pada Among dan Inongmu, hah?" tandas Mak Lundu dengan penuh keyakinan. "Kawinlah! Lamar saja jandanya si Singkap itu. Kalau kau lamban, orang lain akan mendahuluimu."

Sebentar lagi onan habis, seiring matahari yang hendak bersembunyi ke balik perbukitan. Daganganku lumayan banyak yang tersisa. Daging kupotong-potong hingga beberapa bagian yang lebih kecil agar gampang kutenteng. Ketimbang membawa semuanya pulang, sebaiknya kuberikan sebagian ke Mak Lundu. Menjaga pelanggan supaya tak lari, pikirku.

"Bawa saja ini pulang."

"Kasih juga ke Mak Sintong, jandanya si Singkap. Pergi sana!"

Aku tidak beranjak.

Mak Lundu mengulang perintah yang sama dan aku menurut setelah dia menjawab apa alasan yang pantas untukku memberi beberapa potong daging kepadamu.
Aku melangkah ke tempat penguasa pasar menyampaikan pengumuman, namun tak kutemukan dirimu. Aku menatap sekeliling, tetapi kau tak singgah di mataku. Onan memang mulai sepi. Pembeli tinggal sedikit dan para pedagang mengemasi barang-barang dan bersiap-siap pulang, bahkan beberapa sudah meninggalkan onan.

"Dia sudah pulang," laporku kepada Mak Lundu.

"Kalau begitu, doakan saja dia datang pada hari onan selanjutnya," ucap Mak Lundu, kemudian membalik badan dan menjauh dariku.

Aku segera berberes-beres. Agaknya tak ada lagi orang yang akan membeli daganganku. Biar saja yang sisa ini kubawa pulang.

Tak sampai lima belas menit pekerjaanku sudah benar-benar beres dan bersiap kembali ke rumah.

Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku dipenuhi bayanganmu yang tak mampu kuhalau, bahkan ketika aku sudah di rumah.

Mak Lundu benar; kuharap kau datang pada hari onan selanjutnya. Datanglah, akan kuberikan daging padamu, akan kuungkap rasa yang tumbuh setelah kau tersenyum padaku di pelabuhan di Labuh Boga.

Keterangan:

Paranon: orang-orang yang melakukan kegiatan onan (pasar), baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli.

Jasman Simanjuntak lahir di Sibolga, Sumatera Utara; berdomisili di Tangerang

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads