"Hanya ini yang bisa kubawa."
Percakapan serius mereka seketika terhenti tatkala Eka datang dengan seekor kambing kurus. Beberapa orang yang sibuk menjaga tungku pembakaran ikut menoleh. Tidak pernah mereka melihat hewan ternak semerana itu. Semiskin-miskinnya pemilik kambing di dusun ini tidak mungkin kambingnya kelaparan karena di pinggir dusun ada sebuah padang rumput terbentang. Tapi toh Eka mengaku menggiringnya dari kandang kambing penduduk. Itu berarti si pemilik memang malas mengarit rumput atau menggembala ternaknya ke padang. Malas semalas-malasnya.
Teman-temannya menyesal sudah menyuruh Eka untuk mencari santapan. Saat itu tatapan mata Eka tampak kosong dan berair, mungkin ia mengantuk berat karena kurang tidur sehabis begadang main kartu semalam suntuk, atau efek menenggak bergelas-gelas minuman oplosan yang belum juga lenyap, atau ia masih terbang-melayang setelah mengisap obat-obatan, atau mungkin efek lelah karena terlampau sering merancap, atau mungkin karena semuanya, dan atau mungkin karena kemungkinan-kemungkinan yang lain. Siapa yang tahu. Tapi teman-temannya tahu, mereka begitu sial malam itu.
Mereka terus memandangi Eka dan si kambing merana. Sungguh menyedihkan bila membayangkan kambing kurus itu akan disembelih untuk kemudian dibakar di atas nyala api.
Eka menukas, "Kalau kalian tak tega, kita bakal kelaparan."
"Siapa bilang aku tak tega? Yang kubayangkan, alangkah sedikitnya kita dapat bagian!"
Yang lain menggerung-gerung bersepakat. Eka terkekeh-kekeh, menenangkan mereka semua, dan dengan santai bilang, "Nanti, kita ambil lagi, Bos. Masih ada banyak, kok." Seolah mencuri kambing segampang mencomot jajanan di warung gorengan.
"Kalau banyak, kenapa kauambil yang tampangnya sudah sakit-sakitan dan hampir mampus macam itu?"
Eka menguap lebar, matanya memerah dan basah, begitu linglung, serupa orang habis napas sehabis memanggul beras berpikul-pikul. Posisi tegaknya mulai sempoyongan karena kambing itu terus mengembik dan menarik-narik Eka. Tidak mau santapan mereka malam itu melarikan diri, dan pesta kambing mereka betul-betul gagal, seseorang tangkas mengambil alih tali kambing dari tangan Eka, seseorang yang lain menyandarkan Eka ke batang pohon.
"Habis minum dia! Mulutnya bau!" temannya itu menggerutu.
Sementara yang lain terbahak-bahak, setelah seorang bilang, "Itu mulutnya memang selalu bau!"
"Itu urusan dia. Urusan kita sekarang menggulingkan kambing kurus ini."
Si pemegang tali menggiring dan mengikatkan kambing pada sebatang pipa besi tua berlumur minyak. Dibantu tiga temannya, ia sudah siap menggorok leher si kambing hingga kemudian seseorang berseru.
"Sembelih di tempat yang agak jauh dari sumur minyak ini. Nanti kita ketahuan."
"Sudah telanjur. Jangan khawatir. Mereka tak bakal tahu."
Setelah embikan yang begitu pedih, darah mengucur di dekat pipa penyalur minyak mentah, mengalir ke arah drum-drum penampungan minyak yang sudah dimasak.
"Tolol! Kenapa kalian tidak menggali lubang untuk menampung darahnya supaya tidak menggenang!"
"Kau tak bilang!"
"Kapan kau pakai otakmu kalau semuanya harus diberi tahu?!"
Namun, mau bagaimana lagi, gumpalan darah kambing itu sekarang sudah berleleran di mana-mana dan telah bercampur dengan sisa-sisa minyak yang tumpah di tanah.
Sambil menggerutu, sang tukang jagal menggantung kambing di pipa penyangga. Temannya membantu mencekal kaki kambing agar ia bisa mulai menguliti dengan leluasa.
Hati-hati, ia menyayat kulit, mengupayakan sesedikit mungkin daging tertinggal, melekat di sana. Apalagi bobot kambing itu tak seberapa. Malam ini, secuil daging sungguh berharga untuk terbuang.
Ia agak kepayahan. Pisaunya terasa tumpul. "Aih, di mana batu asah?"
Sang tukang jagal merengut saat temannya justru berteriak kepada yang lain, "Di mana batu asahan?" Tidak ada seorang pun yang peduli.
"Kau carikanlah dulu batu asah itu!"
Dengan terpaksa, temannya berbalik mencari batu asah. Namun, setelah ditunggu-tunggu ia malah kembali dengan membawa pisau lain. "Pakai ini saja. Entah di mana mereka meletakkan batu asahan itu."
"Tapi itu pisau dapur!"
"Tapi matanya lebih mengilat dari yang kaupegang."
Tak ada pilihan, diraihnya juga pisau bergagang plastik itu. Sebuah tanda menunjukkan benda itu produksi pabrikan. Hasil cetakan massal dari leburan logam alumunium murahan. Bukan besi baja kualitas satu yang ditempah seorang pandai besi andal.
Temannya menukas, "Biar pisau dapur biasa, kalau ditusuk ke perutmu, kau bisa koit juga. Sudahlah, kau gunakan pisaumu atau pisau itu, terserah kau."
Tak ada pilihan, pisau itu yang melanjutkan tugas menguliti. Tapi memang tak ada beda, pisau pertama dan pisau kedua sama-sama payah. "Kalau ada silet, lebih baik aku pakai silet," keluhnya.
"Hati-hati, hati-hati, hati-hati," kata-kata dalam kepala mereka terus waspada. Mereka sampai di bagian tersulit. Menguliti area perut.
Sudah berhati-hati, sudah perlahan-lahan, dan sudah dihindari, tapi sialnya mata pisau itu menggurat lambung. Terkejut, tak menyangka bakal kejadian macam begitu, ia tarik pisaunya tergesa-gesa dan sayatan di lambung itu justru tambah besar, lantas seketika menyemburkan ampas hijau berbau pekat ke leher dan wajahnya!
Pisau dapur terlepas dari gengaman, jatuh, menancap di tanah, hanya beberapa sentimeter dari tempat kakinya menapak, nyaris saja.
Ia mengusap wajahnya, menyingkirkan ampas serat rumput berbau pekat yang belum rampung dicerna si kambing saat masih bernyawa itu, sambil terus mengumpat.
Kendati sanggup menahan gelak tawa demi menenggang perasaan si ahli musibah, tapi temannya tak tahan untuk tidak menyeletuk, "Tahi belum jadi, ternyata bau juga."
"Ketimbang kau banyak komentar, lebih baik kau carikan aku jarit, atau kain, atau apa sajalah untuk menge...."
"Kau memang anak setan!"
Bunyi baku gebuk dan teriak serta-merta memaksanya menoleh ke arah Eka yang telah dikerumuni mereka yang terbakar amarah.
Teman-teman yang jauh mendekat ingin tahu.
"Oi, ada apa?"
Satu, dua berlari-larian menyimpan rasa penasaran.
"Kalian ribut terus!"
Dua, tiga orang berteriak kesal menyaksikan sesama teman saling pukul.
"Woi, jangan tinggal apinya!"
Dua orang yang menjaga api pembakaran tak peduli, bahkan setelah temannya terus berteriak mengingatkan, mereka tetap kabur, seakan tak tahan melewatkan adegan seru perkelahian.
"Brengsek!"
Sambil mengelap kotoran di leher dan wajah sekenanya dengan kain yang ia sambar secara asal, dan itu kain yang berminyak sekaligus kotor dan mambu pula, ia melangkah mendekati kerumunan yang mengepung Eka.
"Ada apa?"
"Itu ngamuk!"
"Kenapa?"
"Katanya, Eka jual minyak diam-diam."
Meloncat-loncat dan memanjangkan kepala, mereka coba mencuri lihat dan memusatkan pendengaran. Eka duduk terkulai, dengan hidung mengucurkan darah dan wajah biru, dia susah payah mengatur napas.
"Sekarang, orang-orang perusahaan mulai memburu kita!"
"Orang-orang itu sudah sejak awal tahu."
"Kau jangan coba-coba membela Eka."
"Aku tidak membela dia! Cepat atau lambat ini semua bakal terjadi!"
"Sekarang mereka mulai mencari lokasi kita. Bersama aparat pula!"
"Aih, itu gampang."
"Bagaimana bisa kau bilang gampang? Kampang kau! Kau dengar tidak, orang-orang perusahaan, polisi, dan tentara sedang mencari kita?"
"Tenanglah, bos kita itu akan...."
"Asal kau tahu, bos kita tak mau tahu menahu, kita mesti urus ini sendiri."
"Kurang ajar!"
Tangannya mengepal. Hendak membogem Eka.
Tiba-tiba sesuatu meledak. Dentuman-dentuman menggelegar menggetarkan tanah.
***
Drum-drum minyak yang berjejer, semuanya hangus, dibalut langas hitam. Lelehan minyak mentah tumpah ruah di mulut dan badan drum, mengeras dan mengerak menjadi satu dengan karat besi.
Pondok-pondok kayu di sana-sini hancur. Beberapa doyong, beberapa ambruk, dan hanya menyisakan tonggak-tonggak tiang.
Tentara menemukan kambing tergantung. Kambing itu terbakar, tapi belum sempat dibumbui dengan aneka bumbu yang sudah disiapkan. Memang tidak ada yang sempat menggulingkan kambing sebab mereka semua kadung terguling oleh ledakan. Tentara itu menggerutu panjang pendek pada bangkai-bangkai gosong yang tergeletak di tanah.
Salah seorang tentara lain menegur. "Orang-orang sudah mati, masih saja kau sebut-sebut keburukan mereka! Sudahlah."
Tentara itu seraya menutupi jenazah demi jenazah dengan daun pisang masih terdengar bersungut-sungut.
Wendy Fermana lahir di Palembang, 10 November 1994. Bukunya yang telah terbit Kawan Lama (2017) dan Ratu Bagus Kuning (2017). Saat ini ia bergiat di Komunitas Kota Kata dan berkhidmat sebagai pengajar bahasa di MTs Negeri 1 Lubuklinggau
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video Siti KDI Ikut Repot Nggak Kalau Anak Udah Mau Masuk Sekolah?"
(mmu/mmu)