Borju dan Babi Piaraan

Cerita Pendek

Borju dan Babi Piaraan

Elvan De Porres - detikHot
Minggu, 03 Okt 2021 11:01 WIB
ilustrasi cerpen
Iustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Dengan muka penuh bulir keringat Borju menggendong babinya dan menaikkan ke atas mobil pikap. Sudah dua ekor, tinggal seekor lagi yang perutnya lebih besar dengan kaki sebelah kiri bekas luka terbakar. Hari itu terik menyengat sekali, tetapi babi-babi harus segera dibawa ke pasar. Berapa pun ekornya, Borju punya tenaga yang kuat untuk pindahkan mereka dari kandang berpagar bambu di belakang dapur samping kebun tauke Goris ke atas bentangan terpal biru berbau amis.

"Masih ada, Borju?" tanya sopir Dimus.

"Hanya ini saja," jawab pemuda itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau begitu kita berangkat."

Melewati jalanan aspal berkelok dan embusan angin musim kering yang membawa aroma daun asam, Borju tiba-tiba teringat wangsit ayahnya; kau kerja jadi pedagang babi saja, pohon moke biarlah diurus kakakmu. Sungguh menyedihkan, demikian Borju berpikir. Sebelum ayahnya meninggal, dia dan kakaknya Nirong memang sempat beradu mulut perihal siapa yang berhak dalam menderes nira. Borju lalu mengalah, mendapat warisan sepasang babi jantan dan betina, sementara kakaknya pindah ke kaki bukit dan mengusahakan sepetak kebun jambu dengan tiga pohon tuak berdiri menjulang tegak.

ADVERTISEMENT

Borju percaya, meski dengan sedikit ragu, bahwa babi-babi itu akan membawa keberuntungan untuknya. Dulu pulau ini banyak dihuni oleh babi, sebelum kuda dan sapi dibawa masuk kompeni, begitu kata ibunya usai dia dan kakaknya berhenti bertengkar.

Sudah dua tahun semenjak kematian bapak, Borju memang menjadi penjual babi. Mulanya dia malu karena babi-babinya sering makan ubi dan kacang milik orang kampung dan dianggap mencuri, tetapi kini mereka sudah punya kandang sendiri.

"Semoga babi-babi itu tidak bikin saya punya kebun bau e, Borju," kata tauke Goris ketika Borju singgah di kiosnya untuk membeli garam.

"Yang penting tidak rusak Om punya tanaman," balas pemuda itu sambil lalu.

"Kalau sudah kaya, janganlah sombong," muka tauke Goris mulai memerah.

"Kau yang sombong. Utang rokok saja tidak bisa," jawab Borju, kemudian menghilang dari penampakan si juragan kios.

***

Pasar Koja, yang letaknya di tepi laut Flores, mulai terlihat dekat. Langit sedikit biru dan berhiaskan awal tebal dan udara semakin panas. Mobil pikap memasuki jalanan pemerintah, gedung-gedung berbaris tidak rapi di sisi kiri dan kanannya, lalu mereka tiba di muka pasar. Orang-orang Tionghoa --yang biasanya membeli ternak-- tampak lalu lalang.

"Kau biasanya jual ke siapa? Cina dari Surabaya?" tanya sopir Dimus.

"Bukan," jawab pemuda itu, dia turun dari pikap, dan membayar pajak karcis masuk.

"Dulu saya setor ke Baba Liong, tapi orangnya sudah meninggal," lanjutnya.

"Anaknya?"

"Saya tidak tahu."

"Kau tidak mau tawarkan?"

"Masih banyak yang datang cari di pasar."

Sopir Dimus menyalakan kembali mobilnya, mobil melaju ke dalam pasar, dan berhenti di lapak tempat Borju biasa menjual. Sopir Dimus membantu Borju menurunkan babi-babi, sesudah itu Borju membayar lima puluh ribu perak. "Terima kasih," kata sopir itu.

Bulan depan Natal hampir tiba sehingga pasar-pasar rakyat mulai ramai dan terbentang dari bebukitan Iligai sampai teluk Maumere di pinggiran pulau itu. Orang-orang gunung memamerkan hasil panen jagung musim lalu; buah delima dan manggis datang dari tanah bagian timur; ayam, kambing, dan babi dari wilayah barat; serta ikan kerapu dan bangkumis dijual para pelaut suku Bajau. Ada juga toko-toko Tionghoa yang mengular membelah kota banyak menjual lilin berwarna, roti dan kue-kue, serta lampu-lampu kecil digemari anak-anak. Aroma baju baru juga terendus dari deretan kapal barang yang parkir di pelabuhan Sadang Bui.

Tiga ekor babi ini pasti laku semua, gumam Borju sepeninggalan sopir Dimus dan matahari sedikit reda. Tahun ini alam sedang baik, wabah penyakit lengang dan panenan lancar, dan orang-orang tak mungkin pelik untuk belanja di pasar. Di pandangan seberang tiba-tiba terdengar bunyi embikan kambing dan mesin truk colt. Borju melihat ke arah sana. Pastor Dondelz dari biara di bukit Sion baru saja memborong sejumlah anak kambing milik seorang petani Watuneso.

"Tuan, datang juga ke sini," teriak perempuan tua penjual daun sirih, agak jauh dari tempat Borju berdiri.

"Mari, Pastor," sahut Om Lele, seorang saudagar ayam.

"Buat apa kau panggil pastor? Pastor tidak makan ayam," Borju menjawab Om Lele. Kebetulan lapak keduanya berdekatan; lapak hewan-hewan ternak.

"Pastor pasti beli karena kasihan dengan kita," Om Lele membalas.

"Kalau di kampung pastor justru datang minta babi," kata Borju.

"Mungkin hanya di kau punya kampung."

Pastor Dondelz malah naik ke truk colt dan segera keluar dari pasar itu. Beberapa pedagang mengeluarkan suara riuh; menganggap pastor menghiraukan tawaran mereka. Beberapa lainnya berbisik-bisik, tetapi sisanya samar-samar mengeluarkan suara makian.

"Orang-orang sekarang makin tidak hormat dengan pastor," Borju kembali membuka percakapan.

"Dulu pastor yang kasih kita makan, sekarang sepertinya kita yang harus beri mereka makan," balas Om Lele.

"Sekarang sudah beda," sambung Borju.

"Kenapa bisa beda e?" tanya Om Lele.

"Pokoknya beda."

***

Dua jam lamanya Borju berdiri --sesekali duduk bersila di atas karung goni bekas isian pucuk labu-- dan terus berlanjut beberapa jam kemudian hingga rona jingga muncul di ufuk barat dan lampu-lampu kapal perlahan kerlap-kerlip. Para pedagang yang barangnya habis terjual atau tinggal sedikit segera berkemas untuk pulang ke rumah. Tapi, Borju masih menunggu. Tadi seorang kaya dari pulau Palue sempat menawar babinya, hanya saja uang dia lima ratus ribu lebih cocok untuk beli anak babi atau paha kanan dari babi gemuk besar. Kalau mau tawar harus tahu sopan santun, Pak, kata Borju ke orang itu.

Om Lele juga tidak lagi terlihat. Setelah dua ekor ayam jantan jenis bangkok dan burek dibeli polisi Minggus untuk persiapan sabung waktu Natal, dirinya langsung pulang dan membawa sisa seekor betina blasteran yang nanti dijual di pasar Mauroka.

Namun, tempat itu masih penuh dengan orang lalu-lalang. Nelayan Bajau mendaratkan perahu, membawa ikan segar, dan orang-orang yang baru pulang dari kantor pemerintah bermunculan satu-satu. Para pembeli orang Tionghoa juga masih terlihat, membuat Borju berharap salah satu ekor babinya dibeli oleh mereka, meskipun dia tak yakin karena banyak yang pasti menawar. Hanya Baba Liong-lah yang dia percayai; membeli tanpa kali bagi.

"Borju, Borju!" terdengar suara panggilan. Seorang pria berbaju loreng memakai sepatu boot dan berkumis tebal muncul dari arah samping.

"Salam, babinsa Sergius," Borju membalas panggilan, kemudian bertanya, "Apa kabar?"

"Kau jual apa?" orang yang ditanyai balik bertanya.

Borju memonyongkan bibir dan menunjuk tiga ekor babinya. Babi-babinya sedang berbaring; lendir sisa daun kol melumer di mulut mereka. Babinsa Sergius melihat sebentar dan menahan ludahnya.

"Kenapa belum laku?" tanya babinsa Sergius.

"Tidak ada yang beli," jawab Borju.

"Padahal banyak yang mau bikin pesta."

"Orang-orang mungkin punya banyak utang."

"Sebentar kalau tidak ketemu mobil, nanti saya yang antar pulang."

"Bayar, Babinsa?"

"Cukup uang rokok," jawab babinsa Sergius.

"Babinsa tidak mau beli babi?"

"Saya sekarang pantang makan babi."

"Babinsa sudah jadi ata goan?"

"Saya lagi kena asam urat. Mentri di Puskesmas bilang saya berhenti dulu makan daun ubi dan daging yang lemaknya banyak. "

"Saya punya babi tidak ada lemak," kata Borju.

"Pokoknya saya tidak boleh makan babi," suara babinsa Sergius lebih besar, sesudah itu ia berjalan meninggalkan Borju. Entakan sepatu kulitnya yang dibuat-buat membuat gigi Borju semakin asam. Baru kali ini Borju hampir tidak mendapat pembeli sama sekali. Biasanya sebelum matahari terbenam dia sudah beranjak pulang.

Borju menunggu, memperpanjang kesabarannya sambil melihat-lihat ke sekitar, kemudian berjalan ke tambatan perahu. Bau air buangan insang ikan membuatnya ingin mual, ditambah suara papalele kencrang-kencring seperti nada yang tersesat. Dia gelisah, menyelipkan tangan ke saku celana menyentuh goresan kain, dan menemukan harapan yang sobek pada hari itu.

Tidak untung di sini, tidak untung lagi, beda dengan hari-hari kemarin, katanya ke diri sendiri.

Tubuhnya perlahan-lahan kedinginan diterpa udara hangat yang lembap. Hari semakin malam, di kejauhan burung jelaga menari-nari mengitari lampu pelabuhan. Di depannya dari arah katedral suara lonceng berdentang-denting. Salah seorang keluarga bangsawan baru saja meninggal. Acuh tak acuh Borju tetap menunggu dan masih terus menunggu.

Maumere, 2017

Catatan:

Moke: minuman hasil olahan dari tangkai pohon lontar
Ata Goan: sebutan untuk penduduk pesisir Maumere yang dulunya berasal dari daerah Goa (Gowa) Sulawesi, dan kebanyakan beragama Islam
Papalele: aktivitas sekaligus panggilan untuk orang-orang yang membeli komoditi dari tangan pertama untuk kemudian dijual kembali

Elvan De Porres lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur; alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads