Sonata dan Gadis dalam Mimpi

Cerita Pendek

Sonata dan Gadis dalam Mimpi

Nuzul Ilmiawan - detikHot
Minggu, 22 Agu 2021 10:47 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi bertemu dengan seorang gadis, yang aku yakin aku bisa mengingat betul bagaimana rupa wajahnya. Tetapi gambaran itu selalu hilang dari ingatanku setiap kali aku terbangun di pagi hari. Sialan. Aku merindukannya; entah kenapa aku mengucapkannya, padahal ini baru hari keempat gadis itu masuk ke mimpiku.

Tetapi entahlah, itu hanya mimpi kurasa, dan aku harus tetap menjalani hidup dan melupakannya sejenak sampai malam tiba, dan aku bisa berjumpa kembali dengannya, kuharap.

Pagi ini tidak ada yang harus kulakukan selain mencukur kumis dan janggut, serta berberes diri untuk pertunjukan mendatang pada pukul empat yang harus kuhadiri di aula di tengah kota.

Jalanan di sore hari tampak ramai. Minggu yang menyenangkan sekaligus hari yang indah bagi mereka yang berkeluarga menghabiskan hari bersama setelah sepekan melupakan kehidupannya. Langit terbuka, rasanya hujan tak mungkin datang sampai pengujung tahun tiba.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dedaunan bergoyang diembus angin sepoi. Anak-anak kecil dengan topi baling-baling berlarian di trotoar. Di salah satu taman terbuka yang kulewati tampak orang-orang berkumpul menghadiri perayaan pelepasan balon besar warna-warni ke udara. Aku tak tahu apa yang tengah mereka rayakan, tetapi tak satu pun di antara wajah-wajah itu yang terlihat ceria.

Atau itu hanya diriku saja? Dan memang aku tak pernah lagi bergairah semenjak kejadian beberapa tahun lalu yang membuatku menjadi seorang sinikal keparat yang tak tahu bagaimana mengapresiasi sesuatu. Itu semua ulah satu murid perempuanku di kelas piano. Ia pergi meninggalkanku dan menikah dengan seorang pebisnis hipokrit.

ADVERTISEMENT

Umur gadis itu 21, lebih muda sepuluh tahun denganku. Bukan permainan pianonya yang membuat aku tergila-gila, melainkan rambut ekor kudanya yang harum merasuk ke jiwaku tiap kali ia duduk memainkan piano dan aku duduk di sampingnya memandang jari-jemarinya yang menari kaku di atas tuts.

Karena ia tidak begitu pandai memainkannya, aku sampai menciptakan sebuah sonata untuknya. Indah namun sederhana, supaya ia bisa menikmati dan memainkannya dengan baik. Kuberi judul sesuai dengan namanya, Luna Luna.

Kini kupikir setelah kepergiannya, alangkah baiknya bila sonata itu kugarap lebih kompleks supaya tak sembarang orang bisa memainkannya, terlebih Luna.

Di sini aku, di hadapan ratusan orang berpasang-pasangan. Bersiap memainkan piano mahal di hadapanku. Aku tahu mereka datang ke sini hanya untuk mendengar alunan piano saja, membuat aku hanya menyapa mereka dengan ucapan selamat datang dan selamat menyaksikan yang disambut dengan tepuk tangan.

Tiga sonata sudah kumainkan, mereka terpukau. Sangat tampak terpukau. Beberapa orang di belakang tampak masih berdiri dengan bertepuk tangan, dan sepasang kekasih di kursi paling depan melambaikan sapu tangan mereka dengan tersenyum.

Sebelum aku memasuki lagu keempat, aku menenggak segelas bir yang baru saja tiba. Aku tahu tidak sopan bila menaruh sesuatu di atas permukaan kayu pada piano. Tetapi masa bodoh, aku bisa saja meninggalkan ruangan ini kapan saja aku mau tanpa peduli.

Ketika aku menatap kepada para penonton, sekilas aku merasakan kehadiran seseorang yang aku kenal, bukan Luna yang duduk di pojokan barisan kedua bersama kekasihnya, tetapi seorang gadis yang mirip dengan perempuan yang ada dalam mimpiku. Entahlah, aku saja tidak ingat bagaimana rupanya, dan kini ia baru saja hilang dari pandanganku.

Kejadian itu membuatku ingin memainkan sonata yang baru saja kususun malam-malam lalu. Belum sempurna, tetapi entah kenapa aku sangat ingin memainkannya sekarang.

Tanpa menjelaskannya panjang lebar kepada penonton, aku mulai menarik kursi dengan bantalan lembut dan menempatkannya senyaman mungkin. Kaki kananku bergemetar dalam ruang kosong di bawah Steinway & Sons yang dirawat dengan sangat baik ini.

Aku merasa gugup, tanganku amat gatal ingin menyentuh hidung dan menyapu helaian rambut yang menyentuh mataku. Jantungku tak karuan ketika orang-orang kulihat menyiapkan telinganya dengan mata yang berkaca-kaca dan membiarkanku dalam kesunyian. Sehingga aku bisa mendengar deru napasku sendiri yang berupaya untuk menghilangkan kegugupan yang menghinggap seketika.

Lama sekali aula itu terasa sunyi, dan orang-orang mulai batuk seakan memberi kode untukku bergegas melanjutkan permainan. Dan ketika aku mendengar orang-orang mulai berbisik satu sama lain dan suara bising walkie talkie para kru membuat aku bangkit dari kursi, dan berlari tanpa permisi ke belakang panggung. Mendorong para kru di balik tirai yang bertugas mengawasi. Berjalan dengan tergesa-gesa di lorong dingin ke arah toilet tempat aku bisa bersembunyi untuk sejenak. Berdamai dengan diriku sendiri.

Aku menatap wajahku yang memucat di cermin. Angin sore yang berembus pada lubang kecil di atas dinding membuatku kian gugup dan mendirikan bulu kudukku. Berulang kali aku membasuh wajahku dengan air, hingga aku bisa merasakan hangatnya air mataku jatuh bercampur dengannya.

Memasuki menit kesepuluh kurasa aku berdiam di sini, aku memutuskan untuk keluar setelah membereskan sisa air mata di pelupuk. Udara dingin dari AC di sepanjang lorong itu membuat aku menekan-nekan sendi jari-jemariku hingga ketika aku membuka tirai dan disambut dengan tepuk tangan, aku perlahan merasa lega. Terlebih menatap cahaya jingga dan langit oranye pada kubah bening di atas aula.

Aku meraih sandaran pantatku yang kini terasa basah oleh keringat, dan mulai menaruh jari-jemariku di atas tuts.

"Luna Luna,"

Orang-orang terdiam khidmat menyaksikan aku mulai memainkan nada C minor rendah yang mengawali sonata ini. Setiap ketukan tuts kuhayati sembari menatap ke dalam jiwaku yang kesepian, entah kenapa yang hadir di sana adalah sesosoknya tengah tersenyum. Dan aku bisa membayangkan posisiku di bangku penonton bersama gadis di dalam mimpiku itu dan menyaksikan diriku bermain di atas panggung.

Tak ada yang bisa menghentikanku bermain alunan sonata itu, bahkan diriku sendiri saja tidak mampu. Jari-jemari ini bermain dengan sendirinya, lembut, pelan. Membuat kepalaku berayun-ayun menikmati setiap nada yang muncul dari piano, dan aku tak sengaja menitikkan air mataku meski terpejam.

Lalu entah kenapa jari jemariku terus melanjutkan permainannya, yang seharusnya sonata ini ditutup dengan nada F yang hampir tidak bisa didengar, namun kini terus naik tinggi dan tempo pun kian cepat mengikuti gejolak emosi yang kurasakan, mengalir menggebu-gebu begitu saja dari dalam diriku. Ini tidak ada dalam ingatanku dan ternyata tidak buruk juga. Aku sangat menyukainya.

Hingga tak sadar sonata ini sudah berlangsung selama dua puluh menit, dan ketika jemariku menarik dirinya sigap dari tuts piano dan musik sontak berhenti. Aula terasa sunyi. Lantas tak lama kemudian, orang-orang perlahan mulai riuh dengan bertepuk tangan. Aku masih tak percaya, memandang jari-jemariku yang bergemetar dengan menyatukan alis.

Berulang kali aku menelan ludah, dan berharap aku bisa mengingatnya dan memainkannya kembali. Tetapi tidak, aku memutuskan untuk tetap duduk dan memiringkan tubuhku menghadap penonton dan membungkukkan setengah badanku beberapa kali.

Aku tersenyum bercampur haru menatap orang-orang yang masih bertepuk tangan dan mata perempuan-perempuan cantik tampak memerah dan beberapa kali kulihat mereka mengusap ingus pada sapu tangan putih.

Setelah itu aku memutuskan untuk melanjutkan sisa pertunjukan tanpa banyak bicara dan berharap dapat segera meninggalkan panggung ini dan menghabiskan sisa hariku di pojok kamar, merokok dan minum whisky.

Di akhir pertunjukan, semua orang berdiri bertepuk tangan, dan sesekali terdengar sorakan dan siulan yang menggema ke penjuru aula. Aku berdiri menatap orang-orang itu, membungkukkan badan tanpa mengucapkan terima kasih.

Sekilas aku melihat Luna, menangis haru pada sandaran bahu kekasihnya. Aku tak peduli, segera membalikkan badan dan berjalan ke arah tirai dan disambut dengan tepuk tangan dan salaman. Aku mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya dan menyulutnya ketika para kru mengutarakan kecintaannya akan pertunjukan yang baru saja berakhir beberapa menit yang lalu dengan berkaca-kaca. Dan aku tak berkata-kata, selain tersenyum seraya terus menghisap rokok dalam-dalam.

Aku tak tahan akan pujian mereka, terlalu lama dan terkesan berlebihan. Aku menerobos kerumunan dan kembali menyusuri lorong dingin itu ke arah toilet dan masuk ke salah satu kamar yang kosong, lalu menguncinya. Tiada satu orang pun yang tahu di gedung itu, nyatanya aku menangis sejadi-jadinya di sana bersama air keran yang kubiarkan mengalir deras.

Aku tak tahu apa yang kutangisi, hanya saja aku ingin memainkan sonata itu lagi, tetapi nyaris tidak ada sedikit pun nada improvisasi tadi yang kuingat. Mungkin aku hanya menangisi kehidupanku yang menyedihkan ini.

Ketika aku keluar dari toilet, segerombolan orang berpangkat dengan kekasihnya mengundangku untuk makan malam. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan aku hanya menerima undangan tersebut dengan berkata terima kasih dan bergegas keluar dari lorong yang bisa membuatku mati kedinginan meskipun mengenakan jas.

Matahari tinggal separuh, memamerkan keindahannya kepada orang-orang sebelum hilang ditelan malam. Aku berjalan menuju parkiran, menghindari orang-orang di luar gedung aula yang berusaha mencariku.

Di apartemen, pemutar piringan hitam memainkan lagu-lagu Frank Sinatra di samping sofa hitam. Aku bersandar padanya dengan segelas whisky dan rokok yang baru kusulut, memandangi lampu-lampu kota yang berkilauan dari kaca bening besar di hadapanku.

Pemandangan yang indah itu tidak mengubah apapun pada hati yang sudah mati ini. Jadi aku hanya memandang datar sembari sesekali mengecup gelas whisky dan menyesapnya dengan perlahan. Hingga tanpa sadar aku tenggelam. Dan terjatuh di sebuah taman, di bawah sinar bulan purnama.

Mimpi ini terasa begitu nyata, dan dari kejauhan benar saja, gadis itu ada di sana. Dia selalu ada di sana, di kursi taman di bawah temaram lampu menatap satu-satunya bunga lily yang mekar di danau itu. Aku berjalan mendekat. Ia merasakan kehadiranku, memindahkan pantatnya sedikit kesamping supaya aku bisa duduk di sampingnya.

"Aku senang kau memainkannya," ujarnya dengan suara yang lemah, serak-serak merdu. Bibirnya semekar mawar merah muda yang dibasahi oleh embun pagi. Entah itu lipstiknya atau pasta gigi yang dipakainya, ketika ia berbicara aku bisa mencium aroma stroberi bercampur dengan parfum vanilla yang disemprotkan di lehernya.

"Memainkan apa?"

Gadis itu menatapku dengan tatapan itu, tatapan laksana bulan biru raksasa yang masuk ke separuh nyawaku. Matanya sebiru air di lautan, ditambah kilauan permata bertaburan di sekitarannya akibat pantulan air danau yang menampakkan langit penuh bintang. Hidup, kau seakan bisa berbicara banyak hal hanya dengan menatap matanya.

"Oh, sudah kutebak. Aku tahu kau ada di sana, aku bisa merasakannya,"

"Benarkah?"

Aku mengangguk, menatap rambut hitamnya yang berkilau dan terkadang tampak sedikit pirang bila disinari cahaya lampu.

Kemudian tiba-tiba ia menarik lenganku. "Mari kita pergi dari sini!"

Aku tak tahu pasti ke mana gadis itu membawaku, yang jelas kini aku berada dalam sebuah kamar gelap. Ia mencampakkan tubuhku ke kasur, dan mulai mengecup bibirku. Aku merasakannya betul, stroberi dan whisky, berpadu menjadi satu. Cinta. Perasaan ini muncul kembali, ada sesuatu yang bermekaran di hatiku.

Di luar sana aku bisa mendengar suara rintikan hujan perlahan turun menutup bintang dan bulan yang semula berdiam di langit, berpadu dengan deru nafasnya ketika mencumbu telinga dan leherku. Aku hanya telentang, menatap lampu yang padam dan merasakan tubuhnya bermain di atas tubuhku.

Hingga suatu ketika alarm keparat itu berdering, dan membuatku terjaga dengan deru hujan di luar sana. Aku mengumpat ketika mencoba mengingat wajahnya tetapi tidak bisa. Terbangun setengah telanjang di balik selimut hangat membuat kepalaku terasa pusing.

Ada sisa whisky di gelas pada meja di samping kasur, aku menenggaknya sampai habis lalu berdiri dan berjalan sempoyongan ke arah dapur untuk mengambil air. Dari dalam kamar mandi aku mendengar bunyi pancuran air jatuh ke lantai, dan aroma semerbak manis stroberi dan lembut vanilla muncul begitu saja dari dalam sana. Dan entah mengapa, Frank Sinatra kini berubah menjadi sonata yang tak pernah bisa kumainkan lagi.

Gadis itu nyata. Atau aku hanya terlalu mabuk untuk membedakan mimpi dan realita? Aku tak peduli. Setelah bertahun-tahun lamanya, aku merasa terlahir kembali. Tetapi tubuhku memintaku untuk duduk bersandar pada dinding luar kamar mandi. Aku menangis. Aku tak ingin ini semua berakhir seperti malam-malam lalu.

Aku terlalu pusing untuk menerima fakta bahwa suara air pancuran, sonata, dan aroma stroberi bercampur vanilla itu benar adanya, tetapi otakku terlalu pintar untuk mengakuinya. Hingga aku terjebak pada kebimbangan yang tersebar di sekelilingku. Aku mencoba menutup telinga, suara-suara itu meredup, tetapi terasa ada di kepala.

Setelah lama aku tak menyebutnya, kini keluar dari mulut, "Oh Tuhan, apa yang terjadi? Aku gila?"

Banda Aceh, 2021

Nuzul Ilmiawan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireun, 19 Oktober 2001

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads