Dua Isapan Kretek

Cerita Pendek

Dua Isapan Kretek

Sekar Mayang - detikHot
Minggu, 15 Agu 2021 11:10 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Apa tujuan hidup?

Pertanyaan itu kerap membentur benaknya ketika sedang melamun. Di kantin, di toilet, di parkiran sepeda motor, di teras kamar kos --di mana saja ia sempat melamun. Satu pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya sejauh ini. Satu pertanyaan yang membuatnya resah nyaris sepanjang hari.

Pernah ia tanyakan hal itu kepada teman kerjanya, tetapi malah mendapat ledekan yang makin membuatnya jatuh jauh melamun jika tidak sedang beraktivitas. Kadang, ia baru tersadar ketika setitik bara tidak sengaja jatuh di atas kulit kakinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Cari cewek sana, Jon, biar tidak aneh-aneh pikiranmu," kata Budi, rekan kerjanya sesama agen pemasaran.

Perempuan, bagi Joni, adalah makhluk yang sulit dijangkau. Bukannya ia tidak suka, bukan pula tidak ada yang mendekatinya, tetapi mungkin, dalam pemikirannya, Tuhan belum ingin memberi satu untuknya.

ADVERTISEMENT

Pernah, beberapa tahun lalu, ada perempuan yang sedikit betah di dekatnya. Tak lama, sekitar lima atau enam bulan sejak berkenalan di sebuah warung. Joni tak sengaja menyenggol lengan si perempuan hingga beberapa belanjaannya jatuh. Mirip adegan di film, memang, meskipun tak ada skenario apa pun di benak Joni. Ia malah sedang sibuk menghitung uang yang baru diterima dari pemilik warung. Justru, terlihat Maryam yang sebenarnya agak sembrono bergerak.

Mereka akhirnya berkenalan, bertukar nomor telepon, banyak mengobrol, sesekali jalan-jalan ke alun-alun, dan putus begitu saja karena ternyata suami Maryam pulang lebih cepat dari pelayaran kapal pesiar.

Jangan tanya bagaimana perasaan Joni saat tahu suami Maryam akan pulang. Tentu pertemuan akan menjadi barang langka dan mewah. Bahkan, Budi sampai tak berani menyapa jika bukan urusan pekerjaan. Oh, tidak, tidak. Joni tidak beraut garang atau semacamnya setelah putus dari Maryam.Tetapi, entah bagaimana, Budi menangkap bahwa Joni tak ingin bicara apa pun kepada siapa pun tentang Maryam.

"Ada, ya, perempuan macam Maryam?" ucap Budi kepada Karyo, rekan lainnya sesama agen pemasaran.

"Banyak," timpal Karyo yang lalu tanpa pamit melajukan motornya keluar halaman kantor.

Apa tujuan hidup?

Pertanyaan itu muncul lagi dibenak Joni selesai mengecek saldo rekeningnya melalui aplikasi perbankan di ponsel. Bonus bulan ini lumayan, pikirnya. Ia bisa mengirim lebih untuk ibunya di kampung. Ibu ingin membeli kipas angin baru untuk di ruang tamu. Kipas angin lama sudah tak layak pakai. Ibu masih sering mencari sesuatu yang bisa ia jadikan penghalau gerah ketika sedang mengajar murid-muridnya membaca kitab suci. Potongan kardus bekas mi instan itu yang jadi pegangan anak-anak sembari mendaras huruf-huruf hijaiyah.

Joni tidak kekurangan secara finansial. Ia punya cukup uang jika ingin berhenti bekerja, pulang ke rumah ibunya, lalu membuka toko kelontong kecil. Pernah terpikir seperti itu, tetapi Joni tidak melakukannya. Entah mengapa, ia belum ingin pulang, belum ingin selesai dengan pekerjaannya yang hanya agen pemasaran minuman kemasan.

Kamar kos yang ditempati Joni tidak besar, tidak pula mewah, malah cenderung kumuh. Tetangga-tetangga Joni yang kumuh, sementara Joni tampak seperti bintang film di tengah-tengah rakyat jelata yang tubuhnya tidak pernah tersentuh produk-produk perawatan kulit. Iya, Joni cukup tampan. Bahkan, menurut Budi dan Karyo, Joni salah melamar pekerjaan. Seharusnya Joni mendaftar kompetisi pencarian bakat. Entah pamer bakat apa, yang jelas Joni cukup layak tampil di layar kaca, pikir mereka.

"Kenapa tidak sewa kamar kos yang lebih baik?" tanya Budi ketika bertandang ke tempat tinggal Joni. "Gajimu cukup untuk kamar dengan tempat tidur berdipan dan penyejuk ruangan. Ini malah sewa di tengah-tengah bau tengik tumpukan barang rongsok."

Joni tak menanggapi. Ia hanya memandang jauh ke depan sambil mengepulkan asap kreteknya. Ia pernah tinggal di kamar kos seperti yang disebut Budi. Hanya bertahan dua bulan. Ia tidak betah mendengar kesunyian. Suara yang mampir ke gendang telinganya hanya dengung penyejuk udara dan lemari es. Televisi dua puluh delapan inci yang terpasang di dinding tak lagi menarik minatnya. Beberapa buku sudah rampung ia baca, tak ingin membeli yang lain. Dan, ia sedang tidak ingin berakrab-akrab dengan huruf-huruf hijaiyah.

Di tengah-tengah bau tengik tumpukan barang rongsok, gendang telinganya sedikit terobati. Keriuhan pagi, kelengangan siang hari, dan celoteh bocah-bocah di sore hari, membuat Joni merasa hidup. Sesekali ia memang bercengkerama dengan para tetangganya. Sekadar memberi tahu dunia bahwa ia masih hidup, masih bisa bicara kepada orang lain. Para tetangganya, terutama kaum ibu, senang sekali dengan adanya Joni di kompleks kamar kos itu. Pemandangan segar, kata mereka. Jika sudah panen pujian begitu, ia tak segan kembali melempar senyum kepada kaum ibu itu.

Tetapi, apa tujuan hidup?

Usia Joni sudah melewati kepala tiga. Ia belum ingin menikah. Tepatnya, belum ada perempuan yang bisa membuatnya berpikir untuk membangun rumah tangga. Dua atau tiga perempuan, termasuk Maryam, tidak juga menggerakkan hatinya untuk melamar. Sebetulnya, dengan Maryam, Joni hampir saja ingin melamar. Beruntung tidak jadi. Sebab, akan runyam ujungnya.

Maryam, bagi Joni, bukan hanya seseorang dengan senyum manis dan tutur lembut. Jauh-jauh hari, sebelum Joni menyatakan cintanya, Maryam sudah berkata bahwa ia bukan perempuan bebas. Joni tidak peduli. Hatinya berkata bahwa Maryam adalah untuknya. Kalau pada akhirnya mereka menjalin hubungan, itu karena Maryam pun merasakan hal yang sama. Ada yang berbeda dengan Joni, pikirnya. Perjanjian tak tertulis dibuat agar tidak ada hati terluka.

Joni tidak pernah menyesal bertemu Maryam. Ia bahkan berani mengenalkan Maryam kepada Budi dan Karyo. Dua atau tiga kali Maryam mampir ke tempat tinggal Joni. Duduk, mengobrol, berbagi kretek, juga berbagi cerita. Maryam lebih banyak bercerita. Tentang masa lalu, tentang kehidupannya saat ini, serta berbagai khayalan hari-hari di depan. Ada perasaan aneh dalam diri Joni ketika mendengar Maryam bercerita. Ia seolah-olah tengah mendengar seorang perempuan membacakan sebuah naskah drama. Tidak, tidak, itu bukan berarti Joni menganggap Maryam hanya mengarang indah. Toh tidak ada yang mau dengan sengaja membuat bekas luka memanjang di paha kanan dan kiri berbekal bualan. Namun, pada akhirnya, bekas luka itulah yang membuat Joni ingin melamar Maryam. Ya, seandainya Maryam betulan perempuan bebas.

Joni bisa meluangkan isi rekeningnya untuk menghilangkan bekas luka itu. Ia bisa turut merawat bagian tubuh Maryam yang lain agar tidak lekang termakan usia. Bahkan, Joni merasa bisa turut merawat hati Maryam yang juga memiliki bekas luka. Akan tetapi, Maryam tidak mau. Belum ingin, tepatnya. Bukan apa-apa, Maryam hanya merasa harus menuntaskan karmanya terlebih dahulu.

"Ada perjanjian lain, Sayang, yang sudah lebih dulu dibuat jauh sebelum pertemuan ini," kata Maryam ketika Joni mendaratkan kepala ke dada lembutnya.

Joni paham. Dan, ia tidak ingin tahu lebih detail isi perjanjian itu. Ia hanya ingin menikmati saat ini. Menikmati berlama-lama di dada lembut Maryam.

Lantas, apa tujuan hidup?

Jika kembali dirunut ke belakang, Joni seharusnya bisa berakhir bekerja di luar negeri. Ia lulusan kedua terbaik di kampusnya. Sempat pula ditawari beasiswa oleh donatur swasta yang ingin merekrut keterampilannya untuk mengurusi cabang luar negeri. Ia seharusnya menyerap ilmu pemasaran dari sebuah kampus di Melbourne. Kenapa Melbourne? Joni tidak tahu. Tidak ingin pula mencari tahu. Sebab, pada intinya, ia tidak mau berjauhan dengan ibunya. Bahkan, jarak Jakarta-Cirebon saja sudah cukup jauh untuknya.

Atasan Joni sering tidak habis pikir. Orang secerdas Joni melamar untuk posisi receh sekelas agen pemasaran yang tugasnya hanya menarik uang penjualan produk dari toko-toko.

"Aku tidak akan heran jika kamu mengincar posisiku, Jon, tetapi kamu terus saja menolak promosi," kata Burhan, atasan Joni.

Joni hanya tersenyum tiap kali Burhan menyinggung soal promosi jabatan. Kalau Joni mau, ia bisa saja mengincar posisi direktur. Ia punya kemampuan untuk menjalani jabatan itu. Tetapi, untuk apa? Dengan begini saja, Joni sudah bisa hidup cukup.

Iya, cukup. Ia tak ingin yang lain. Sudah cukup baginya jika bisa makan tiga kali sehari, membeli sebungkus kretek untuk dua hari, dan mengirim sekian ratus ribu untuk ibunya setiap bulan. Mungkin bisa ditambah satu atau dua kali ia membeli berbungkus-bungkus makanan ringan untuk dibagikan kepada bocah-bocah yang kebetulan bermain di depan teras kamarnya. Bocah-bocah dengan mata berbinar yang kerap memanggilnya dengan sebutan Om Jojon.

Semuanya cukup bagi Joni, meskipun belum genap.

Maka, ketika datang Maryam, genap itu hadir, genap itu menjelma nyata.

"Hidup tidak memiliki tujuan, Sayang," kata Maryam sesaat setelah mengembuskan asap kretek ke udara di depannya. "Hidup hanya menjalani yang ada saat ini. Kita bisa berkata bahwa hidup adalah perjalanan tanpa jeda, yang melulu berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan, apa pun hasilnya kelak. Kita belum boleh berhenti. Sebab, kita belum sampai."

Perempuan itu menoleh ke kanan, memandang Joni yang tengah mengamati dirinya. Dua isapan panjang dan puntung itu segera mati baranya. Bersamaan dengan itu, mati pula bayangan Maryam di benak Joni.

Sekar Mayang editor dan pengulas buku, bermukim di Bali

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads