Di salah satu gerbong, di bawah terpal panjang yang lusuh tampak dua perempuan dan anak-anak keturunan Belanda sedang meringkuk di gundukan garam dengan dada diselimuti cemas. Mereka saling berpelukan. Mencoba meredam kalut. Mengobati rasa takut.
"Apakah kita akan selamat, Mami?" tanya seorang anak lelaki berambut pirang pada ibunya. Sang ibu membelai rambut anak itu sambil mengangguk.
"Tidurlah, William. Ketika kau bangun kita akan tiba di Nederland," kata sang ibu.
"Kau percaya padanya, Julia?" tanya salah seorang perempuan.
"Siapa? Ladrak? Ia orang baik. Dia tahu balas budi."
"Bagaimana kalau dia berkhianat?"
"Aku tak akan membiarkannya," kata Julia sambil menyingkap jaketnya. Tampak di pinggangnya sebuah pistol.
"Buat apa kau bawa pistol itu? Kau malah membuat kita semua berada dalam bahaya nanti."
"Untuk jaga-jaga."
Ladrak, sang masinis, berdiri di belakang kemudi, memandang ke depan dengan tatapan kosong. Sesekali ia melongokkan kepalanya dari jendela memandang ke langit setiap kali terdengar deru pesawat melintas. Sejak Nippon menginjakkan sepatu larsnya di Madura, Ladrak merasa was-was. Sebab burung besi Nippon itu kerap tak segan-segan menembaki kereta dan menjatuhkan bom.
"Mungkin ini akan jadi perjalanan terakhir kita mengangkut garam, Man," kata Ladrak pada Kardiman, asisten masinisnya yang sedang sibuk melempar kayu bakar dan batubara ke dalam tungku lokomotif.
"Kok bisa, Kak?"
"Kepala stasiun menerima surat dari militer Jepang, bahwa mulai besok 12 Juli 1943 aktivitas pengiriman garam dihentikan sementara sebab kereta api akan digunakan untuk mengangkut besi-besi tua untuk pembuatan senjata. Biasa, untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Produksi juga dikurangi drastis. Pasokan garam ke Pariaman, Baros, Jambi, dan Tulang Bawang akan dikirim dari Rembang. Garam Madura hanya memenuhi kebutuhan di Jawa saja"
Kardiman sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia berdiri. Menarik napas panjang. Terbayang dalam benaknya wajah anak dan istrinya. Dengan apa mereka akan makan jika ia harus prei sementara dari aktivitasnya sebagai asisten masinis? Prei berarti tak ada gaji. Sebagai pekerja kontrak di jawatan kereta api milik Madoera-Stoomtram Maatschappij (MSM) ini, ia mungkin akan terancam diberhentikan.
Berhenti berarti tak ada gaji. Dan dapur tak langi mengepul. Ia juga membayangkan nasib para kerabatnya, yang kebanyakan kuli-kuli garam di Krampon; dengan apa mereka bertahan hidup jika produksi garam dihentikan karena perang? Bagaimana nasib ribuan ladang garam yang tersebar di seluruh Madura ini?
Sudah sejak 1903, sejak dibangunnya pabrik garam di Krampon, sebagian penduduk Krampon mengais sesuap nasi dari roda produksi garam briket. Banyak yang telah dikorbankan demi garam. Banyak dari mereka kehilangan tanah entah karena tertipu dan menjual murah tanahnya demi ladang garam Hindia Belanda hingga yang dirampas dengan semena-mena tanpa ganti rugi yang pantas. Semua itu demi garam. Demi makan. Demi menahan perih lambung terbakar.
Dengan kata lain garam adalah salah satu rusuk bagi punggung ekonomi masyarakat Madura. Sejak lama garam diperdagangkan baik untuk kebutuhan industri pengolahan ikan yang sederhana sejak abad ke-9 maupun untuk keperluan bumbu makanan yang telah menjangkau seluruh Nusantara. Artinya garam berkelindan erat dengan jalur rempah. Tak ada garam, rempah dalam ulekan di dapur akan terasa hambar.
Terlebih lagi garam Madura memiliki kualitas yang sangat baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain karena alasan geografis; curah hujan yang rendah dan kemarau yang relatif panjang serta embusan angin gending.
Dan kini karena perang sialan ini kejayaan garam Madura akan meredup? O, betapa masih saja rakyat yang jadi korban atas semua ambisi kekuasaan ini. Kerakusan orang-orang berseragam ini.
"Kalau benar ini pengiriman garam terakhir kita, mengapa kakak nekat mengangkut orang-orang Belanda itu? Jika ada pemeriksaan tentara Nippon di stasiun Kamal nanti, bukan Cuma pekerjaan kita yang hilang. Nyawa pun melayang. Apakah tidak sebaiknya kita turunkan saja mereka."
"Aku tak tega melihat mereka dianiaya, Man. Nippon benar-benar kejam. Mereka menangkapi dan memperkosa perempuan. Ini adalah upaya kita menyelamatkan kemanusiaan," kata Ladrak.
Ladrak sebenarnya paham benar bahwa apa yang dilakukannya adalah tindakan ilegal. Tapi keluarga Tuan Robert van Houten begitu baik pada keluarganya. Tanpa belas kasih mereka, adiknya mungkin tak akan pernah mendapatkan pekerjaan sebagai mandor garam di Kota Tua Kalianget. Mendapatkan jatah rumah dinas. Juga berkat bantuan tuan Robert pula ia bisa diterima sebagai pegawai tetap di jawatan kereta api ini.
Tuan Robert ditembak Nippon. Dan ia harus menyelamatkan Julia, istri tuan Robert, bersama seorang anak semata wayangnya dan dua saudara perempuan Julia ke Tanjung Perak untuk ikut gelombang pengiriman orang-orang Belanda pulang ke negerinya melalui kapal. Dengan lain kata Ladrak sedang melakukan balas budi. Dan Kardiman tak perlu tahu urusan pribadinya itu.
Kardiman diam. Tak menyela. Meski gundah benar menyelimuti jiwanya. Ia tak suka dengan jawaban rekan kerjanya itu. Atasannya itu. Mengapa harus Belanda itu yang kini hendak ia selamatkan? Apa pentingnya menyelamatkan penjajah? Apa pentingnya kemanusiaan jika rakyat sendiri justru jadi korban?
Jepang datang, Belanda pergi. Tapi nasib pribumi masih saja tak pasti. Benar memang kedatangan Jepang disambut baik karena Jepang dianggap telah membebaskan rakyat dari belenggu pemerintah Hindia Belanda. Jepang berusaha menampilkan kebenciannya terhadap bangsa kulit putih dengan menyiksa tawanan Belanda di depan umum. Tapi seiring berjalannya waktu watak aslinya keluar juga. Malah Jepang lebih kejam dari Belanda.
Tapi Belanda itu pantas diperlakukan keji. Namun tidak untuk pribumi.
Tidak! Pertarungan dalam batinnya terhenti. Kini hanya dengus kereta menyerang telinganya. Jug...jug..jes...jug...jug..jes...di kiri tampak selat Madura. Di kanan kereta terpampang sawah-sawah gersang. Sebagian sawah tampak berlubang bekas ledakan bom.
"Gantikan aku sejenak. Aku ingin merokok," kata Ladrak. Kardiman mengangguk. Kemudian mendekati kemudi.
Ladrak berjongkok. Menyalakan rokok. Ladrak ingat dulu bapaknya yang menjabat klebun di Pademawu punya sawah yang luas sebelum akhirnya berpindah ke tangan Pengusaha tebu dan uangnya digunakan untuk biaya sekolah masinisnya.
Seandainya sawah itu tidak dijual mungkin kini ia mungkin tidak mencium aroma pembakaran batubara melainkan berkubang lumpur, mencium aroma tahi sapi untuk membajak sawah dan memanen padi. Tanah ditukar seragam. Cangkul ditukar dengan slip gaji. Betapa beruntung nasibnya kini. Berada di belakang kemudia kereta api. Namun belum genap lamunannya lengkap, Mendadak Kardiman berteriak.
"Ladrak, lihat!"
Gegas Ladrak berdiri lagi. Ia melihat kepulan asap di kejauhan tepat di tengah perlintasan kereta. Ia kemudian mengambil teropong dari tangan Kardiman. Ia menyaksikan sebuah truk militer berada di tengah rel. truk itu masih mengeluarkan api. Dibakar. Di kanan kiri truk tampak beberapa orang berikat kepala hitam, berselempang sarung dan memegang senapan.
"Penjarah!"
"Sebaiknya kita berhenti," kata Kardiman memberi saran.
"Tidak! Kalau kita berhenti penumpang gelap kita di belakang berada dalam bahaya. Tambah perapian. Kita tabrak truk itu!"
"Sebaiknya kita berhenti, Kak," kata Kardiman sambil memutar tuas rem ke arah kanan. Kereta berdecit.
"Kau gila, ya, Man?! Teriak Ladrak. Dengan cepat Ladrak memutar tuas rem ke kiri dan memutar tuas regulator untuk menambah kecepatan. Kerera berguncang. Keduanya lantas bergumul. Saling berebut tuas. Sementara kereta terus melaju, melaju dan melaju. Dari arah depan berondongan senapan menyalak. Peluru berdenting-denting mengenai kaca lokomotif.
"Ini demi keselamatan kita juga! Dan persetan dengan kemanusiaanmu," kata Kardiman.
"Sialan kau Kardiman!"
Pergumulan terus terjadi. Tangan mereka saling berebut tuas sambil saling melancarkan tinju dan tangkisan. Sambil sesekali menunduk mengindari hujan peluru. Dalam pergumulan itu rupanya Ladrak kalah kuat dengan Kardiman. Ia jatuh terjengkang. Dan kini kaki Kardiman telah menginjak leher Ladrak. Dan Kardiman menarik tuas rem dengan cepat. Terdengar lagi decit besi bertemu besi.
Namun sebelum keretap benar-benar berhenti terdengar sebuah letusan pistol. Dan tubuh Kardiman ambrol dan tanpa sengaja memutar tuas penambah kecepatan Ladrak terkesiap. Tampak Julia berdiri dengan pistol yang moncongnya masih berasap.
"Kita akan selamat, bukan?"
Kereta terus laju dan laju mendekati truk terbakar yang melintang itu. Rentetan suara tembakan tak berhenti.
Edy Firmansyah kelahiran Pamekasan, Madura. Pemimpin umum Komunitas Gemar Baca (KGB) Manifesco, Pamekasan
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)