Sesekali aku menghibur diri dengan membayangkan, seandainya tetap berdiam diri di rumah, Sentot Mugali akan mencincang tubuhku menjadi empat bagian untuk kemudian dilarung di laut. Tapi usaha penghiburan itu tak pernah bertahan lama, sebab sekarang aku selalu merasa seseorang tengah mengawasiku dari jauh, dan saat aku lengah ia bisa saja mencincang tubuhku menjadi enam bagian --bukan empat.
Semua bermula ketika bapak mati. Segera setelah para pelayat tak lagi datang bertandang, saat itu kakak sulungku Sentot Mugali pulang bersama seorang pria berkepala plontos yang gemar membasahi alisnya dengan liur. Mula-mula ia akan menjilat ujung jari telunjuknya, seperti Bapak ketika mencicipi makanan, kemudian melumurkan jari malang itu beberapa kali ke alis. Perutku bergolak ketika melihat pemandangan itu; aku ingin muntah.
"Aku seorang advokat," kata si kepala plontos ketika aku bertanya beberapa hal tentang dirinya. "Tapi kerjaku lebih spesifik mengurus sengketa keluarga. Sederhananya, jika kau berurusan dengan kasus perceraian, harta gono-gini, atau perebutan harta warisan, kau bisa menggunakan jasaku. Paham?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak," aku menggelengkan kepala sebanyak tiga kali. "Mengapa membutuhkan jasa orang lain untuk menyelesaikan urusan keluarga?"
"Orang bisa memutuskan hubungan darah dengan cara pertumpahan darah demi sejumlah uang. Kau akan mengerti nanti ketika dewasa."
Bulir-bulir keringat membasahi telapak tangan ketika aku berusaha mencerna ucapannya. Ada sesuatu yang mengganjal pikiran. Ada ketakutan yang menggantung di udara.
Sentot Mugali belum berkeluarga. Ia memang hampir memiliki anak ketika SMA dulu, tetapi janin itu gugur dalam kandungan. Bapak menyebut Sentot Mugali sebagai anak jadah. Aku tidak mengerti bagaimana detail permasalahannya. Tapi bersamaan dengan itu, Bapak mengusir Sentot Mugali dan melarangku menyebutnya sebagai kakak.
"Seorang pembunuh tidak layak menjadi anggota keluarga kita," kata Bapak.
Aku terus menduga-duga, mengapa Sentot Mugali pulang bersama seorang advokat ketika Bapak baru saja mati.
***
Aku tidak bisa terlelap sepanjang perjalanan. Penumpang yang duduk di sampingku, seorang nenek-nenek yang tengkuknya menguarkan aroma balsam, selalu mencengkeram lututku kuat-kuat tiap kali bus bergerak tak mulus.
Aku tak keberatan dengan tingkahnya. Di sekolah, aku pernah diajari untuk membantu seorang nenek menyeberang jalan sebagai pertanda anak berbudi luhur. Tapi aku tak pernah melihat nenek-nenek berdiri menunggu lampu lalu lintas berubah merah, dan mungkin menggantinya dengan mengorbankan lutut di dalam bus adalah cara yang tepat. Bagaimanapun, aku ingin menjadi anak yang berbudi luhur.
Sepanjang perjalanan, wajah Sentot Mugali terus melintasi pikiranku. Sejak tadi malam, aku mengambil kesimpulan bahwa ia pasti membunuhku jika ada kesempatan, terlebih saat ia mengetahui bahwa namanya tidak tertera dalam daftar penerima warisan. Sentot Mugali adalah seorang pembunuh, kata Bapak. Dan seorang pembunuh pasti mudah meloloskan nyawa kapan pun ia mau, terlebih nyawa seorang bocah sepertiku. Aku merasa cemas.
Bus terus melaju menuju Terminal Pakupatan dengan gerak yang ugal-ugalan. Aku mengalihkan perhatian barang sejenak dari kilasan wajah Sentot Mugali menuju pemandangan luar jendela. Awan bergerombol mengerubungi tubuh bukit, warna putih-hijau terhampar indah di kejauhan, seperti dalam lukisan yang dibuat Ibu untuk hadiah ulang tahunku yang kesembilan. "Mooi indiΓ«," kata Ibu. Dan aku tak mengerti apa maksudnya. .
Ibu membenci Bapak, seperti Bapak membenci Sentot Mugali. Oleh karena itu, Ibu tidak datang ke pemakaman Bapak. Aku merindukan Ibu, dan merasa dekapannya akan menghalau serangan Sentot Mugali, sekuat apa pun. Ibu seorang dewasa yang hebat, untuk itulah aku menyusul ke rumahnya di Malang tanpa sepengetahuan siapa pun.
Tiba-tiba terasa jari tangan mencengkeram lututku kuat sekali seolah-olah pemiliknya menaruh dendam yang dalam kepadaku. "Maaf, Nak," katanya sembari mengelus dada dengan tangan kiri, dan sebentar kemudian ia kembali terlelap. Aku hanya mengangguk sembari mengulum senyum. Aku merasa menjadi anak yang berbudi luhur.
***
"Jam 10 malam," katanya saat aku bertanya tentang bus menjuju Malang.
"Sudah punya tiket?"
Aku menggelengkan kepala sebanyak tiga kali. Laki-laki dengan seragam merah itu bertubuh tinggi, sampai-sampai aku harus menengadahkan kepala saat berbicara dengannya.
"Tunggu di sini." Dia lalu berlari ke arah loket, dan sebentar kemudian kembali dengan menyerahkan selembar kertas berwarna hijau.
"Semuanya lima puluh ribu. Jangan sampai hilang ya. Simpan di saku atau dalam dompetmu."
Aku mengangguk sembari menjulurkan sejumlah uang yang ia minta.
"Jangan berkeliaran terlalu jauh, tunggu saja di sini."
Sekarang pukul lima sore. Cahaya matahari turun miring menerobos celah jendela, datang menerjang wajahku begitu lembut, ronanya tak tertapis dengan sempurna. Aku harus keluar dari tempat ini, berjalan-jalan atau mencari kesibukan, sebelum bus menuju Malang tiba di terminal. Semakin aku berdiam, kecemasan menggerayangi kepalaku seperti semut bertemu gula, atau seperti nyamuk kebun bertemu kulit manusia.
Aku melangkah pelan ke luar. Kendaraan besar cepat berlalu-lalang; datang dan pulang. Orang-orang berteriak seperti siamang di tengah hutan. Seluruhnya bergerak gegas, berlari dengan kardus di pundak atau menyeret-nyeret koper di permukaan aspal. Para pedagang menjajakan barangnya, dengan suara yang tak kalah kencang. Asap dan debu terangkat ke udara, membuat kepalaku semakin pengar.
"Kau mau permen?" tiba-tiba seorang pria berambut cokelat menepuk pundakku dari belakang. Seulas senyum terhias di wajahnya. Ia ramah dan terlihat terbuka.
Aku menerimanya dengan senang hati. Aku tak pernah melihat permen semacam ini di minimarket. Warnanya merah terang, dengan gagang terbuat dari bambu yang diserut kasar-di beberapa bagian masih terasa serat-serat yang menggantung. Aromanya harum, seperti buah beri yang disiangi. Aku mengulumnya, dan ketenangan menjalar seketika.
***
Aku terjaga sekitar pukul tujuh pagi dengan kaus yang kuyup oleh keringat. Udara begitu pengap walau matahari belum beranjak terlalu tinggi. Aku menyadari bahwa bus telah meninggalkanku jauh saat pria berambut coklat itu menghampiriku lagi. Aku ingin menangis saat itu, tetapi ia berusaha menenangkanku dengan pelukan yang hangat dan dalam.
"Tidak ada. Kau harus membelinya," kata si pria berambut coklat ketika aku meminta permen itu lagi. "Kalau kau tak punya uang, kau harus bekerja."
"Aku masih anak-anak."
"Lihat mereka," si pria berambut cokelat menunjuk ke sudut ruangan.
"Mereka masih anak-anak, dan sudah bekerja. Tidak ada batasan usia untuk bertahan hidup."
Di sudut ruangan pengap ini, lima orang anak sedang merapikan diri. Salah satu dari mereka, yang menggunakan celana hitam robek tak beraturan, mengatur senar gitar sambil sesekali merapikan rambutnya yang dibuat tegak berdiri. Sementara empat orang lainnya, yang terlihat seusiaku, bergantian mematut diri di hadapan cermin. Mereka terlihat sangat kotor tak terawat seperti anak anjing yang tercebur ke dasar got.
"Aku tak ingin bekerja."
"Itu berarti tak ada jatah permen untukmu," si pria berambut coklat itu lalu pergi ke luar ruangan dengan sebatang rokok yang tersampir di bibir hitamnya. Lima anak tadi segera menghambur, mengekor langkah majikannya. Ketika melintas, tercium aroma tubuh mereka seperti kambing jantan.
Rasa cemas kembali meremas jantungku. Aku rebahkan tubuh di atas sofa aus yang dijejali jamur ini. Saking tengiknya, aku harus menengadahkan wajah ke arah langit-langit agar hidungku tak mendengus aromanya secara langsung. Telapak tanganku berkeringat. Tubuhku gemetar seperti menahan gigil. Dilingkupi oleh keheningan, deru napasku yang memberat menggema di seisi ruangan, memantul-mantul dari dinding ke dinding, seperti terperangkap untuk selamanya.
Aku membayangkan apa yang terjadi seandainya aku tak kabur dari rumah. Aku merindukan dekapan tubuh Ibu. Aku membayangkan kasar kulit Sentot Mugali. Aku teringat pada Bapak yang bahkan di hari-hari terakhir menjelang kematiannya terus mengumpat tentang Sentot Mugali.
Aku merasa sangat takut dan gelisah secara bersamaan. Ratusan pasang mata seperti menyorot ke arahku di kejauhan, di lorong-lorong yang gelap, di celah lubang yang pengap. Jika ada sesuatu yang bisa membantuku untuk sedikit lebih tenang, itu adalah permen yang diberikan si pria berambut coklat. Aku bersumpah, permen itu rasanya lezat sekali.
Muhammad Nanda Fauzan kelahiran Lebak, Banten; kini bermukim di Serang, bergiat di Komunitas Soedirman 30
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)