Ia Melihat Mimpi-Mimpinya dan Tertawa

Cerita Pendek

Ia Melihat Mimpi-Mimpinya dan Tertawa

Elfi Ratna Sari - detikHot
Minggu, 20 Jun 2021 11:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Ia mengaduk empat gelas kopi di dapur, yang lebih dari delapan tahun ini menjadi tempat kebanyakan dirinya menghabiskan waktu. Di ruang depan, empat orang sedang menunggu kedatangannya, demi meneguk minuman warna pekat tersebut. Satu di antaranya adalah suami, satunya mantan kekasih di masa muda, sedang dua yang lain adalah teman sekelas mereka di waktu sekolah menengah atas.

Mereka saling mengenal satu sama lain, dan tak ada seorang pun memungkiri kecerdasan yang dimilikinya sewaktu sekolah dulu.

"Aku akan kuliah di kota, berbekal beasiswa. Hidup mandiri di sana. Lalu sukses!"

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu kalimatnya dulu sewaktu baru melempar seragam putih abu-abu yang tak dicorat-coret.

Sudah di adukan cangkir ketiga ketika suara keempat laki-laki di depan sana terdengar nyaring menertawakan sesuatu.

ADVERTISEMENT

"Kau memang laki-laki terhebat, Ram. Sampai bisa membujuk si Hatin yang katanya otaknya paling cemerlang itu untuk tidak meneruskan kuliah. Lalu bisa kau peristri. Hahaha gila! Benar-benar gila. Si keras kepala itu bisa kau takhlukkan dengan pesona ketampananmu."

Gelas keempat yang ia aduk. Gelas belimbing murahan yang setengah lusin harganya tidak sampai sepuluh ribu itu memang tinggal empat, yang dua pecah ketika ayam tetangga masuk dapur yang dindingnya dari anyaman bambu, itu pun telah rusak dimakan rayap.

Si ayam mengacak-ngacak rak piring yang sudah miring tiga puluh derajat, dan terpaksa ia ikat rafia-hasil minta pedagang rambutan yang membeli seluruh buahnya dari dua pohon di depan rumah. Sebenarnya uang itu mumpuni untuk membeli rak piring baru. Namun, mertuanya bilang, lebih baik untuk diinvestasikan ke orang di perempatan. Agar bisa kembali berkali-kali lipat.

Dari sisa-sisa kecerdasaannya di masa lalu, ia bilang pada mertuanya, bahwa investasi-investasi semacam itu hanya penipuan. Namanya investasi bodong. Ujung-ujungnya uangnya dibawa kabur.

"Halah omong kosong! Kau itu hanya sok pintar. Kalau benaran pintar, tak mungkin mau menikah dengan anakku lalu melepaskan beasiswa kuliahmu yang sudah di depan mata."

Sebulan berselang, nenek dari anak lelakinya yang berusia satu tahun itu marah-marah dan merobohkan rak piring. Untung semua piringnya dari seng. Sedangkan gelas belimbing yang tinggal empat biji masih di ember. Belum sempat ia cuci.

"Punya menantu katanya paling pintar saat sekolah. Nyatanya tidak ada gunanya. Kenapa tak kau jelaskan secara rinci tentang investasi bodong itu kepadaku? Sekarang kau bahagia mendengar uangku lenyap, hah?"

Ia masih sibuk dengan perkakas dapur yang menggunung ketika ibu mertuanya memarahi rak piring yang bisu dan karatan-serta terikat rafia, yang sekarang rafianya putus dari paku di tembok.. Lupa, kalau wujud menantunya sekarang berdaster robek di ketiak, dan warna yang awalnya biru tua sudah menjadi abu-abu, bukan dalam wujud rak piring.

"Aku siswi terpitar waktu sekolah. Seharusnya bisa memakai baju wisuda dan berfoto dengan teman-teman. Lalu merayakan kelulusan yang pastinya dengan nilai terbaik. Bukan bertemu dengan cucian perkakas segunung tiga kali sehari seperti ini."

Sesaat ia memang menyesali tindakannya dulu yang terbutakan oleh cinta. Yang dalam hatinya menjadi orang paling beruntung karena dinikahi lelaki ganteng di desanya, paling ganteng pula di sekolahnya. Lupa, kalau dia mau memilih untuk mengambil beasiswa, jika memang berjodoh, dia mau menunggu hingga ia lulus, dan meraih cita-cita.

Pernah suatu kali, sehabis sebulan menikah, ia menanyakan kembali beasiswa yang lain pada kenalannya. Jawabannya, "Tidak ada beasiswa kuliah untuk orang yang sudah menikah di sini, Tin. Orang yang sudah menikah dianggap mampu untuk membiayai kuliahnya sendiri."

Pupus sudah harapannya. Apa lagi kata suaminya, "Sebaik-baiknya istri ialah yang taat pada suami. Aku sebagai suami melarangmu untuk kuliah. Sekalipun suatu saat kau mampu membiayainya, ataupun ada orang yang mau membiayai kuliahmu, tetap tidak akan kuizinkan selagi aku masih hidup dan masih berstatus sebagai suamimu. Aku juga tidak mengizinkanmu bekerja. Cukup di rumah dan jadi ibu rumah tangga yang baik."

Ia meletakkan sendok di meja dapur yang berceceran kopi. Membawa empat gelas kopi itu ke depan untuk disuguhkan.

"Sekarang kerja apa si Hatin, Ram? Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Ya terakhir kali saat kalian menikah dulu."

"Dia tidak kerja. Tidak berpenghasilan. Tidak macam istri kau itu yang jadi sekretaris bos."

Ada yang tercabik, dan ada yang berkaca-kaca. Namun, ia tetap melanjutkan membawa nampan.

Lihatlah si Dido, kawan sekelasnya dulu yang sewaktu dekat ujian matematika, hafalannya cuma negatif dua dikurangi negatif tiga, pengurangan ketemu negatif jadinya positif. Jadi sama dengan negatif dua ditambah tiga. Sama dengan satu. Sekarang dia punya perkebunan luas yang ditanami aneka sayuran. Ternyata ilmu matematikanya yang seupil sangat bermanfaat dan membawanya menjadi mantu idaman di desa ini.

Lihatlah si Bimo. Yang dulunya tidur di kelas sewaktu sekolah karena malamnya selalu insomnia. Sekarang dia jadi satpam di sebuah kantor besar. Kebiasaannya tidur terbalik itu cocok untuk pekerjaan yang dirinya selalu milih sif malam.

"Bagaimana kabarmu, Hatin?"

Tangannya gemetar saat menyuguhkan kopi terakhir. Kopi untuk Satrio. Mantan kekasihnya yang ditinggalkan demi menikah dengan Rama, suaminya. Meski dia kalah tampan dengan suaminya, tapi kebaikan, kelembutan, sikapnya yang tidak mengekang, dan juga dia yang selalu mendukung cita-cita Hatin, sangat membekas di ingatannya. Sekarang Satrio tampak gagah dengan jas hitam dan dasi.

Lalu, atas pertanyaan darinya itu, hati kecil yang dulu pernah digenggam Satrio, kini bergetar kembali. Andai...andai dulu tak ia mencampakkannya demi menikah dengan Rama, mungkin dirinya sudah sama seperti Satrio sekarang. Berpakaian rapi, dapat pekerjaan di perusahaan ternama.

Bagaimanapun dulu, ia dan Satrio ialah sepasang kekasih yang dijuluki otak tercecer. Sebab keduanya sepasang muda-mudi yang selalu bersaing ranking satu dan dua. Sering mengikuti olimpiade ini dan itu. Hingga akhirnya, karena terlalu sering pergi bersama untuk olimpiade yang antah berantah, rasa monyet yang disebut cinta itu muncul. Mereka berpacaran. Sampai suatu kali Hatin terlena akan tawaran menikah dengan Rama yang tampan.

Terdengar suara tangisan dari kamar. Anak keduanya yang berusia satu tahun sedang menangis. Agaknya terganggu dengan tingkah ayah dan teman-teman ayahnya yang gaduh.

Ia langsung berlari ke kamar berukuran sepetak yang kelambunya sudah bau apek karena belum sempat dicuci. Yang kasurnya setipis iman saat niat diet tapi digoda makanan gratis. Ia takut anak keduanya yang juga laki-laki itu merangkak ke ujung ranjang lalu jatuh.

"Hoi, Hatin! Anak kau itu suruh diam! Berisik! Pakai otak kau yang katanya cerdas itu! Urus anak yang becus! Jangan sampai dia bernasib sama seperti kakaknya. Kau biarkan masuk parit saat hujan, terseret air lalu menghadap Tuhan."

Ia pintar, dan sekarang pun masih pintar. Ia selalu juara kelas, sayangnya tidak pernah juara di hati ibu mertua. Andai ia mengambil beasiswa itu dan tidak tergoda dengan rayuan Rama, mungkin sekarang hidupnya lebih mudah. Tak berurusan dengan sumur, dapur, dan kasur yang bau ompol. Ia bisa jadi perempuan karier yang hebat, dan bisa dibanggakan Rama ke teman-temannya-ironi, melarang istri bekerja, tapi bangga dengan istri teman yang bekerja.

Ia bisa membeli daster baru dengan uangnya sendiri. Tidak perlu dikatai mertua menghambur-hamburkan uang suami. Ia tidak perlu membiarkan anak pertamanya hanyut terbawa air sungai yang meluap, sementara ia bergumul dengan cucian baju, sedangkan mertuanya ada di dekat kejadian, dan menyalahkan atas ketidakbecusannya menjaga anak. Harusnya dia menjadi perempuan yang mendapat hidup layak. Harusnya ia....

Tidak. Ia seorang istri, ia seorang ibu. Tidak boleh berpikir seperti itu. Bagaimanapun, pekerjaannya sekarang juga mulia, juga hebat, meski tidak ada yang mengakui.

Ia keluar kamar sambil mengendong anaknya. Membawanya ke belakang. Menuntaskan cucian bajunya, baju anaknya, baju suaminya, baju mertuanya, juga keempat kakak suaminya, dan keempat kakak ipar suaminya, jangan lupakan baju anak-anak mereka juga.

"Kau apakan itu si Hatin yang dulu mengajariku berhitung bilangan positif dan negatif, sampai terlihat tak sepintar dulu?"

Ia tetap melanjutkan langkah ke belakang, tak menggubris ucapan yang sayup-sayup didengarnya. Ia seorang istri yang sudah sepantasnya berbakti. Karena sebaik-baiknya istri ialah yang taat.

Mimpi-mimpi besar itu tidak seharusnya melintas lagi. Tidak sekarang, tidak juga nanti. Ia telah menikaah. Dan suaminya tidak rida dia meraih mimpi, maka ia harus taat.

Ia telah usai membilas seember cucian pertama-yang ia terka jumlahnya mungkin ada enam kali lipat dari itu. Seember cucian yang harusnya ia bawa ke samping rumah untuk dijemur, tapi dibawanya ke perempatan. Ia tinggalkan anaknya yang masih bayi di kamar mandi licin yang belum sempat ia sikat. Di perempatan, ia melihat mimpi-mimpinya dan ia tertawa.

Elfi Ratna Sari lahir di Pati, 8 September 1993. Menulis puisi, cerpen, cernak, cerkak, dan novel. Tiga Novel terbarunya yang terbit tahun 2020 berjudul GUS, Ujung Trotoar, dan SYA

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads