Setiap selepas magrib, Bapak akan duduk di balai depan rumah. Ditemani secangkir gelas bercorak hijau-putih yang dibiarkannya kosong. Di sisi cangkir itu tergeletak setengah bungkus kopi bubuk yang sudah digiling, dengan gula seperempat yang juga masih terbungkus plastik.
Namun Bapak diam. Tak segera menyeduh, atau setidaknya menyuruhku untuk mengambilkan air panas. Ia menerawang ke depan, menatap pohon mangga yang berdiri kokoh, yang bahkan sudah besar sejak aku dilahirkan. Ia mengamati dari pangkal akar, marambat ke batang pohon, ukurannya sebesar pelukan anak kecil, bermunculan banyak getah mirip borok luka atau kudisan, dan setelah itu, Bapak seolah menghitung jumlah daun yang merambati ranting-rantingnya.
Dalam pandangannya, ia tak bisa menyembunyikan dukanya yang teramat dalam. Matanya akan berkaca-kaca, dan meski berusaha menahan tangisnya dengan cara sedemikian rupa, aku selalu mendengar kesedihannya yang tak tertangiskan. Lewat pohon mangga itu, seolah kesedihannya berganti bahagia, seperti melihat sosok ibu yang tersenyum merekah, seolah dengan senyum itu, Ibu meminta Bapak untuk tetap tabah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia akan melamunkan masa lalu. Ketika demikian, tak seorang pun bisa mengusiknya. Bapak akan selalu khidmat dalam perenungannya akan masa lalu.
Azan Isya berkumandang. Bapak semakin jauh dalam pelamunannya, tetapi ia tak pernah lupa rutinitasnya ketika waktu Isya datang. Ia akan memanggilku dengan suara yang paling lembut. Aku yang sedang berpura-pura menonton televisi di dalam rumah, segera bergegas untuk ke dapur. Perintahnya hanya satu, memasak air panas. Serambi menunggu air mendidih, kadang Bapak berucap beberapa patah kata. Meski sebenarnya lebih sering diam.
Dan jika bercerita, ia akan selalu bercerita tentang hal yang sama. Pohon itu adalah pohon yang ditanam oleh Ibumu. Dulu rumah ini, rumah kanan-kiri kita adalah kebun mangga. Mbah-mu menjual tanahnya demi kawin lagi. Ibumu kebagian tanah ini. Dan pohon mangga itu adalah satu-satunya yang tersisa dari seluruh pohon mangga yang pernah ditanamnya.
Aku tergelak. Bukan bermaksud menertawakan kepedihan Bapak. Beberapa kali, ketika aku masih kecil, teman-teman sepermainanku menaiki pohon mangga itu. Aku yakin mereka tidak tahu mana yang matang dan yang tidak. Mereka memetiknya asal-asalan dan segera pergi ketika Bapak dan Ibuku pulang dari sawah. Meski Bapak dan Ibu melihatnya, tak ada makian yang disematkan kepada teman-temanku sebagaimana tetangga yang lain memaki ketika buah dalam kebun mereka dicuri.
Ibu akan lekas berkata, "Le, mencuri itu perbuatan yang tidak baik. Jika kita memakan makanan hasil curian, kalau yang punya tidak ikhlas, kita bisa memiliki dosa seumur hidup. dosa itu akan dibawa mati, dan kelak akan menjadi pertanggungjawaban di hari setelah kematian." Tentu aku bergidik mendengarnya.
Cerita-cerita seram yang kubaca di komik-komik siksa neraka yang dipajang di masjid membuatku membayangkan neraka begitu mengerikan. Aku tak ingat pasti, mungkin kelak, jika pemiliknya tidak ikhlas, dalam perut akan muncul ular-ular yang keluar membelah perut, dan mematuk si pencuri. Memberikan siksaan yang demikian mengerikan.
Bapak akan menanggapi nasihat Ibu dengan senyuman. "Padahal kalau mereka meminta baik-baik, saya tidak akan marah. Ibumu juga tidak akan marah. Ambillah sepuasnya, kadang kalau kita tak sempat memetik, malah akan rebutan dengan kalong."
Satu hal yang terus kuingat pasti, mangga bekas gigitan kalong selalu lebih manis dibandingkan dengan mangga yang dipetik dan dibiarkan masak dengan bantuan karbit. Demikian aku menyebutnya. Sebuah bahan kimia yang membantu buah agar cepat masak.
Seringkali ketika panen mangga tiba, pemborong dari kota hendak menebas-sebutan untuk membeli mangga dalam satu pohon. Tidak ada hitungan, ia hanya memberi harga. Kebanyakan warga di desaku menerima dengan senang hati menerima penawaran itu. Namun berbeda dengan Ibuku, seberapa pun tinggi penawaran yang diberikan, Ibu selalu menolak dengan penolakan yang paling halus. Ia akan tersenyum dan kemudian berkata
"Mangga-mangga ini tidak dijual. Mangga ini akan segera kupetik dan akan kubagikan kepada seluruh kampung."
Tak jarang para penebas itu akan kecewa. Mereka melihat pelem gadung punya Ib, adalah yang paling bagus di antara kampung-kampung yang pernah mereka singgahi.
Pada sore hari Bapak akan menaiki pohon mangga itu, dan aku yang berada di bawah bertugas menangkap mangga yang dilemparkan Bapak dari atas. Sambil menunggu Bapak melemparkan mangga yang dipetiknya, aku akan memasukkan ke dalam ember besar yang biasa digunakan mencuci. Ibu bertugas memasukkan ke dalam plastik, untuk dibagikan kepada tetangga.
Kalau jumlah panen banyak, maka ibu akan memberikan setiap rumah tiga butir mangga yang telah dimasukkan ke dalam kresek hitam. Namun jika jumlah mangga sedikit, Ibu akan mengantonginya dua buah per bungkusnya.
Sama seperti Bapak, melihat mangga itu, aku melihat Ibu yang hidup kembali, dengan senyum rekah yang meneduhkan. Ibu yang selalu bertanya belajar apa hari ini di sekolah, juga bertanya, dapat nilai apa hari ini.
Kudengar air telah mendidih di belakang. Tatapan mata Bapak masih kosong. Maka aku segera bergegas ke dapur. Tak lama aku kembali dengan teko yang di dalamnya berisi air panas. Aku membawanya dengan teramat hati-hati agar tidak menyenggol Bapak, juga agar tidak tumpah. Aku meletakkan teko di samping cangkir Bapak yang juga berada di samping kopi dan gula.
Setelahnya aku akan masuk kembali ke dalam tanpa berucap satu kata pun. Bapak tidak suka diganggu ketika menatap pohon mangga itu lama-lama.
Satu hari setelah kepergian Ibu, aku pernah menuangkan air panas itu ke dalam teko sebagaimana yang biasa Ibu lakukan. Jangan teruskan, kata Bapak. Tetapi aku keras kepala; aku memasukkan tiga sendok kopi, dan tiga sendok gula. Kemudian aku segera mengaduknya, takut Bapak ingin segera meminum kopi, sebagaimana yang biasa Bapak dan Ibu lakukan selepas magrib. Bapak pasrah. Tetapi aku menangkap raut kecewa di wajah Bapak.
Bapak menghela napas panjang sebelum akhirnya menyentuh kopi yang kuseduh untuknya. Ia menghidunya, menikmati aroma sambil menatapku. Aku merasa bersalah. Kemudian ia menyeruput pelan dari dalam cangkir. Bapak langsung menarik lidahnya, dan berkecap-kecap. Ia meletakkan kopi itu dan menatapku.
"Mulai besok Bapak biar menyeduh kopi sendiri. Jika kau paksakan lagi mungkin aku tak akan meminumnya. Untuk malam ini tak apa. Biar aku habiskan!"
Aku hanya diam. Tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan.
"Aku tahu baktimu. Tetapi untuk kopi ini, biar Bapak menikmati sendiri."
Sejak saat itu aku tidak pernah menyeduhkan kopi untuk Bapak. Aku hanya berani mengamatinya dari dalam rumah sambil berpura-pura menonton televisi. Namun dari dalam aku selalu memperhatikan bagaimana Bapak menyeduh. Mengintipnya dari celah dinding bambu rumahku.
Bapak dengan amat perlahan memasukkan sendok pertama hingga ketiga dengan amat perlahan. Ada aroma yang disesapnya dalam setiap kopi sesendok yang ia tuangkan ke dalam cangkir. Ia begitu menikmati ritual itu. Kemudian membuka bungkus gula pasir yang hanya dimasukkan satu sendok. Dimasukkan teramat perlahan seperti menghitung butiran-butiran gula yang hendak dimasukkan. Terakhir air panas ia tuangkan.
Ia mengaduk kopinya dengan khidmat. Ia mengaduknya berlawanan dengan arah jarum jam sebanyak dua puluh satu putaran. Ada tangis sesenggukan dalam setiap putaran.
Kemudian ia akan duduk, kembali memandangi pohon mangga itu sambil menghirup aroma kopi yang diseduhnya sendiri. Meneguknya dengan amat perlahan, berkecap nikmat, tetapi tetap terpancar kesedihan yang mendalam dari sorot matanya.
"Le..." panggilnya pelan.
Aku tergeragap. Aku bergegas ke depan rumah dan segera duduk di samping Bapak.
"Aku tahu kau selalu memperhatikan Bapak. Bapak tahu kau merasa menjadi anak yang tidak berbakti karena gagal menyeduhkan kopi yang disukai Bapak. Tak usah risau akan hal itu, Nak. Beginilah cara ibumu menyeduh kopi. Tiga sendok kopi bubuk, satu sendok gula, dan dua puluh satu putaran yang berlawanan dengan arah jarum jam. Ada doa dalam setiap tumpahan sendok ke cangkir. Ada solawat yang ia lantunkan dalam setiap butir-butir gula yang juga dimasukkan. Dan dua puluh satu, angka ganjil yang disukai Tuhan dan malaikat. Kelipatan tujuh. Mengertilah, dan tak usah menyesal. Hanya dengan cara ini, Bapak melihat ibumu secara nyata di dalam pikiran. Melihatnya dengan senyum paling manis, senyum paling indah yang ada di dunia ini."
Senyumku terkembang tipis. Aku mendekat ke Bapak. Dan di malam itu, aku berbagi kopi dengan Bapak tanpa suara. Aku meminumnya seteguk demi seteguk, bergantian dengan Bapak. Suara televisi yang masih hidup menyela kami yang sama-sama diam menikmati kopi seteguk demi seteguk. Dan kami memandang pohon mangga yang tak pernah lagi berbuah sejak Ibu meninggalkan kami.
Ciputat, 6 Oktober 2020
Rumadi lahir di Pati 1990. Saat ini aktif di Forum Lingkar Pena cabang Ciputat dan komunitas Prosatujuh
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)