Jaring-Jaring

Cerita Pendek

Jaring-Jaring

Putri Brilliany - detikHot
Minggu, 25 Apr 2021 09:40 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Tatkala pesawat mendarat dan kakiku menginjak tanah, aku sudah tahu bahwa negeri ini akan terasa seperti ibu: manipulatif dan berhak. Maka aku tak terkejut melihat penduduk asli berlalu-lalang dengan jaring-jaring yang menempel di punggung-punggung mereka. Jaring lentur-likat layaknya jaring yang dipintal laba-laba raksasa dan menghubungkan manusia-manusia itu kepada satu --dan hanya satu-- penguasa di istana. Sedikit berulah, informasi akan dihantarkan serupa getaran dan dengan cepat diterima oleh para militer dan anjing-anjingnya. Keesokan pagi setelah itu, aku membayangkan akan ada kepala yang diledakkan di alun-alun ibu kota.

"Oke. Dari semua tempat di belahan bumi, kenapa Pyongyang?" cecar Tatya usai membalik semua tempe di penggorengan yang menerbitkan aroma gurih menggoda. Aku masih ingat perempuan itu melipat kedua tangannya tanda tak senang, dua minggu yang lalu.

"Ya... mau bagaimana lagi. Semua tahap pra-produksi sudah disetujui. Aku kan baru belajar jadi clapper man di proyek ini. Nggak ikut menentukan lokasi."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gadis itu membuang napas jengah. "Memangnya apa yang mau difilmkan dari negara yang punya presiden narsistik, ngasih makan egonya aja?" Tatya meniriskan tempe dan menyandingkannya dengan sup yang sudah terhidang lebih dulu di meja makan.

Cuaca cerah. Kami sarapan bersama. Ia uring-uringan. Dan aku mencintainya.

ADVERTISEMENT

"Justru itu serunya. Kesempatan langka bisa membuat film pendek di sana," jelasku, masih sembari diam-diam menggilai anak rambut yang luput dari kuncirnya. "Tim pasti sudah susah payah mengurus perizinan. Ya, meskipun akan ada banyak sekali pembatasan, tapi yang penting pengalamannya. Itu yang aku cari."

Tatya cemberut. Barangkali ada segumpal kekhawatiran di benaknya yang tak sepenuhnya kupahami. Meski demikian, aku tak bisa mengurungkan tekadku. Menjadi bagian dari industri perfilman adalah cita-cita yang sejak lama kupendam. Tiap kesempatan yang disodorkan adalah batu loncatan bagi perjalanan karierku ke depan. Ini adalah jalan yang kupilih, sekaligus cara melepaskan diri dari ekspektasi orangtua yang mengekangku untuk jadi seperti yang mereka mau. Aku menyebut ini passion. Mereka menyebutku durhaka.

Tapi sudahkah aku mengatakan bahwa negeri ini terasa seperti ibu? Ya. Tiada seorang pun yang memilih dilahirkan di tanah ini. Tahu-tahu saja, negara meminta balas budi atas dipenuhinya segala kebutuhan dan hak hidup, bahkan sebelum orang-orang yang lahir di sini sadar bahwa mereka sedang menghidupi hidupnya. Seorang gadis kecil yang menjadi salah satu pemeran dalam film pendek kami tiba-tiba menangis saat adegan makan malam bersama keluarganya. Dalam adegan itu, sebelumnya sang ayah menanyakan bagaimana perasaannya bergabung ke Children's Union-sebuah kamp pelatihan yang dibentuk Partai Pekerja untuk anak-anak berusia sembilan sampai lima belas tahun.

Gadis kecil itu menjawab bahwa ia senang sekali dengan semua tugas-tugas yang diberikan. Setelah itu, dua tetes air mata mengalir di pipinya. Seorang guide --dia juga yang menulis naskah dan mengatur semua adegan yang boleh diambil untuk pembuatan film kami-- bergegas meminta gadis kecil untuk menghentikan tangisnya. Pikirkan hal-hal yang menyenangkan, suruhnya. Namun gadis kecil itu tampaknya tak punya hal-hal yang menyenangkan untuk diingat. Sambil terisak, ia kemudian merapalkan sesuatu, yang kemudian kuketahui sebagai lagu wajib nasional tentang keagungan dan kemurah-hatian Sang Pemimpin.

"Kapan pulang?" adalah pertanyaan pertama Tatya di seberang telepon, usai perjuangan bersama kawan-kawan kru mencari cara agar bisa melakukan sambungan internasional.

"Lima-enam hari lagi," jawabku.

"Aku merindukanmu,"

"Aku juga."

Selain mahal dan susah dilakukan, kegiatan menelepon di sini juga sangat diawasi. Aku tak mungkin bercerita pada Tatya tentang proses pembuatan film, tentang gadis kecil yang menangis, tentang larangan-larangan dan indoktrinasi, tentang kewajiban merekam secara utuh patung pemimpin di Mansudae Grand Monument, serta tak lupa jaring lentur-likat pada punggung-punggung mereka yang dilahirkan di sini. Maka kami lebih sering bercerita tentang hal-hal lain di tiap kesempatan. Tentang mie dan kimchi yang enak, tapi tentu tak seenak sup dan tempe goreng buatannya. Tentang oleh-oleh, lalu tentang kapan aku pulang.

Tatya tak terlalu banyak bercerita tentang dirinya selama aku di sini. Hingga baru saja, ia mengungkapkan keinginannya untuk putus. Ia memberi jawaban samar-samar ketika aku menanyakan alasannya. Namun sebentuk prasangka seketika mencuat dari dalam kepala, berbalik menghantamku setelah sekian lama kutimbun dengan sesuatu bernama rasa takut: Tatya pada akhirnya pasti akan memilih laki-laki pekerja kantoran, dibanding laki-laki dengan pekerjaan tak pasti yang hanya sanggup menyewa tempat tinggal sempit bekas gudang toko. Ia akan memilih laki-laki lurus yang bisa ia tunggu kepulangannya setiap sore, dibanding laki-laki absurd yang terobsesi dengan dunianya sendiri. Begitulah kiranya jawaban samar-samar dari Tatya, yang kemudian menjadi begitu terang benderang.

"Maafkan aku. Apakah... ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki semua ini?" tanyaku, semacam meminta kesempatan kedua.

"Pulanglah," ucap Tatya lirih, "Ada posisi supervisor yang kosong di pabrik milik ayah. Temui orangtuaku. Kita bisa mulai hidup baru."

***

Tatkala pesawat mendarat dan kakiku menginjak tanah, aku sudah tahu bahwa negeri ini akan terasa seperti ibu: manipulatif dan berhak. Bukan aku yang meminta untuk dilahirkan. Tapi tahu-tahu saja aku diminta membalas budi atas kebutuhan yang memang kuperlukan untuk bisa hidup, bahkan sebelum aku sadar bahwa aku sedang menghidupi hidupku. Tentunya aku masih berupa orok tak berdaya, ketika ibu mulai memintal jaring-jaring lentur-likat dan melekatkannya ke punggungku. Sedikit berulah, aku tidak akan mendapatkan permen dan dipanggil 'anak nakal'. Tumbuh dewasa, aku belajar bahwa tidak menuruti ibu berarti aku tak berhak mendapat cintanya dan lebih pantas kekal di neraka.

Suatu hari, aku memutuskan untuk terlepas dari jaring-jaring ibu. Setelah itu, berakhirlah sudah hari-hari memukul dan meludahi diriku sendiri karena merasa telah menjadi anak tak berguna. Anak durhaka. Segala label dan umpatan-umpatan buruk yang terbentuk di kepalaku sendiri karena aku tak berhasil membahagiakannya seperti anak tetangga yang sukses bekerja di perusahaan bonafid. Kini jaring-jaring itu lepas, bebanku terempas. Kusadari bahwa mengabaikan letupan dan dorongan berkarya demi ibu yang melahirkanku hanya untuk memenuhi kekosongannya sendiri, bukanlah sesuatu yang terasa benar.

Dan negeri ini, lagi-lagi seperti mengingatkanku pada sisi gelap seorang ibu yang memberikan kasih bersyarat pada anak yang telah dilahirkannya. Sisi gelap yang kerap diromantisasi dalam lagu-lagu pengorbanan dan kutipan semacam "semua kulakukan demi kebaikanmu, anakku."

"Tapi kamu sendiri tahu, Tatya. Aku begitu mencintai pekerjaanku ini. Tawaran dari ayahmu sungguh baik, tapi aku tidak bisa melepaskan cita-citaku sebagai film-maker,"

"Kalau begitu kita akhiri saja," balasnya dingin.

"Setelah semua yang kita lalui?"

"Ya. Setelah semua yang kita lalui. Setelah aku yang satu-satunya berusaha mempertahankan hubungan ini. Setelah aku yang menyembunyikanmu dari ibumu saat kau kabur dari rumah, aku yang percaya pada cita-citamu, dan aku yang menyelamatkanmu setiap kali kau bahkan tak punya uang untuk makan-" Tatya terdengar menahan tangis. Tiba-tiba kurasakan ada jaring-jaring lentur-likat, kali ini menautkanku dengan gadis yang kucinta itu. Tiba-tiba aku merasa berutang budi. Tiba-tiba aku merasa kasih ini bersyarat.

Dan aku masih mencintainya.

Untuk pertama kali, aku ingin menyerah saja. Aku lelah. Barangkali kebebasan memang bukan sesuatu yang bisa aku kudapatkan sampai aku mati. Sebab sejauh apa pun aku pergi, aku akan selalu menanggung luka ini. Selalu terikat pada jaring-jaring. Dan Semesta akan selalu mempertemukanku dengan hal-hal yang mirip ibu, semisal negeri ini, juga Tatya kekasihku. Maka kubiarkan diriku menyerah, kali ini. Aku akan pulang. Aku akan menuruti keinginan Tatya karena aku tak punya siapa-siapa lagi.

Selagi aku luruh, melepaskan segala cita-cita serta jati diriku, terlihat di kejauhan anak-anak kecil berbaris rapi mengenakan seragam. Sayup-sayup menggaungkan lagu wajib nasional tentang keagungan dan kemurah-hatian Sang Pemimpin.

Februari, 2021

Putri Brilliany lahir di Kediri, 11 Agustus 1994. Berdomisili di Blitar, Jawa Timur dan aktif di komunitas Prosatujuh. Karyanya lolos kurasi dalam antologi Festival Literasi Tangerang Selatan (2019) dan Juara 3 Lomba Cipta Cerpen Bulan Bahasa dan Sastra Universitas Trunojoyo (2020)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads