Marda

Cerita Pendek

Marda

Baron Yudo Negoro - detikHot
Minggu, 07 Mar 2021 11:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Seperti kuda, Marda berlari melewati punggung penunggu garda depan sekolahnya; si sekuriti tua itu. Dilihatnya sekuriti itu nyaris kehabisan napas. Ia kepayahan menghadang murid-murid berlarian, yang seperti ternak dilecut oleh seorang tuan. Pagar depan sekolah selalu terbuka, Marda menembusnya paling pertama. Kemudian puluhan kaki murid lain menyusul di punggungnya.

"Semula, truk gemuk beroda enam melaju seperti siput, Nak," jawab pedagang soto, menanggapi pertanyaan Marda. Tak puas, Marda kembali bertanya kepada orang lain.

"Kelinci berwarna abu melompat-lompat ke arah truk dan si sopir tak tahu menahu kalau binatang lucu itu melompat ke arahnya. Selanjutnya pinggang kelinci itu tercerai berai seperti remukan rempeyek di sembarang jalan!" kata orang yang lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Orang-orang sesungguhnya telah mewanti-wanti, Nak," kata seorang ibu yang tiba-tiba ikut buka suara, "Namun kelinci itu abai dan nasib sial memang mustahil dielakkan. Ia mati, sudah!"

Marda menerobos kerumunan di depannya. Sekilas dilihatnya seorang lelaki menyandarkan motor lalu buru-buru meraih posisi paling depan; agar terlihat jelas siapa korban kecelakaan di siang bolong itu. Kini lelaki itu di sampingnya. Bersama mereka saksikan genangan darah dan puing-puing tubuh kelinci yang kini tak lucu lagi.

ADVERTISEMENT

Salah seorang kawannya tiba-tiba menghamburi jalan dengan isi perut yang masih setengah cerna. Hanya sekilas Marda melihatnya. Kemudian ia berjongkok, mengamati serpihan otak kelinci itu.

Matahari siang memanggang. Seperti barbeque, kulit Marda terpanggang. Tetapi ia tak peduli dan masih terus mengamati puing-puing kelinci itu. Sekian lamanya, hingga dirasa sebuah bayang-bayang muncul, bersamaan dengan terciumnya aroma parfum bunga bakung; wangi tempat pemakaman umum yang ia tahu benar itu milik siapa. Baru setelah itu ia tersadar kawan-kawannya telah lenyap, begitu pula lelaki di sampingnya, dan juga kerumunan tadi. Yang tersisa hanya dirinya dan Bu Darsih, yang kini telah berdiri di hadapannya.

Ia tak tahu kenapa Bu Darsih, Kepala Sekolah, dianggap hantu ΜΆ hanya saja tak melayang ΜΆ oleh kawan-kawannya. Mungkin karena aroma parfumnya, pikir Marda. Atau karena suara memedinya yang dapat membuat murid tertib tiba-tiba. Hanya mata Bu Darsih, satu-satunya yang masih muda. Tulang-tulangnya terlihat kering, dan tubuhnya tampak seperti tanah yang selesai dibajak.

"Apa yang kau lihat, Nak?"

"Seekor kelinci."

"Itu bukan kelinci, Nak. Maksudku, itu kelinci, sebelum akhirnya terlindas truk."

"Apa yang terjadi setelah ia mati, Bu?" tanya Marda tanpa ragu, kepada Bu Darsih.

"Ia ke surga, Nak."

"Ia di depanku, Bu, berantakan."

"Maksudku arwahnya, Nak."

"Arwah?"

***

Di bawah barisan pohon palem yang jangkung, Marda beriringan dengan Bu Darsih. Ia mengikutinya sejak dari jalan raya, menapaki jalan setapak dan tahu benar akan ke mana. Di utara, dilihatnya murid-murid lain bagaikan komplotan tentara semut; menempel di dinding dan jendela kelas seraya memandang ke arahnya.

Di sebuah ruangan, yang atapnya rendah dan luasnya hanya sejengkal, yang tak banyak benda di dalamnya: lemari, meja dan tiga bangku lipat saja, yang dindingnya berwarna abu dan terdapat tiga figura, yaitu burung garuda, Presiden dan Wakil Presiden Negara Indonesia, Marda terjebak dengan penguasa sekolahnya.

"Nama lengkapmu?" tanya Bu Darsih dengan serak.

"Marda Magdalena, Bu."

"Namamu mengingatkanku pada seorang pelacur."

"Apakah itu artinya baik, Bu?"

"Tentu saja baik bagi si pelacur itu sendiri."

"Apakah pernah di usia muda ibu menjadi pelacur?"

Jam tua di ruang lainnya berbunyi hingga 12 kali. Marda menatap Bu Darsih yang sedari tadi bicara dengan bola mata hampir keluar dari sangkarnya yang keriput. Dari mulai ke luar sekolah saat jam pelajaran, Kepala Sekolah melompat ke tema betapa repotnya guru-guru sekolah itu menghadapi serbuan pertanyaan Marda. Ia dituduh meresahkan. Karena pertanyaannya acapkali tak relevan dengan buku panduan mata pelajaran.

Marda teringat guru yang pernah marah sejadi-jadinya. "Aku gurumu, Marda bukan call center!"

Seusai sekolah Marda tak bertangan hampa; selembar surat dari Bu Darsih mesti diserahkan kepada orangtuanya yang hanya ibunya. Di sebuah bus di salah satu bangkunya, Marda terduduk; dari balik jendela ia memandang pohon ketapang berderet-deret seperti terlempar ke belakang. Bus menepi di halte Jalan Gajahmada, lalu melanjutkan lajunya melintasi alun-alun dan berbelok ke kanan melewati taman kota.

Siang itu, tepatnya pukul dua, taman kota sepi. Panas matahari melarang siapapun bertandang ke sana dan Marda memandangnya. Ia teringat masa kecilnya yang sering dihabiskan di taman kota bersama ayahnya ketika pagi atau menjelang senja.

Di taman itu, yang sekelilingnya ditumbuhi oleh batang-batang pohon turi, yang bangku-bangkunya berwarna hitam dan terbuat dari besi, yang ketika sore para pemuda berlalu lalang dan anak-anak kecil menerbangkan layangan dan seorang ibu mendorong kereta bayinya seraya bercengkerama dengan suaminya, ayahnya mengenalkannya pada suatu permainan.

"Mana yang kau pilih, Marda," ujar ayahnya, sambil bersandar di batang pohon turi, "Pohon atau rumput?"

"Pohon, Ayah!"

"Kenapa pohon?"

"Aku tak mengerti, Ayah!" balasnya setelah mengalami jeda.

"Kenapa Marda pilih pohon? Karena pohon...." Bak seorang perawat lansia cacat, lelaki itu menuntunnya agar mengerti arah permainan.

"Karena pohon baik!" balas Marda.

"Kenapa pohon baik, Marda? Karena pohon...."

"Karena pohon bisa untuk berteduh!"

Ia berusia lima saat itu dan ayahnya tersenyum dan Marda gembira dan mereka mengulang cara yang sama kepada dua hal lainnya. Semenjak itu mereka gemar saling melempar tanya tentang apapun yang terlintas di sekitarnya; kenapa memilih itu atau ini dan sertakan alasannya.

Dari taman kota ingatannya beralih ke suatu waktu ketika ayahnya mengajak memasang tenda di kaki Gunung Ungaran. Kemudian melompat ke lain waktu saat ayahnya mendongeng sejarah sambil menikmati Minggu di museum atau di situs-situs sejarah yang tak terlampau jauh dari kotanya. Matanya kini berlinang karena mengenang.

"Aku bukan hanya ayahmu, tetapi juga gurumu selamanya, Marda," ucap ayahnya suatu ketika. Kelak Marda menemukan lelaki itu ingkar.

Ibunya tak menganggap semua itu sebuah pendidikan, melainkan comberan yang dicipratkan oleh orang yang kurang waras kepada buah hatinya. Begitu pula kerabat-kerabatnya. Marda tak peduli. Sepanjang ingatannya, ayahnya sama tak pedulinya; hanya menganggap suara-suara yang muncul sebatas dengung. Dan dengung, kau tahu, seluruhnya hanyalah kepalsuan; tak terlalu penting untuk diperhatikan. Ucap ayahnya kepada Marda.

"Pendidikan di negeri ini seperti gabungan Quasimodo dan Frolo dalam novel Si Bungkuk dari Notre Dame," pesan ayahnya.

Setelah mengenal abjad dan akrab dengan kalimat, Marda melahap serakus-rakusnya puluhan novel, barisan syair dan menelan teks drama. Salah satunya novel karya Victor Hugo tersebut. Karenanya ia menganggukkan kepala kepada pesan ayahnya. Dan Marda tak pernah merasa kikuk saat Ema, tetangganya, atau Maria, sepupunya, acapkali menyinggung tugas sekolah. Marda tak punya itu. Ia memang tak bersekolah saat itu. Isi kepalanya dirawat oleh ayahnya yang mengajar ilmu filsafat di universitas ternama di Yogyakarta.

Keputusan ayahnya agar Marda tak bersekolah adalah jurang; membuat ibunya berteriak dan ayahnya membalasnya tak kalah lantang. Di antara mereka ada sebuah lubang lebar dan Marda merasa melayang-layang di atasnya. Suatu malam Marda meringkuk di kamar seraya mendengar teriakan-teriakan yang memecahkan malam, dan membangunkan para serangga yang tengah tidur di pekarangan rumahnya.

"Bila perkara uang, aku bisa mencarikannya beasiswa dari pastur gereja yang kukenal!" suara ibunya tersengal-sengal, "Jangan sampai karena ulahmu masa depan Marda babak belur!"

"Kau keliru!" balas ayahnya. Suaranya mencapai langit, "Justru Marda akan babak belur bila menuruti kemauanmu!"

"Pendidikanmu tak tentu arah!" Marda mengintip dari balik daun pintu kamarnya. Ibunya berdiri, dan telunjuknya menunjuk-nunjuk ke muka api ayahnya.
Ayahnya bangkit, lalu masuk ke ruang kerjanya. Marda sering ke ruang itu; ruang dengan satu meja yang dilekati debu-debu dan buku-buku dan berbatang-batang putung rokok yang tak pernah terbuang dari asbaknya.

"Ini rapor miliknya, jangan kau sangka aku tak pernah mengevaluasi Marda!" Sebuah buku tebal dan kumal terbanting di permukaan meja.

Ibunya terdiam seraya membolak-balik lembar-lembar kumal yang kini telah berada di tangannya.

"Bagimu ini rapor, bagiku dan mungkin bagi orang-orang lain, buku ini tak lebih dari sampah!"

"Kau tahu apa, aku yakin Marda lebih pintar dari pada anak-anak seusianya, kau bisa mengujinya!"

Di balik selimut, Marda terbenam. Mulutnya, yang terbiasa menelanjangi siapapun dengan tanya-tanya, kali ini bisu. Ia sekaligus membungkam telinganya; berupaya setuli-tulinya. Lalu ibunya memanggil dan Marda gelagapan seketika.

Tanpa aba-aba, perempuan itu menggencarkan pertanyaan dan Marda sebisa mungkin menjawabnya. Mulai dari Bahasa Indonesia, Marda menjelaskan struktur kalimat yang sempurna; mulai subjek dan predikat dan kalimat efektif, transformasi kalimat; jeda, aposisi, setara, disjungtif, lalu majas-majas dan peribahasa. Lalu menyebutkan sederet novel, kumpulan puisi dan teks drama yang terbaca melebihi target pemberian ayahnya. Dan berakhir dengan.....

"Ini, Bu," diserahkannya secarik potongan koran kepada ibunya, "Artikelku tentang taman kota dimuat di koran mingguan!"

Ayahnya melipat tangan dan berdiri di sudut ruang makan. Ibunya melirik.

"Ini pasti akal-akalanmu!"

Diremasnya potongan koran itu dan pertanyaan beralih ke tema Pendidikan Moral Pancasila. Seperti politisi, Marda menyesatkan ibunya dengan Ajaran Etika dari ayahnya. Kemudian ditutup dengan lima sila yang ia baca dari Museum Ronggowarsito, Semarang.

"Aku tak menemukan catatan Matematika di buku kumal yang kau sebut rapor ini, dan mana pembahasan Alkitab-nya!"

Ayahnya menggaruk-garuk kepala.

"Kalau Matematika kami langsung latihan di kertas, Bu. Ada beberapa soal yang masih aku simpan, barangkali ibu mau lihat. Kalau Alkitab...Alkitab itu apa, Ayah?"

Ayahnya kelimpungan.

"Ayahmu tak pernah mengizinkanku untuk membawamu ke gereja, bahkan Alkitab pun kau tak tahu!"

Buku itu, yang disebut Alkitab itu, adalah bara api, setidaknya saat itu, dan ayahnya seperti melempar bara itu ke dinding-dinding. Rumah seolah terbakar dan Marda yang hangus kembali memenjarakan diri ke dalam kamar.

Terdengar suara pintu terbanting. Ayahnya melesat ke Yogyakarta dan Marda tahu jadwal mengajar ayahnya masih lusa. Tiga jam setelahnya Marda menerima kabar. Mobil ayahnya beradu dengan bus malam dari arah berlawanan. Di sekitar Secang, Magelang, ayahnya merenggang nyawa lantaran mobil terbanting ke arah kiri, membentur pembatas jalan, terjun seperti kerikil terbuang ke jurang.

Semenjak itu Marda tak lagi mendaratkan kakinya ke taman kota. Ia berkandang di kamar, sibuk dengan buku-buku, irit tutur kata, tetapi sekalinya bicara, kalimatnya menikam.

***

Marda membuka pagar. Ibunya sedang memangkas ranting-ranting tanaman yang kini kering, dibantu seorang lelaki. Marda memanggilnya Om Peter. Ibunya meminta Marda agar memanggil lelaki itu dengan sebutan ayah. Marda tak melakukannya.

Tiga tahun sudah usia kepergian ayahnya. Marda, yang tak cuma kehilangan ayah, melainkan juga guru, harus menghadapi ayah baru dan guru-guru baru; ibunya mendaftarkan Marda ke Sekolah Kristen, dibantu oleh pastur gereja kenalannya. Ia kini di kelas lima, sesuai usianya, kendati merasa pelajarannya acapkali membuat Marda menguap.

Tiga tahun berlalu setelah ayahnya tak ada dan Marda telah berpindah dari sekolah ke sekolah hingga empat kali. Mulutnya sukar untuk berhenti bertanya dan kalimat-kalimatnya adalah pedang. Guru-guru tak gemar bermain pedang, karena itulah mereka marah dan itu adalah masalah bagi Marda. Dilihatnya ibunya membanting vas bunga setelah membaca surat dari Bu Darsih. Marda akan pindah sekolah untuk yang ke lima.

Baron Yudo Negoro lahir di Semarang, 14 Mei 1985; penikmat sastra, pembelajar otodidak, dan karyawan swasta

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads