Persekongkolan

Cerita Pendek

Persekongkolan

Marliana Kuswanti - detikHot
Minggu, 31 Jan 2021 11:34 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Jalanan sepi sekali. Bahkan di muka pasar tak kutemukan seorang pun. Ke mana perginya orang-orang?"

"Menonton mayat di rumah Kepala Desa."

"Mayat? Kau bercanda, Has?"

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keterlaluan bila soal mayat sampai dijadikan bahan candaan. Lidahku hampir saja tertelan mendengarnya. Seumur-umur hidup di desa ini, mayat untuk lekas-lekas dikuburkan diiringi sedu sedan. Bukan dijadikan tontonan. Seperti badut di pasar malam saja.

"Subuh tadi sekumpulan pemuda pencari ikan mengejutkan desa. Mereka menemukan mayat tersangkut akar pohon di tepi sungai. Semula hendak mereka biarkan saja mayat itu di sana sampai polisi datang. Namun hampir dua jam seorang petugas pun belum tiba.

ADVERTISEMENT

Rasanya tak elok juga membiarkan mayat itu terus pada posisinya. Sekalipun mata semua orang menjaganya agar tak sampai hanyut terbawa arus, rasanya seperti membiarkan orang yang hendak tenggelam menjerit-jerit minta tolong. Maka mayat itu diangkat, dibawa ke rumah Kepala Desa."

"Laki-laki atau perempuan?"

Hasnah mengangkat bahu sambil terus mengiris bawang. "Tak ada yang tahu. Mengangkat mayat yang kulitnya sudah lunak saja butuh nyali orang sekampung dijadikan satu, apalagi bila harus membuka pakaiannya. Baju dan rambutnya warna-warni. Wajahnya seperti dicat, putih sekali. Dia berdandan layaknya badut."

Badut! Sejak kapan aku bisa meramal kejadian?

***

Hasnah terus bertanya kenapa aku tak ikut menonton mayat di rumah Kepala Desa. Mungkin polisi sudah datang. Namun besar kemungkinan mayatnya masih di sana. Kalau polisi sudah membawanya, tentu iring-iringannya melewati rumah kami.

Saat aku balik bertanya untuk apa menonton tubuh yang tak lagi memiliki kehidupan, Hasnah bilang setidaknya untuk memastikan dia laki-laki atau perempuan. Ah, persetan dengan kelamin orang! Aku lebih suka menunggu masakan Hasnah matang sambil tiduran ketimbang berdesak-desakan dengan orang sekampung demi mayat yang...Ah, sudahlah!

***

Biasanya, aku mudah sekali tertidur. Apalagi setelah semalam suntuk berjaga. Pun tadi malam ada sedikit kekisruhan. Seseorang dengan sembrono membuang puntung rokok yang masih menyala ke tempat sampah persis di belakang pabrik.

Api sudah berkobar saat aku datang. Namun untungnya bisa segera dipadamkan sebelum menjalar ke dalam pabrik. Semua material di dalam pabrik sangat mudah terbakar. Kalau sampai api itu menghanguskan pabrik, tentu pekerjaanku menjadi taruhan.

Jadi, seharusnya sekarang aku tidur lebih cepat dan nyenyak daripada biasanya. Namun gara-gara cerita Hasnah soal mayat badut yang tersangkut akar pohon di tepi sungai, aku jadi sepenuhnya kehilangan kantuk. Lelah berguling-guling, akhirnya aku hanya telentang dengan mata membelalak menatap langit-langit kamar. Suara Hasnah menumis bumbu dan mengetuk-ngetuk wajan terdengar seperti lagu kematian.

***

Aku baru hendak mencabut duri dari gusi saat perkataan Hasnah menjadi nyata. Beberapa mobil melintas tak terlalu cepat di depan rumah kami, disusul suara orang-orang yang mengikutinya dengan naik motor atau berjalan kaki. Hasnah yang baru hendak duduk di kursi lain sampai meloncat. Tergesa-gesa dia membuka pintu.

"Sudah dibawa polisi?"

"Sudah!"

"Laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan, masih muda!"

"Ya ampun, malang sekali! Adakah yang mengenalinya?"

"Tak seorang pun! Kemungkinan bukan orang sekitar sini."

Badut perempuan. Suara Hasnah dan orang-orang melesakkan duri ikan lebih dalam ke gusiku.

***

Pertengkaran di kedai sudah biasa terjadi. Orang-orang terlalu mabuk untuk bisa berpikir jernih. Celakanya, makin buntu pikiran mereka, makin banyak minuman yang dipesan. Tak akan berhenti sebelum muntah-muntah dan tak sadarkan diri.

Aku belum semabuk itu. Tak pernah semabuk itu atau Hasnah tak akan membukakanku pintu. Jadi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat pertengkaran sengit terjadi di salah satu meja di sudut kedai.

Seorang lelaki berotot besar-besar berwajah kasar dan perempuan yang tampak seperti lidi ketika berdiri di sampingnya. Kukira, tulang-tulang perempuan itu telah bercerai-berai saat lelaki itu mengguncang-guncang tubuhnya. Dia mungkin mabuk. Namun kurasa belum terlalu mabuk untuk berbuat seburuk itu pada perempuan mana pun.

Laki-laki tidak boleh menakuti perempuan. Bahkan laki-laki pemabuk sekalipun. Apalagi jika perempuan itu tampak seperti lidi bila dibandingkan dengan dirimu. Bukan lawan yang sebanding. Ya, aku tahu. Aku juga bukan lelaki baik-baik.

Aku suka minuman sejak dahulu kala. Aku juga pernah ketagihan judi sebelum Hasnah berhasil memaksaku berhenti dengan mengatakan ia ingin memiliki anak. Anak butuh banyak gizi dan gizi yang cukup berarti uang yang banyak.

Jadi, aku berhenti berjudi karena terus dibayangi wajah balita yang membenciku setengah mati karena membuat botol minumnya kering dari susu. Aku juga sudah berusaha mengurangi kebiasaanku minum karena Hasnah bilang dia tak ingin aku terlalu mabuk saat suatu hari harus mengantarkannya ke rumah bidan.

Aku berusaha keras untuk menjadi seperti yang Hasnah inginkan. Akan tetapi aku masih merasa loyo jika sama sekali tak menenggak minuman dalam seminggu. Jadi sesekali aku masih mampir ke kedai. Untuk satu atau dua gelas minuman yang membuat darahku yang nyaris membeku terasa hangat dan mengalir kembali.

Aku sudah berusaha mengabaikan pertengkaran itu saat perempuan lidi terbanting keras ke meja. Tangan kiri laki-laki itu menekan leher kurusnya dan tangan kanannya menyambar botol minuman yang nyaris kosong. Naluriku sebagai laki-laki sontak tergugah. Botol sudah terangkat lebih tinggi dari kepala laki-laki besar itu saat aku berlari dan menabraknya sekuat tenaga.

Aku bisa merasakan keterkejutan lelaki itu. Dia cepat berusaha melawan, tetapi aku sudah menjatuhkannya ke sofa. Botol di tangannya pecah menghantam dinding. Aku tahu, kami menjadi tontotan pengunjung yang tak lagi cukup sadar akan apa yang sedang terjadi. Bahkan pemilik kedai pun tak pernah cukup peduli dengan keributan seperti ini. Pikirnya, nanti juga berhenti sendiri. Begitu yang biasa terjadi.

Laki-laki itu perkasa sekali. Aku harus mengerahkan seluruh kekuatanku untuk dapat menahannya tetap di sofa. Ia mengeluarkan sumpah serapah dan berusaha meludahi wajahku. Aku tahu ada yang menjerit-jerit di balik punggungku. Mungkin perempuan lidi itu. Mungkin juga bukan.

Yang pasti, aku tak akan bertahan lebih lama lagi dalam pergumulan ini jika tak segera menyudahinya. Tenaga laki-laki itu terlalu besar, sementara kedua tangan dan sebelah kakiku yang menahan tubuhnya mulai gemetar. Aku nyaris putus asa saat mata laki-laki itu tiba-tiba berkilat dan senyum tipis tersungging di wajahnya.

Aku baru sadar, tanga kanannya masih memegang leher botol yang pecah itu. Sisi-sisi tajamnya tampak makin mengerikan oleh pantulan cahaya lampu. Dan yang kutakutkan terjadi. Lelaki itu tiba-tiba mengayunkan tangan kanannya ke kepalaku. Dia bahkan memegangi lenganku dengan tangan kirinya agar aku tak sempat mengelak.

Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian sampai badanku menghantam dinding dan kaki-kaki kursi dengan sangat keras. Kupikir, aku sudah mati. Kupikir, kepalaku sudah dipenuhi darah. Namun ternyata aku masih hidup. Kepalaku baik-baik saja dan kusadari kedai mendadak sepi.

"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa! Gadis itu hanya terluka sedikit. Dia akan baik-baik saja. Nah, ayo anak-anak, sudahi keributan kalian. Bawa gadis ini ke dalam. Aku akan mengobati lukanya."

Saat aku menoleh, pemilik kedai yang tak lagi muda telah berdiri di dekat meja yang terguling. Lelaki berotot itu masih di sofa. Nyaris tak ada bedanya dengan saat aku masih berusaha menahannya. Hanya saja kali ini tangan kanannya telah terkulai di samping tubuhnya dengan telapak terbuka.

Seperti tak pernah terjadi apa-apa, dengan patuh lelaki itu membopong perempuan lidi, membawanya masuk ke bagian belakang kedai yang menjadi tempat tinggal pemiliknya. Seperti anak kecil, aku mengikutinya. Lalu perlahan-lahan kedai kembali hidup. Tawa, lelucon cabul, nyanyian, dan orang-orang kembali memesan minuman.

***

"Kau tidak jaga malam ini? Bukankah biasanya dua kali malam, dua kali siang, dan dua kali pagi?"

"Kepalaku sakit."

Ada tangan yang meraba-raba kaki, lengan, leher, dan dahiku.

"Tidak demam."

"Biarkan aku tidur."

Langkah kaki Hasnah menjauh saat untuk kesekian kalinya adegan terakhir malam mengerikan di kedai itu kembali berkelebat.

***

"Sial! Dia mati! Ini gara-gara kau ikut campur!"

Nyaris saja terjadi pergumulan kedua bila pemilik kedai tak kembali angkat bicara.

"Tenang, anak-anak, tenang! Dia hanya gundikmu, bukan? Tak akan ada yang merasa kehilangan jika kita sama-sama tutup mulut."

Tak kusangka, laki-laki berotot sebesar itu bisa juga tergagap-gagap, hampir menangis.

"Kita hanya harus memikirkan cara terbaik untuk membereskan kekacauan ini," ujar pemilik kedai lagi seraya berjalan ke sana kemari.

Lelaki berotot itu benar-benar sudah menitikkan air mata. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekuat mungkin.

"Kita harus menyembunyikan identitasnya. Kalau tidak bisa untuk selamanya, paling tidak sementara waktu. Ada sisa pesanan pakaian badut dan perlengkapannya di gudang. Aku akan mengambilnya. Yang lain, kalian yang membereskan. Kedaimu terlihat baru dicat. Kau pasti masih menyimpan sisa catnya kan?"

***

Sungguh tolol! Pasti lelaki berotot besar itu yang menghanyutkannya ke sungai! Sungai di bawah jembatan yang menghubungkan kedai dengan pabrik tempatku bekerja. Sungai itu mengalir sampai tak jauh dari rumahku. Begitukah caranya membalas dendam untuk kematian gundiknya?

Sekarang aku yang hampir menangis membayangkan Hasnah melahirkan bayi kami seorang diri. Bahkan seorang lelaki yang terlalu mabuk saat mengantarkannya ke bidan masih jauh lebih baik ketimbang lelaki yang berlari di sepanjang jembatan dengan buntalan kostum badut dalam bajunya tiga hari yang lalu.

"Bang! Bang! Bangun, Bang! Ada yang mencarimu!"

Terkutuk!

Marliana Kuswanti dua buku terbarunya berjudul Rumah Kayu Itu (Bhuana Sastra, 2019) dan Rembulan Pecah di Wajah Tante Lin (Bhuana Sastra, 2020)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads