Delfina Van Vliet

Cerita Pendek

Delfina Van Vliet

Darelle Widjaja - detikHot
Sabtu, 12 Des 2020 10:22 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Samalanga, Aceh, 1901

Sambil melindungi tas jinjing dari rintik hujan, kusibak pintu tenda peleton. Kujumpai wajah pucat kebiruan yang menjadi pangkal seonggok tubuh kurus-layu di atas dipan kayu berwarna gelap. Seorang pribumi berkulit sawo muda berpangkat kapten artileri di bawah pimpinan Komandan Van Heutz. Ia mendongak, membetulkan letak selimut.

Bau tak sedap menguar dari balik selimut, terutama ketika aku duduk tepat di sisinya. Luka di perutnya membusuk dan menjadi gangren. Infeksi dan daging yang mulai hitam membusuk menjalar ke seluruh torsonya. Kakinya pun butung separuh.

Ia didera demam tinggi dan mengerang kesakitan. Tak ada lagi yang bisa dokter lakukan selain memberinya laudanum dan memanggilkan almuseneer.

"Selamat sore, Kapten Agnibrata," sapaku tanpa tersenyum.

Kedua kelopak mata itu terlihat terangkat. "Dokter Plathart?" ia melempar suara serak.

"Plathart sedang di bangsal rumah sakit. Aku...." Aku melepas topi runcingku, mengibaskan rambut yang melekat di dahi dengan telapak supaya ia dapat melihat jelas wajahku. "Maurits, anak dari Ernst Van Vliet. Kita sudah pernah bertemu."

Kedua mata sayu itu langsung membelalak, wajahnya semakin kucam, seakan-akan ia baru saja melihat hantu. Bibirnya bergetar dan tampak komat-kamit dengan tidak jelas,

"Oh, godverdomme!" ia memaki perlahan dengan suara paraunya. "Engkau di sini, Nak... apakah kau datang pada diriku yang sekarat ini untuk menghukumku? Apakah kau ingin membunuhku?" ia menghela napas panjang, seakan-akan tak kuat berbicara.

"Ibuku...." sahutku dengan berat hati.

Ibuku yang begitu dicintai ayah dan seluruh masyarakat Batavia itu ditemukan tertembak oleh bedil Inggris, lalu terlindas roda kereta api. Dibunuh para pemburu atau atas kehendaknya sendiri, didera duka dan hati yang porak-poranda. Tubuhnya berdarah-darah, tetapi yang teraneh ialah ia tampak bukan seperti manusia, melainkan serigala betina berbulu seputih salju yang jelita. Pakaian yang dikenakan itu jelas-jelas pakaian ibuku, tetapi wujud yang mengenakan pakaian itu adalah seekor serigala buas.

"Delfina Van Vliet... semua tahu bagaimana ibuku tewas dengan tragis, dan berubah menjadi binatang buas pula. Apa yang kau tahu soal ini?" aku melanjutkan dengan sedikit rasa tak sabar.

Kapten Agnibrata merasakan keresahanku. Ia pun seketika tampak lungkrah.

"Ibumu... adalah wanita tercantik di Batavia," wajahnya menjadi murung penuh nostalgia mengharu. Ia kembali menghela napas panjang dan tampak mengalami sesak dada.

***

Lieve help! Sudah berapa lama ini? Hampir tiga puluh tahun yang lalu...waktu itu aku hanya perwira biasa yang ingin dipromosikan sebagai kapten. Perang Aceh baru meletus dan terjadi pertempuran sengit yang memperebutkan masjid raya di Kutaraja. Waktu itu aku, anak Bupati Tangerang yang menjadi perwira atas sepeser gulden dari pihak Belanda, memutuskan untuk membela Gubernur Jenderal dan Komandan KΓΆhler seperti yang ayahku dan ayahnya sebelumnya lakukan. Tahun 1873, ayahku diundang oleh Gubernur Jenderal ke Istana Rijswijk di Batavia untuk menghadiri sebuah pesta. Tubuh dan jiwaku milik Gubernur Jenderal, tetapi aku tidak pernah suka dengan pesta orang-orang kulit putih. Bagiku pesta rakyat lebih berkesan.

Di antara senyum-senyum biadab dan tepuk tangan yang memekakkan telinga, serbak kepulan asap tembakau serta wangi berahi rusa jantan, bunga delima, mawar serta lili segar yang direndam dalam jamban keramik bermotif Cina, redup lililn-lilin yang meleleh di kandil-kandil dan lampu gantung, orang-orang menaruh pandang pada seorang wanita dalam kerumunan para perwira.

Wanita itu (sungguh aku tidak kuasa menahan kebutaanku!) dengan kulit pucat bak kapur tulis, ramping dan bertubuh indah dengan lekukan yang dibungkus rok berkerangka tulang ikan paus. Gaun itu berat karena berlapis-lapis flanel kelabu dan lapisan terluarnya berenda-renda. Rambutnya yang berwarna gelap mahoni, seperti kebanyakan mode wanita priyai eksotis lainnya, dibelah tengah dengan sanggul tinggi di belakang kepala dan sejumput rambut di kedua sisi belahan dibuat berpilin seperti kotrek, dibiarkan jatuh menjuntai di atas bahu.

Wajahnya luar biasa jelita --alis berwarna kopi itu padat menghias atas kelopak matanya dengan sempurna, dengan sepasang mata azur yang menyihir dan tampak memandang dalam sanubari setiap orang. Mata bak bulir batu delima itu juga menyimpan hasrat membara... yang siap membakar Hindia dengan kobaran api yang berkayu bakar mitos dan khayalan Slavia yang punah, atau romansa-romansa beratasnamakan Lada yang lekas padam. Entahlah, bulu kudukku merinding memandang mata penuh gaib dan magis yang tak kupahami itu.

"Sifatnya tampak merusak karena keindahannya yang misterius, yang menyimpan banyak lara, kebencian, kesedihan mendalam, ideologi dan mistisisme yang menghunus dan melumpuhkan serta euforia yang merasa tidak membutuhkan surga lagi itu. Wanita itu adalah Madame Delfina Van Vliet dari Podolia, Polandia, yang mencari suaka ke Belanda dari terungku pernikahan sebelumnya yang tak bahagia.

Ia istri seorang pengusaha dan pemilik saham perusahaan dagang Hindia Timur dari Lijden, Ernst Van Vliet. Ada desas-desus pula bahwa ia setengah serigala, dan menjadi serigala ketika malam hari tidak hanya ketika bulan purnama. Ia juga seorang penyair ulung dan beberapa kali menyebut di dalam dirinya tersemat serigala betina.

Wanita itu langsung memandangku, aku pun tak melepaskan pandanganku padanya sepanjang malam. Saat itulah aku tahu bahwa aku telah jatuh hati, dan hati itu dirampas oleh pandangan magis mata dari Podolia itu.

"Tuan, mari kita berdansa," tawarnya ramah. Aku pun langsung merentangkan tangan. Kami berdansa tiada henti malam itu. Semua mata terpaku pada jelitanya Madame Van Vliet yang terlalu lama berdansa dengan seorang perwira pribumi. Semua mulai mencibir dan berbisik-bisik, sebab Ernst Van Vliet berada di sana dan merangkul tangan putra tunggalnya yang masih berusia enam tahun, Maurits, dirimu.

Kami tak peduli pada dunia, seakan dunia hanya milik kami berdua. Biarpun lindu menerjang dan istana ini runtuh, kami akan tetap berdansa.

Malamnya, Delfina pulang seorang diri menaiki andong mewah milik Van Vliet. Van Vliet menyuruh sang sais untuk menjemput istrinya yang tak kunjung selesai berdansa. Aku pun mengejar andong itu, membuka pintu dengan paksa dan menemukan Delfina yang terkantuk-kantuk. Wajahnya menjadi pucat pasi, terkejut melihat sosok lelaki yang sedang kasmaran ini.

"Aku takkan bisa melupakanmu, dan aku akan pergi ke mana pun engkau pergi. Apakah kau mencintaiku?"

"Kau sudah gila!" seru Delfina resah. Ia menoleh-noleh sekitar untuk memastikan orang yang berduyun-duyun keluar dari istana tak ada yang melihatnya.

"Ah, Delfina, berjanjilah padaku untuk memberikan jawaban perihal ini. Karena jika kau memilih untuk merdeka, maka berarti kau mencintaiku."

Wanita itu termenung. Ia memikirkan konsekuensi mengerikan yang akan menghadang jika ia mengucapkan satu kata yang begitu didambakan: kemerdekaan dari suaminya yang menuntut dan tak pernah di rumah. Ia seketika melupakan anaknya yang ia cintai sepenuh hati, tetapi ia tahu bahwa keterikatan pada anaknya adalah tugas pada suaminya, pada rumah tangga yang sunyi dan menjemukan.

"Ya, aku ingin merdeka..."

Apa yang terjadi selanjutnya sudah diketahui seluruh masyarakat. Wanita itu kerap mengunjungi apartemenku di dekat De Harmonie, di mana orang-orang dari Sosietiet mencuri-curi pandang dan menguping pula tentang hubungan kami, lalu menyalurkannya ke masyarakat luas. Tentunya Van Vliet geram akan hal ini, meminta cerai pada Delfina dan mengancam untuk mengklaim hak asuh atas Maurits.

Hubungan kami semakin intens seiring berjalannya waktu. Delfina pantang menyerah pada suaminya dan tetap mengunjungi apartemenku itu. Ia bahkan sudah melupakan eksistensi anaknya sendiri.

Van Vliet lalu mengajukan perebutan hak asuh ini ke pengadilan yang berlangsung selama empat bulan lamanya. Semuanya ditelaah, mulai dari mainan yang kerap dibelikan oleh Delfina pada Maurits, memberinya tutor, mengajaknya berjalan di taman, semua dilakukan sang ibu sebab Van Vliet sendiri jarang berada di rumah. Anak itu juga begitu dekat dan karib dengan ibunya, ia tak betah tinggal di apartemen sewaan ayahnya yang kerap meninggalkannya seorang diri. Ia akan menangis di malam hari dan merengek ingin dikembalikan ke dekapan ibunya.

Seorang pengacara dari pihak Ernst Van Vliet bertanya pada sang ibu, "Siapa yang lebih kau cintai saat ini? Anakmu atau Kapten Agnibrata? Kau hanya bisa memilih salah satu, tidak keduanya. Jika kau memilih anakmu, Kapten Agni harus diasingkan ke Aceh atas permintaan sang penuntut dan kehidupanmu kembali seperti sediakala. Jika kau memilih sang kapten, kau akan terombang-ambing dalam ketidakpastian hidup: semua akan mencemoohkanmu. Sang kapten akan dicabut atau diturunkan dari jabatannya. Kau akan mencemari nama suamimu dan kau sendiri. Kau tidak akan bisa melihat anakmu tumbuh besar. Mengertikah engkau? Kemerdekaanmu ini hanya akan mencekikmu, tak pantas pula kau sebut sebagai kebahagiaanmu. Kemerdekaan berarti merana, tercekik oleh kebebasan."

Wanita itu menatap sang pengacara dengan nanar, lalu berucap dengan tegas, "Aku memilih untuk merdeka. Aku mencintai Agni!"

Semua orang bersorak-sorai mengoloknya. Hakim langsung memutuskan bahwa hak asuh diberikan kepada sang ayah, dengan kelonggaran bahwa sang anak bisa bertemu ibunya sekali sebulan, hingga usianya delapan belas tahun. Tetapi bulan-bulan berikutnya, sang anak berhenti menemui ibunya. Semua kalangan masyarakat, mulai dari Menteng, Koningsplein, hingga Weltevreden mencibir kedua pasangan itu. Menurut mereka ia wanita buas nan kejam yang tega menelantarkan anaknya demi seorang perwira pribumi.

Ibumu, Nak, dalam lubuk hatinya yang terdalam begitu mencintaimu, dan ini yang membuatnya tersiksa. Emosi dan keadaan jiwanya semakin tidak menentu selama ia tinggal bersamaku. Orang-orang mencibir dan merendahkannya di jalan dan gedung-gedung. Ia tampak dikucilkan dari masyarakat.

Suatu malam bulan purnama, aku tak menemukan ibumu. Aku hanya mendengar suara lolongan serigala yang terdengar sendu sekaligus ganas di ujung jalan. Lalu aku melihat sekelompok petugas keamanan mengejar seekor serigala yang mengenakan baju tidur persis seperti yang ibumu kenakan malam itu. Mereka mengejar serigala putih betina itu hingga ke stasiun yang masih ramai oleh lalu lalang kereta.

Serigala itu kebingungan, dan seorang perwira meletuskan bedilnya ke kaki serigala. Peluru itu tertancap di perutnya, lalu ia jatuh terpelanting ke rel kereta api. Kereta uap pun melintas, melindas tubuh indah berbulu seputih salju itu. Orang-orang mengerumuni bangkai serigala yang berpakaian seperti manusia. Berita itu tersebar keesokan paginya ke seluruh Batavia, dan aku menemukan secarik surat di atas meja malam itu:

Di dalam diriku, atau setiap perempuan cerdas yang memberontak, bersemayam seekor serigala betina yang selalu ingin merdeka dari kungkungan tubuh duniawinya.

***

Aku terdiam memikirkan kisah itu dengan mata berkaca-kaca. Di sinilah ia sekarang: Kapten Agni, manusia yang tak sengaja membunuh ibuku yang menjelma menjadi serigala betina, kini sekarat dan lesu di hadapanku.

"Oh, ibumu itu... betapa aku mencintainya, dan aku membunuhnya! Tuhan, ampunilah diriku...Maurits, itukah namamu, malaikat maut?"

Ia lalu tak sadarkan diri setelah menyelesaikan ceritanya. Aku mengecek nadi dan hidungnya. Tak ada napas. Nadinya berhenti. Ia sudah tiada.
Seekor serigala berbulu putih melintas di depan tenda, menjulurkan lidahnya seperti anjing, menatapku dengan dalam. Beberapa detik ia terhenti di hadapanku yang kini juga menatapnya. Aku kenal mata itu. Mata bulir delima azur itu. Lalu seorang perwira mengusirnya dan menodongnya dengan bedil. Serigala itu terperanjat dan berlari kencang menjauhi kamp tentara.

Surabaya, 24 November 2020

Keterangan:

almuseneer: pendeta tentara

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads