"Dilihat dari segi mana pun," kata bapak, "Ada hal-hal yang memang tidak bisa diperbaiki dalam hidup. Seperti benda ini."
Itu adalah radio tua merek Sanyo yang baru saja dibanting oleh ibu ke lantai sampai hancur berantakan. Ibu habis kesabaran setelah sepanjang hari mendengar pertengkaran kakak-kakak saya tentang siapa yang berhak memutar kasetnya di sana.
Kakak yang sulung, mahasiswa semester akhir yang baru saja pulang dari kota Palu, dengan rambut gondrong sepinggang dan membawa satu ransel penuh kaset pita dengan lagu-lagu balada dan metal. Kakak yang kelima, perempuan aktif di sekolah menengah pertama, mengoleksi musik-musik pop Britney Spears dan sedang mempersiapkan diri ikut festival modern dance di sekolahnya. Keduanya membenci selera musik satu sama lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu itu tahun 1998. Ada sembilan orang di rumah yang mendengarkan radio secara bergantian. Di lingkungan kami, bisa dibilang hanya rumah kami sajalah yang belum memiliki televisi. Dan, ibu akan selalu berdiri mewakili bapak untuk menghadapi ketidakpuasan anak-anaknya. Dia bilang tak ada uang lagi untuk sebuah televisi, bahwa bapak kami hanya seorang pegawai rendahan di Dinas Pertanahan yang harus memberi makan tujuh mulut anak-anak yang terlalu banyak meminta.
Keluarga kami tinggal di kota kecamatan kecil yang tidak begitu dikenal, tapi lingkungannya bisa dibilang sangat cocok untuk keluarga ekonomi biasa dengan satu sepeda motor Honda Astrea tua pemberian kantor dan satu-satunya radio untuk hiburan.
Keluarga kami tidak kaya, tapi bapak dihormati warga sekitar karena pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Bapak berjuang untuk memastikan kami semua tumbuh pintar. Dia mengoleksi banyak buku, membawa pulang kliping koran dari kantornya, dan mengandalkan radio itu untuk memperbaharui informasi. Karenanya, kami bisa tahu banyak hal tentang apa yang terjadi di luar sana, terkhusus peristiwa pada hari-hari belakangan.
Pagi hari bapak akan duduk di meja kecil dekat jendela, menyetel radio dan mendengarkan dengan saksama siaran RRI bersama ibu. Kadang kudengar dia menggumamkan sesuatu, yang membuat air muka ibuku berubah menjadi aneh, seperti mencemaskan hal-hal yang buruk akan segera terjadi.
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mendapatkan gambaran samar apa yang sedang terjadi. Di sekolah dasar, anak-anak mulai terbiasa mengucapkan kata krismon. Guru-guru kami juga sering mengeluhkan harga-harga bahan pokok yang naik meroket. Puncaknya pada suatu malam bapak menulis surat sepanjang delapan setengah halaman untuk kakakku yang sulung di perantauan, memintanya untuk pulang segera karena negara sedang krisis dan ibuku tak ingin pelajar sebatang kara sepertinya dalam masalah.
Beberapa hari setelah kepulangan kakakku, Presiden Soeharto dipaksa turun dari jabatannya oleh demo mahasiswa.
Kadang saya bertanya-tanya, ke mana waktu membawa pergi semua sifat keras hati dan tanpa kompromi ibu saat ini. Di masa lalu ibu selalu menyelesaikan masalah dengan menghilangkan sumber masalahnya. Jika anak-anaknya memperebutkan papan catur, dia akan menghancurkannya, membelahnya menjadi dua dengan parang. Jika kami saling cemburu satu sama lain terkait uang jajan yang tak adil ibu akan sekalian menarik semua uang itu dan melepas kami ke sekolah tanpa uang sepeser pun. Tak ada sedikit pun sikap moderat dalam dirinya.
Sementara bapak adalah sosok yang sama sekali berbeda. Dia lebih pendiam dan suka mendengarkan. Bapak memang tak selalu punya solusi untuk setiap masalah rumah tangganya, tapi kami lebih senang mengadukan banyak hal kepadanya. Jika dia tak mampu mewujudkan keinginan anak-anaknya, bapak tak akan berkata apa-apa atau memerahi kami.
Tapi kami tahu, di balik diamnya itu terselip pesan seperti ingin bilang, bersabarlah, bapak sedang mengusahakan sesuatu, atau, tunggu beberapa minggu lagi.
Tetapi ketika siang itu bapak mendengar keributan di ruang depan, dia segera muncul dari kamar dengan bertelanjang dada dan sarung selutut. Bapak memeluk kakak saya, Maya yang menangis tersedu-sedu, menyadari radio yang digunakannya latihan menari tak lagi berfungsi. Sementara ibu telah menghilang ke belakang dengan martil di tangannya tanpa mau mendengarkan apa dan mengapa, bapak berjongkok diam dan mengamati sisa-sisa radio itu.
Beberapa tombolnya hancur, penutup kasetnya tak bisa mengatup lagi, sambungan kabel terlepas, sepasang baterainya dilempar ibu ke halaman. Tak ada harapan sama sekali.
Kami menghabiskan malam-malam setelahnya dengan berkumpul di ruang tengah mendengarkan bunyi jangkrik dan gonggongan anjing liar belakang rumah. Tanpa bunyi radio itu, rasa-rasanya sesuatu dalam keluarga kami telah dibawa pergi. Seperti seorang kerabat dekat yang meninggal dunia, menciptakan kesedihan dan suasana murung.
Ketiadaan radio di atas meja membuat kami tersadar bahwa benda itu tak kalah pentingnya dengan perabotan lain di rumah ini. Rumah kami terlihat asing dan aneh, letak perabot seperti tak beraturan, janggal, dan salah gaya.
Faktanya, keberadaan radio itu beserta kaset-kaset yang keluar-masuk meninggalkan kenangan yang dalam dan membentuk selera musik kami sekeluarga. Meski usia saya waktu itu baru sembilan tahun, tapi saya sudah bisa menyanyikan beberapa lirik dari lagu-lagu balada GNR, Metallica, Firehouse, White Lion, Westlife, Dewa 19, God Bless, atau Spice Girls.
Saya juga tak akan lupa dengung panjang radio FM yang ditinggalkan tengah malam, tanpa siaran apa-apa lagi, atau antenanya yang bisa dipanjangkan hingga satu meter. Bahkan bertahun-tahun setelahnya, setelah bapak meninggal dan kami sudah bisa mengupayakan membeli TV dengan uang pensiunnya, kehadiran benda penghibur baru itu sama sekali tak bisa menggantikan peran historis dari sebuah radio yang tampak gagah (jika kau memiringkan antenanya sekitar 25 derajat, dia akan memperlihatkan gestur hormat ala serdadu) menyambut kami di bawah jendela setiap pagi dengan suara khas penyiar lelaki dari stasiun RRI.
Seseorang pernah bilang, TV menyajikan sebuah gambar pada setiap orang, tetapi radio melahirkan sejuta gambar di dalam sejuta otak.
Sepanjang usianya radio itu telah menjadi identitas bapak sendiri. Bapak mendapatkan pengetahuan dari radio dan dia meneruskan pengetahuan itu kepada kami. Jadi bisa dibilang ada satu benang tak kasat mata yang saling menghubungkan kami anak-anaknya, almarhum bapak, dan radio itu. Dan, semuanya tersimpan rapi dalam laci kenangan di kepala tiap orang.
Anggapan ini tidak berlebihan. Saya ingat ketika memutuskan untuk menyudahi hubungan dengan perempuan yang telah lama saya pacari di kampus, kenangan akan sore ketika radio itu hancur muncul kembali di kepala saya. Saya tak mengerti bagaimana itu semua bermula, tapi saya yakin betapa sesuatu seperti sedang menggerakkan lidah saya, suatu daya misterius yang memaksa saya untuk berkata di hadapan tangis pacar saya yang merengek meminta penjelasan.
"Dilihat dari segi mana pun," kata saya seolah meniru bapak, "Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki dalam hidup ini. Seperti halnya hubungan kita."
Jujur saja, tak ada yang salah dalam hubungan kami waktu itu. Saya dan gadis itu melewati tahun-tahun yang menyenangkan. Memang ada sedikit drama, tapi tak sampai membuat hubungan kami dalam bahaya. Saya bahkan telah sampai kepada pikiran bahwa semuanya akan berjalan lurus-lurus saja, damai, sampai suatu hari di masa depan kami memutuskan untuk melanjutkannya ke tahap yang lebih serius.
Namun, hari itu jiwa saya seperti radio bapak yang dihantam martil hingga hancur. Tak ada cekcok, cemburu atau alasan-alasan yang layak untuk putus. Hanya sebuah perasaan akan sesuatu yang tak terhindarkan. Semacam pendar batin dalam diri yang mengatakan kepada saya bahwa untuk alasan-alasan yang tak terjelaskan, cepat atau lambat ini semua akan berakhir dan tak ada sesuatu pun yang bisa mencegahnya. Maka, di bawah tekanan batin seperti itulah saya meninggalkan kekasih saya.
Saya pulang ke kamar kos, menutup pintu dengan murung, lalu memutar playlist dengan kata kunci "Best Balad 90's" di Youtube sepanjang malam. Lagu-lagu yang selalu diputar di radio bapak dan mengingatkan saya akan kehangatan rumah.
Belakangan, setelah saya pikir-pikir, apa yang saya katakan waktu itu bisa jadi merupakan sebuah kebijaksanaan sederhana yang diwariskan bapak kepada saya. Saya tahu, beberapa di antara kalian bakal menganggap ini sebagai bualan atau pembelaan atas kelemahan hati. Kalian akan bilang memang ada hal-hal yang tak terhindarkan dalam hidup saya, tapi bukan berarti kau tak bisa memperbaikinya. Seperti halnya radio masa kecil kami. Bapak punya pilihan untuk membawanya ke tukang servis atau menggantinya sama sekali dengan yang baru.
Tetapi, jika kau mencoba menyelami situasi yang ada, pada semua sisi; krisis moneter di tingkat nasional, kekurangan uang, pikiran tentang hari esok, pertimbangan ini-itu yang melahirkan tekanan psikis pada akhirnya akan berakhir pada suatu perasaan tak terhindarkan. Sesuatu yang dilihat dari segi mana pun, semuanya tak lagi sama dan tak ada yang perlu diperbaiki lagi.
Nuzul Mboma lahir di Makassar, aktif di Komunitas Sastra Alauddin 2D
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)