Aku menuruti kehendaknya. Kulihat di studionya ada beberapa lukisan baru yang masih bau cat. Aku memang menyukai gaya lukisannya. Entah aliran apa yang dianutnya. Tetapi dia memuji dan mengagumi pelukis-pelukis aliran ekspresionis seperti Vincent Van Gogh. Aku kira itulah aliran yang banyak mempengaruhi lukisannya.
Tapi aku juga melihat gaya lain, entah apa itu, dia sangat menekankan warna hitam dalam lukisannya. Sebaliknya unsur perspektif kurang diperhatikan. Entahlah aku awam dalam seni lukis. Walau demikian, soal keindahan masih bisa kuhayati. Apa yang ingin dia sampaikan lewat karya itu masih bisa kumengerti.
"Aku sedang mempersiapkan diri untuk mengadakan pameran tunggal," katanya. Aku tak berkata apa-apa. Perhatianku masih tertuju pada lanskap di luar studio. Pada senja di ujung dermaga. Seolah menunjukkan sisi tersembunyi di balik keindahannya.
Sebuah potret Marilyn Monroe dipampang di ujung dermaga. Di atas potret itu, burung-burung laut bertengger. Aku pikir aku mengerti mengapa burung-burung laut itu tak mau beranjak dari sana. Aku tak yakin di ujung dermaga dia menitipkan letihnya, mencari inspirasi lukisannya, sebab beberapa lukisannya tak ada senja di dalamnya.
Yang tampak hanya bar, meja logam, lorong-lorong hitam yang ditinggal pergi mentari. Baginya kota tidak berwarna putih, jembatan-jembatan yang menyilang kanal, dan pasar ikan sepanjang tepian. Semua menjadi hitam dengan peta yang tak jelas arah mata penjurunya.
Begitulah, akhirnya aku bertemu dengannya lagi. Kami tak pernah membicarakan cinta. Tidak pernah melakukan sesuatu yang ada kaitannya dengan kemesraan. Kami hanya bagai dua orang sahabat yang saling punya pengertian.
Masih sama seperti dulu, walau lebih dari delapan tahun lamanya aku tak pernah melihatnya lagi. Matanya bercahaya waktu mengulurkan tangannya kepadaku, "Apa kabar?" ucapnya menyapa. Wajahnya menunduk. Kutajamkan mataku menamati wajahnya. Ah, ya, masih kukenal wajah itu. Wajah yang pernah melintas di kehidupan masa laluku.
Setiap sore kusempatkan diri mengunjunginya. Melihat persiapannya mengadakan pameran tunggal. Ada lima lukisan yang baru disiapkannya --masih jauh untuk menggelar pameran tunggal. Setidaknya, menurutnya, masih butuh lima belas lukisan lagi.
"Sudah tiga bulan aku menyiapkannya," katanya.
"Jadi kamu sudah di sini sejak tiga bulan yang lalu?"
Dia mengangguk.
"Kok aku bisa tidak tahu ya, aku melewati rumah ini tiap hari."
"Aku jarang keluar," jawabnya. "Dunia luar seperti sesuatu yang asing bagiku," imbuhnya.
Dia tersenyum. Dia menatapku. Seperti ada sesuatu rencana yang harus dia penuhi. Esok dia akan meninggalkan kota ini. Dan tiga hari lagi akan kembali. Aku melihat keluar studio melalui jendela. Senja itu masih menerangi potret Marilyn Monroe. Aku pun mendengar gerimis tipis pada atap. Langit seperti terbelah; cerah di sana, mengandung hujan di sini.
"Hanya tiga hari," dia berkata. Dia telah datang ke dermaga ini seolah tempat ini miliknya, dan kemudian pergi seolah dia meninggalkan rumahnya sendiri.
***
Pada hari berikutnya, beberapa waktu aku suka berkhayal, berharap supaya dia mengajariku untuk menceritakan keindahan melalui lukisan. Sayangnya aku kurang bisa fokus. Itulah kelemahanku. Katanya, melukis itu tentang konsistensi. Karena harus merunut keindahan satu demi satu dalam satu adegan lukisan. Dan dibutuhkan pikiran yang fokus untuk mencapai itu. Jika tidak, penikmat lukisan akan sulit menterjemahkan pesan lukisan tersebut. Semrawut sana-sini, acak-adut dalam warna, perspektif, dan penghayatan.
Aku melihatnya pergi di perahu kecil dengan sebotol air tawar dan sebungkus rokok, dan menyerahkan nasibnya pada laut bebas. Pada tengah malam, saat hujan sedang derasnya, aku seperti kehilangan nafsu untuk tidur. Aku seperti dipenuhi rasa waspada. Figur yang tadinya samar-samar seperti terangkai lebih riil; kumis tipisnya yang berkilau, gigi putih rapi dan senyumnya yang khas, dan setelan empat kancingnya yang abadi yang selalu dikenakannya setiap hari. Seperti sedikit sekali setelan di lemarinya. "Ini setelan kerjaku, dan kau menemuiku di jam kerja," katanya.
Aku mengingatnya. Aku berkhayal tentang dirinya cukup lama sampai suatu senja lain tanpa sengaja aku melihat ke laut dan tiba-tiba, ya Tuhan, di sana. Kulihat dia seperti melambai dan berteriak. Dia kembali, tentu saja. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku bertanya pada diri sendiri, tertegun. Dia tak memperhatikan karena berikutnya aku mendengar teriakannya lebih keras.
"Aku sudah kalahkan ombak besar hari ini!" Dia tertawa, tentu saja. Seperti tertawanya seorang lelaki tua yang membodohi rekan kerjanya. Puas sekali. Dan hal itu terjadi karena baru pertama kali dia mengemudi perahu kecil dengan ombak yang besar. Lebih tinggi daripada tinggi badannya, menerjang badan perahunya sehingga dia sempat tak percaya dengan berita prediksi cuaca karena tak pernah akurat memberitakan ombak besar. "Aku sudah kalahkan ombak besar hari ini."
Aku tahu waktu itu Sabtu, dan aku ingat koktail yang dibuatnya berwarna biru, persis seperti laut yang dalam. Dan dia di ujung dermaga, di sampingku, berkata bahwa imajinasinya sedang buntu. "Bukan sedang buntu, kurasa," kataku. "Kau butuh udara segar. Berjam-jam menghirup cat membuatmu berhenti hidup, lunglai, terbius aroma jahat."
"Tapi tetap kehidupan," dia menjawab. Dia selalu merasa bisa menjawab. Dia menyukai proses melukis dengan aroma cat yang dipadu bau ornamen tua. Tapi pada tiap malam, dia ingin melupakannya. Dia tak menyukai melankoli. Untuk itu, dia menghabiskan malam pada bar juga bir yang dingin.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gelap menelan waktu seperti pantai dengan batu karang yang dihantam ombak malam, ketika orang-orang menemukannya tertidur di pantai karang yang agak jauh dari studio kecilnya. Orang-orang mengira dia mati lalu terbawa ombak malam ke pantai ini, tapi kemudian rupanya mereka salah mengira karena botol-botol berserakan ditemukan tak jauh dari tempatnya.
Lalu saat dia siuman, dia mulai mengingat hari-hari ketika pertama kali menginjakkan kaki di dermaga ini. Selama berhari-hari duduk di bibir pantai, tak bergerak, memegang makanan tanpa selera. Merasa kematian tumbuh dari dalam kedua kakinya sampai seorang perempuan datang dengan membawa minuman untuknya. Keajaiban Tuhan seperti menariknya dari rasa sakit. Dia pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan. Perempuan itu membantunya berjalan ke rumah.
Kadang-kadang aku berpikir, mengapa ibu membawanya ke rumah, bukan ke dokter. Kata ibuku, rasa sakit dan kepedihan akan lenyap ketika pulang ke rumah. Ayahku kelihatan mengangguk saat ada orang asing yang tak waras dibawa ibu ke rumah. Semenjak itu aku dan keluargaku mengenalnya.
Dia tak berbicara dan tertawa dalam waktu yang cukup lama, walau begitu sering aku dibuatnya takjub pada bakat seninya, istana pasir, ukiran di batu karang, melukis di kanvas dibuatnya sangat detail dan bagus sekali. Tiap kali dia menunjukkan hasil karyanya, aku tersenyum dengan keramahan yang terbuka dan menyenangkan. Lalu dia berangsur-angsur mulai berbicara.
Sudah lima belas lukisan baru yang disiapkannya. Setidaknya butuh lima lukisan lagi untuk menggelar pameran tunggalnya. Hari masih hujan di kota dermaga ini, semua orang telah mendengar berita bahwa ada kecenderungan angin berkecepatan tinggi akan menghampiri. Tak ada yang berani keluar rumah. Tapi hidup adalah ketidakpastian yang abadi. Entah kenapa, malam itu aku ingin menemuinya. Aku tembus angin dan hujan malam. Aku lihat sampah-sampah berserakan di jalanan.
Studio itu telah kosong. Tak kutemukan batang hidungnya, tak kutemukan pula secuil pesan darinya. Aku ingat, pada malam kami bercakap-cakap seperti biasa di dermaga, udara terasa panas, dia merenung cukup lama, sepertinya dia tidak suka.
"Apa yang aku butuhkan mulanya hujan," katanya. Satu-satunya alasan kenapa dia menyukai hujan, karena di saat itu imajinasinya tidak buntu.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Aku melontarkan tanya.
"Apa yang aku butuhkan mulanya hujan. Aku akan menembus ombak yang sempurna," jawabnya. Kadang- kadang dia melihat ke arah bintang-bintang, kemudian tetap diam, seolah menyerahkan sepenuhnya kepada melintasnya malam, yang hidup secara menakutkan. Aku menatapnya. Aku membayangkan kehidupannya, kesendiriannya, gangguan kejiwaannya yang menakutkan, yang kadang kambuh, yang bila terjadi akan melukai tubuhnya sendiri.
Studio itu telah kosong, dan malam ini sempurna dalam kepalanya. Sepertinya studio ini sudah dia bersihkan sepanjang hari karena aku tak menemukan lukisan-lukisan yang biasa terpampang. Mungkin dia menyimpannya di kamar yang gelap. Tersisa satu lukisan yang belum jadi. Lukisan itu seperti bercerita tentang ombak besar dan seorang nelayan dengan perahu kecil menerjangnya sendirian.
Pada hari berikutnya, tak ada lagi kabar tentang dirinya. Dia telah datang ke kota dermaga ini seolah tempat ini miliknya dan kemudian pergi seolah meninggalkan rumahnya sendiri. Mentari selalu pergi di ujung dermaga ini.
Jaka Junie lahir di kota Surabaya, 1984. Menjalani pendidikan di sekolah tinggi komunikasi tertua di Indonesia timur. Sekarang tinggal di kabupaten Malang
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)