Senyum Umi Shalihah tak pernah luntur semenjak awal perjumpaan mereka, sementara tangan kanannya yang menggenggam tasbih bergerak diam-diam. Lisna tahu ia masih menyempatkan berzikir di sela percakapan mereka. Ia mengamati gerak-gerik narasumbernya ini secermat mungkin, berharap bisa merekam segalanya dengan akurat. Ini akan menjadi wawancara eksklusif Umi Shalihah yang pertama setelah tersiar kabar bahwa Kiai Asikin --atau terkenal dengan panggilan Abah Asikin-- akan memadunya untuk kedua kalinya. Media tempatnya bekerja langsung meminta Lisna agar bisa membuat tulisan panjang tentang potret terkini keluarga Abah Asikin yang merupakan idola umat ini. Bukan tugas yang mudah, pikir Lisna masygul. Meskipun statusnya kini wartawan lepas, ia tak bisa begitu saja menolak perintah kantornya.
Wawancara ini akan menjadi laporan utama. Dan sudah pasti akan viral, demikian pemimpin redaksinya berkata optimistis.
"Ini penting, kamu harus bisa menggali sebanyak-banyaknya dari Umi Shalihah. Pembaca kita sangat menanti-nanti bagaimana reaksinya? Kalian bisa punya percakapan personal antarperempuan yang bisa bikin pembaca haru biru. Juga konfirmasi, benarkah kabar yang mengatakan dia langsung jatuh sakit begitu Abah berencana kawin lagi? Lebih bagus lagi jika kamu bisa dapat komentar Abah juga," sang Pemimpin Redaksi mendorongnya dengan bersemangat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haru biru? Lisna memutar bola matanya di belakang punggung si Pemimpin Redaksi. Yeah, masyarakat melodramatik penggemar sinetron pasti menyukainya.
Tidak mudah bagi banyak wartawan untuk tembus mendapatkan wawancara eksklusif dengan lingkaran dalam Abah Asikin. Abah dan istri-istrinya dikenal selalu bersikap sangat santun kepada media, tapi sekaligus berjarak. Mereka akan menjawab pertanyaan untuk wawancara pendek, tapi duduk bersama di kediaman mereka untuk sebuah wawancara panjang? Itu nyaris tak pernah terjadi. Sedangkan Lisna justru sudah pernah melakukan wawancara ekslusif sebelumnya ketika menulis profil Tokoh Muslimah Paling Berpengaruh tahun ini. Mungkin karena Lisna berjilbab, berasal dari media yang dikenal berideologi Islam, dan lebih dari itu sempat menjadi anggota pengajian Abah Asikin selama bertahun-tahun.
Dan di sinilah ia berada sekarang, di taman belakang kediaman keluarga Asikin Irkham yang asri. Umi Shalihah jelas memberikan perhatian besar pada taman ini dan mungkin menyewa orang khusus untuk mengurusnya. Umi Ameerah juga tinggal di rumah yang sama, tapi tidak di sayap rumah yang ini, yang merupakan 'area kekuasaan' Umi Shalihah. Lisna belum pernah mewawancara Umi Ameerah, tapi yang didengarnya Umi Ameerah memiliki karakter yang berbeda. Konon ia lebih senang traveling sehingga ia yang lebih sering bertugas menemani Abah Asikin jika sedang berkeliling Indonesia untuk mengunjungi umat. Sementara Shalihah lebih bertugas sebagai 'ratu rumah tangga' yang mengendalikan rumah berikut bisnis keluarga Asikin, rumah makan dan toko swalayan yang mengusung konsep 'berkah dan murah'.
Lisna duduk berhadapan dengan Umi Shalihah dinaungi bugenvil yang subur. Kelopak-kelopaknya yang merah muda melayang ditiup angin, mendarat dengan lembut di jilbab hitam Umi Shalihah, menjadi semacam asesoris.
"Umi apakah sudah sehat sekarang? Kabarnya Umi sempat dirawat di rumah sakit?"
Ia tersenyum lembut, bibirnya dipoles lipstik yang tampak senada kelopak bugenvil.
"Sehat, alhamdulillah Umi sehat. Sakit maag yang kambuh waktu itu, memang sudah lama Umi mengidap itu, sejak masih remaja. Muncul sesekali kalau kelelahan. Tapi sekarang sudah sembuh."
"Tapi sakit maag kan bisa dipicu karena pikiran ya, Umi?"
"Kamu mau bilang bahwa Umi sakit karena berita Abah ya?"
"Ah, Umi...itu Umi yang bilang ya. Tapi ya benar juga, saya memang akan bertanya ke arah sana," jawab Lisna jujur.
Umi Shalilah tertawa lagi. "Kalian ini para wartawan, selalu mudah ditebak. Yuk, diminum dulu tehnya," Ia mendorong lembut cangkir di hadapan mereka.
Lisna mengangguk, menyesap tehnya. Blah! Ia tersentak hampir saja melepeh kembali teh itu bila bukan karena sopan santun. Rasanya terlalu manis sampai memualkan. Bukan sesuatu yang tak biasa memang mendapat suguhan minum yang terlampau manis di negeri ini, seolah menghamburkan gula adalah misi yang mulia.
"Kamu tahu Lisna, Umi ini banyak sekali tugasnya, sebagai istri, ibu, dan pelayan umat. Jadi kalau sesekali badan ambruk karena kelelahan ya biasa saja, janganlah dianalisis macam-macam," ujarnya. Jemarinya yang lentik memungut kelopak bunga yang jatuh di pangkuannya, melemparkannya ke rumput.
Tak ada raut sedih tergurat di wajahnya, pikir Lisna. Apa rasanya ya jadi istri yang dipoligami?
Zarika Juliana Shalihah atau dikenal publik sebagai Umi Shalihah istri pertama dari kiai terkemuka yang masuk jajaran sepuluh tokoh nasional teridola versi sebuah harian nasional. Kiai Asikin Irkham dipandang sebagai sosok yang lengkap, seorang dai dan pengusaha sukses. Sebagian kalangan bahkan sempat meliriknya sebagai calon kepala daerah, tapi Abah belum memberikan isyarat positif untuk terjun ke kancah politik.
Setelah dua belas tahun pernikahannya dengan Umi Shalihah yang menghasilkan tiga orang anak, Abah Asikin kemudian menikah lagi pada 2015. Istri keduanya, Evieta Putri yang diislamkan oleh Abah, kemudian dinikahi. Evieta tadinya seorang selebriti, model, dan aktris film-film kelas B yang mengaku dirinya 'mabuk dengan kesenangan duniawi' ; tapi kemudian menemukan ketenangan jiwa setelah mengikuti pengajian-pengajian Kiai Asikin dan bertekad menanggalkan kehidupan hedonistik.
Abah Asikin menggelarinya panggilan kesayangan, Umi Ameerah, dari bahasa Arab yang berarti putri. Tentu saja berasal dari nama belakang Evieta sendiri, namun juga seolah menggambarkan bagaimana Abah Asikin memperlakukan istri keduanya ini pada masa awal pernikahan mereka, bak seorang putri. Pernah suatu media memberitakan bagaimana Abah Asikin membeli tanah yang cukup luas di area Jawa Barat dan kemudian mendirikan sekolah, minimarket, dan kafe sehingga menyerupai kawasan modern terbatas yang diberi nama Ameerah Village.
"Semuanya adalah persembahan untuk umat, insya Allah," ujar Umi Ameerah yang diserahi tanggung jawab mengelola kawasan tersebut oleh suaminya. Hal ini sempat menimbulkan protes di kalangan jemaah Abah Asikin khususnya para ibu, karena seolah Abah menunjukkan cinta yang lebih besar untuk istri keduanya dibandingkan Umi Shalihah.
Suatu acara info hiburan TV nasional menyebutkan kabar Umi Shalihah dibelikan mobil mewah oleh Abah Asikin. Acara itu menayangkan gambar Umi Shalihah yang masuk ke mobil tersebut, tapi ketika dikonfirmasi apakah mobil ini adalah semacam hadiah penghibur dari Kiai Asikin, Umi hanya menjawab dengan gayanya yang selalu sopan dan takzim. "Alhamdulillah, ini supaya mobilitas saya lebih mudah saja," jawabnya lembut. Senyumnya merekah seperti biasa.
Sejumlah anggota jemaahnya tetap saja melancarkan kekecewaan karena di mata sebagian orang Umi Shalihah mulai jarang diajak tampil di publik oleh Kiai dan ada yang mengatakan pernah memergoki Umi Shalihah semakin kurus sejak pernikahan kedua suaminya. Protes itu kemudian diredam ketika Umi Shalihah jadi lebih sering muncul sebagai penceramah pada pengajian-pengajian rutin yang biasanya dibawakan Abah Asikin.
"Insya Allah saya ikhlas, "ujarnya di suatu kesempatan. "Allah menyediakan surganya bagi istri-istri yang ikhlas. Bukankah cinta Allah lebih utama daripada cinta suami? Suami saya adalah pemimpin umat, dan begitu banyak kebutuhannya yang kadang tidak bisa selalu saya layani sebagai istrinya. Saya malah senang ada Umi Ameerah yang akan membantu saya, kami sudah seperti adik-kakak," demikian Umi Shalihah.
Pada beberapa kali acara televisi, keakraban antara kedua Umi ini pun kerap diperlihatkan. Sungguh suatu pemandangan yang menarik minat publik, kedua perempuan berkerudung panjang yang sama-sama molek dan tampak rendah hati. Dan mereka perempuan-perempuan di balik sosok salah satu kiai terpenting saat ini, yang dijuluki 'kiai sejuta umat'.
Abah Asikin memang sosok yang memiliki magnet tersendiri. Berasal dari keluarga darah biru pesantren; bukan tipe pria yang berwajah molek, tapi berpostur tinggi dan gagah serta memiliki senyum yang meluluhkan hati; secara keseluruhan memiliki pembawaan yang kharismatik. Tapi yang biasanya membuat orang mudah jatuh hati (sehingga pengajiannya tidak pernah sepi) adalah suaranya, ya suaranya yang begitu indah saat melantunkan ayat-ayat Al Quran. Hati siapa yang tak luluh mendengar suaranya. Sejujurnya, karena itulah Lisna bergabung di pengajiannya, bahkan pernah hampir seperti mencandu mendengarkan lantunan suara Abah Asikin.
Terakhir kali berhadapan langsung dengan Abah Asikin, Lisna merasakan lututnya malah lemas. Otaknya langsung kosong dan segenap pertanyaan yang direncanakannya mendadak buyar. Abah hanya tersenyum menjawab salamnya, kemudian berlalu karena katanya harus segera berangkat ke luar kota. Di sampingnya adalah istri ketiga itu, mengenakan niqab hitam. Padahal Lisna harusnya mencegat Abah untuk wawancara pendek mengenai rencana pernikahan ketiganya, yang kali ini diduga terkait dengan kepentingan politik tertentu. Tapi di antara kerumunan para rekan wartawan dan jemaah yang mengharap berkah, Lisna membeku.
Teman pengajiannya, Fanina yang menemaninya menunggu Abah Asikin menyikutnya sambil berbisik, "Perempuan mana yang tidak bakal terpikat? Aku juga mau jadi istrinya yang kesekian," Fanina terkikik pelan. Lisna terdiam, seperti baru terbangun dari daya pikat sang kiai. Ketika lewat di hadapannya tadi, masih tercium aroma parfumnya yang lembut namun jantan. Membuat jantung Lisna berdebar. Benarkah perempuan mana pun pasti akan bertekuk lutut pada Abah? Meskipun dipoligami?
"Umi, saya mesti minta maaf sebelumnya, tapi Rasulullah menikahi perempuan lanjut usia. Jika ingin berpoligami, kenapa Abah tidak memilih janda tua yang butuh disantuni, dibanding perempuan muda seperti Umi Ameerah dan perempuan yang sekarang...."
"Maksudmu menikahi nenek-nenek begitu? Ya repot dong, nanti dia malah sakit-sakitan dan kami yang harus merawatnya. Abah itu pemimpin umat, banyak sekali pekerjaannya. Umi malah senang ada Ameerah, jadi ada yang membantu tugas Umi. Kalau Abah menikahi seorang nenek, ya kami semua bisa susah," ia tertawa lepas. Tawa yang kemudian terhenti ketika ia menatap langit.
"Matahari semakin terik, kita masuk ke rumah saja yuk."
"Oh, baik Umi. Tapi boleh minta foto Umi di luar dulu? Taman ini cantik sekali, bagus untuk latar belakang."
Umi Shalihah mengangguk tanda setuju. Lisna bangkit dan mulai memotret dengan Canonnya yang sudah cukup tua, tapi masih sangat ia andalkan. Beberapa jepretan dalam pose duduk, lalu Lisna memintanya bangkit. Umi Shalihah berdiri di sisi bugenvil dan bunga-bunga itu seolah menambah semburat merah pada wajahnya yang berkulit cerah.
"Lagi ya, Umi... satu, dua, tiga. Cantik!"
Beberapa kali Umi bergaya, sesekali menyentuh tangkai bunga, tampak semakin luwes setelah beberapa pose.
"Sudah, ah kayak model saja Umi ya...." Ia tertawa malu-malu seolah melakukan suatu hal yang tabu.
"Benar kok Umi memang cantik, nanti saya kirim file fotonya ya."
"Iya, masuk yuk. Kita lanjutkan di dalam, tapi sebentar Umi butuh mengerjakan sesuatu sebentar."
Lisna mengiyakan. Ia tak tergesa karena cukup banyak barang yang mesti ia bawa masuk. Sinar matahari terasa menyengat, akhir-akhir ini memang cuaca sedemikian panas. Lisna masih membenahi tas ranselnya, memasukkan kamera, alat perekam digital, dan buku catatannya. Dan, ah cangkir teh yang masih penuh itu. Ia berpikir untuk membuangnya, mumpung Umi sudah masuk ke rumah lebih dulu.
Lisna berdiri mencari-cari tempat di mana ia bisa membuang isi cangkir tanpa merasa mencederai taman yang begitu terawat ini. Ia tak sampai hati mesti membuangnya di dekat Sweet Asylum itu yang selalu mekar sepanjang tahun.
Lalu harus ia buang di mana? Ia terpikir untuk menuangkan saja pada akar pohon bugenvil, pohon terbesar di taman itu.
Ketika mengangkat kepalanya, Lisna ternganga. Di mana bugenvil yang subur dan lebat itu? Apakah ia bermimpi? Bukankah tadi pohon itu ada di hadapannya? Namun, kini yang dilihatnya hanyalah pohon yang kering, seperti baru saja terbakar. Kelopak-kelopak yang tadi berwarna merah muda merona kini telah pudar dan kusam. Menguning dan layu.
Lisna terkejut bukan kepalang. Matahari memang terasa memanggang wajahnya, tapi mana mungkin dampaknya sedemikian cepat? Pohon ini begitu kering kerontang! Kapan itu terjadi? Bukankah baru beberapa menit lalu ia memotret Umi Shalihah di situ?
Lisna masih berdiri tak percaya. Tangannya terulur ingin menyentuh batang yang seperti hangus itu ketika didengarnya Umi Shalihah berseru memanggilnya masuk.
"Umi, pohon bunga Umi...kok...."
Umi Shalihah menatapnya dengan raut muka tak mengerti.
"Pohon bunga Umi...hangus...."
"Oh begitu? Nanti Umi minta Pak Kasim untuk membereskannya," Umi Shalihah menjawabnya dengan tenang, sama sekali tak terkejut dengan apa yang disampaikan Lisna.
Kalimatnya bernada final. Seperti hendak mengatakan tidak ada masalah apa pun yang pantas ditanyakan lagi. Lisna masih melongo dengan muka tak puas. Tapi nada suara dan raut muka Umi Shalihah yang begitu yakin, membuat Lisna merasa dirinya bodoh kalau harus mempermasalahkan lagi mengenai pohon itu. Untuk beberapa saat Umi Shalihah masih mondar- mandir sambil menelepon, tampak serius dan sibuk, sebelum akhirnya kembali duduk di hadapan Lisna yang masih memulihkan diri dari keterkejutannya.
"Umi, uhm...saat ini istri ketiga Abah -maaf saya tidak tahu namanya- belum diperkenalkan resmi ke publik, juga belum tinggal di rumah ini. Tapi kabarnya ada rencana untuk membawanya ke sini juga, uhm, bersama Umi dan Umi Ameerah. Maafkan, Umi, tapi bagi saya yang hanya perempuan biasa, gagasan itu seperti, seperti terlalu ajaib. Bagaimana mungkin Umi bisa begitu tabah, begitu besar hati, untuk menerima istri-istri Abah yang lain?"
Umi Shalihah melirik cangkir teh yang kosong, kemudian berteriak memanggil pembantu rumah tangganya untuk mengambilkan minum lagi. "Ika!" serunya. Lisna berusaha menolak, meski sia-sia. Aku tidak ingin mual apalagi terancam diabetes, pikirnya. Seorang perempuan muda berkerudung coklat datang membawakan cangkir teh kedua sementara Lisna langsung berpikir bagaimana bisa membuang teh itu tanpa harus meminumnya.
"Namanya Umi Fatima, dan ya dia akan tinggal di rumah ini juga. Bagaimanapun akan lebih mudah untuk Abah jika kami semua kumpul. Untuk koordinasi pembagian tugas, seperti mendampingi tugas Abah keluar kota, mengurus usaha keluarga dan sebagainya tentu saja juga lebih mudah kalau Umi Fatima ada di sini. Apalagi karena Umi Ameerah sedang hamil, pasti ia tidak bisa bepergian sesering biasanya."
Lisna terkejut. Umi Ameerah hamil? Ia mestinya sangat bahagia, karena pernah di suatu pengajian ia curhat di depan jemaah kalau belum juga dikaruniai anak setelah lebih dari setahun menikah dengan Abah. Mohon doanya ya Ibu-Ibu, ujarnya yang sebenarnya sempat membuat monyong bibir sejumlah perempuan yang hadir. Kualat barangkali karena merebut suami orang, bisik mereka. Tapi kini ia hamil, yang berarti ia tidak kualat ataupun dikutuk. Namun, pada saat yang sama, Abah sudah memadunya dengan Umi Fatima. Bagaimana ya perasaan perempuan yang dipoligami? pikir Lisna. Terlebih lagi, bagaimana ya perasaan perempuan hamil yang dipoligami?
Saat itulah terdengar ledakan dari arah dalam rumah, keras mirip kompor meleduk. Lisna merasakan tubuhnya gemetar karena terkejut. Seketika ledakan itu langsung diikuti oleh suara Ika yang berteriak, terdengar hampir histeris sambil terus menyebut nama Allah. Umi Shalihah spontan langsung berlari ke dalam. Lisna langsung membuntutinya, mengabaikan sopan santun, mengutamakan naluri kewartawanannya.
Seorang perempuan berambut panjang ikal panjang terduduk lemas di lantai dengan wajah pias tanpa ekspresi. Sebuah pintu terbuka dan dari dalamnya keluar asap. Aroma terbakar merebak di udara.
"Astaghfirullah! Vieta...Vieta kamu baik-baik saja? Istighfar, Viet, istighfar!"
Umi Shalihah mengguncang-guncang bahu perempuan itu. Butuh beberapa saat bagi Lisna untuk menyadari siapa perempuan tersebut. Ternyata Umi Ameerah yang tidak dikenalinya karena sedang tidak mengenakan jilbab. Lisna terkejut bukan hanya karena ia lupa nama asli perempuan itu, dan betapa cantiknya Umi Ameerah, tapi juga karena betapa kurus perempuan ini, yang dulu dikenal bertubuh seksi dan berisi.
Dengan teriakan Ika dan Pak Kasim yang masih sibuk mondar-mondar membawa air berusaha memadamkan api, suasana di rumah itu mendadak terasa begitu kacau. Lisna masuk ke kamar dan menyaksikan gorden yang separuh terbakar, dinding yang menghitam, dan bagian dari langit-langit yang berlubang. Kamar itu tampak rusak. Api baru saja padam.
"Sepertinya AC yang meledak," ujar Pak Kasim. Lisna melihat ke arah alat pendingin ruangan di dalam ruangan, tampak terbakar meskipun kelihatan masih baru. Lisna memang pernah membaca ada kasus kebakaran yang disebabkan oleh AC.
Umi Shalihah membimbing tubuh Umi Ameerah yang tampak lemas, membawanya ke kamarnya sendiri. Wawancara terpaksa ditunda lagi karena Umi Shalihah masih mengurus Umi Ameerah yang kelihatan sangat terguncang. Lisna termangu, tak terpikir untuk pulang juga. Segala kejadian ini bisa memperkaya tulisannya nanti.
"Neng wartawan ya?" teguran Ika mengusik lamunannya.
"Eh, iya...."
"Silakan tunggu di depan saja ya, kami mau beres-beres dulu, ini...."
"Eh, Mbak, apa pernah ada kejadian begini sebelumnya?"
"Maksud Neng?"
"Iya, pernah ada kejadian kebakaran mendadak begini di rumah ini?"
"Uhm...." Ika mengingat-ngingat. "Pernah sih, waktu saya baru kerja di sini, dua tahun lalu. Tapi kamarnya Ibu Shalihah yang di depan."
Lisna duduk di ruang tamu, kembali menunggu. Sesekali membolak-balik halaman surat kabar yang ditemukannya di meja. Karena bosan ia kembali berdiri, melihat-lihat buku di rak, lalu melihat-lihat foto-foto di dinding. Foto anak-anak Abah dan Umi, mereka tidak kelihatan, tapi ini memang masih jam sekolah. Foto Abah dan Umi Shalihah berdua. Foto Abah, Umi Shalihah, dan Umi Ameerah bertiga. Foto-foto liburan mereka di beberapa negara asing. Wajah-wajah yang tersenyum. Wajah-wajah yang tampak bahagia.
"Assalamualaikum," suara merdu itu terdengar, membuat Lisna mendadak panas dingin.
Ia tak langsung memalingkan muka.
"Wa'alaikum salam," jawabnya sambil menunduk sebelum tubuhnya memutar menghadap sumber suara itu.
Abah Asikin, berbaju dan celana putih, baru saja masuk rumah. Ia kali ini tidak mengenakan kopiah putih yang biasanya ia gunakan, membuatnya kelihatan lebih muda di mata Lisna. Sebelah tangannya menjepit batang rokok yang masih menyala. Abah Asikin merokok? Lisna terkejut dan mencatatnya dalam hati.
"Kamu wartawati yang janji wawancara dengan Umi Shalihah? Lisna Shafira?"
"Iya, Abah," Lisna merutuki dirinya yang seperti orang bodoh, tersenyum salah tingkah tak menentu di hadapan lelaki itu.
Ia juga terkejut ketika Abah ingat dan menyebut nama lengkapnya. Akhirnya dia hanya bengong saja, tidak tahu mesti bersiap bagaimana. Ayo dong Lisna, dia kan narasumber penting dalam tulisanmu. Tanyakan sesuatu! Tapi mulutnya tak kunjung terbuka.
"Silakan duduk...."
Lisna duduk, seperti kerbau dicucuk hidung, masih seperti gagu dan sulit menjadi dirinya sendiri.
Suara salam kembali terdengar. Seorang lelaki muda berkopiah putih masuk, membawa tas, sepertinya ia asisten atau sopir Abah, atau mungkin keduanya.
"Taruh di dalam saja tasnya, lalu kamu ke sini sebentar. Saya mau tulis pesan untuk kamu bawa ke Kiai Akbar ya. Jangan telat, sebelum dia berangkat malam ini lho, harus sudah sampai."
Lelaki muda itu mengangguk patuh dan berlalu. Kini hanya tinggal mereka berdua di ruang tamu. Abah mematikan rokoknya yang sudah habis, lalu mengambil sebatang yang baru, menyalakannya, dan menghirup dengan nikmat.
Tanyakan sesuatu, Bodoh! Maki Lisna di dalam hati. Tapi mulutnya seperti terkunci. Mereka berdua hanya diam untuk waktu yang terasa begitu panjang.
Abah menjentikkan abu dari rokoknya ke asbak. "Kamu sudah lama jadi wartawan?"
"Uhm...sejak lulus Abah, lima tahun, atau sekitar itu...." Lisna menjawab gugup. Ia merasa suaranya parau.
Abah mengangguk simpatik. Lalu hening lagi. Abah dengan tenang dan khidmat kembali menikmati rokoknya. Keseluruhan dirinya membuat Lisna merasa tenang, tapi sekaligus grogi. Suatu perasaan yang sulit dijelaskan. Lisna yang biasanya ceplas-ceplos dan terasah menghadapi siapa pun karena profesinya itu tiba-tiba jadi seperti seekor anak kucing pemalu.
"Kamu tahu tidak bagaimana saya tahu nama lengkapmu?"
"Ha? Tidak, Abah."
"Saya sebenarnya memimpikan nama itu beberapa kali...."
"Oh, wah...."
Mulut Lisna terbuka tapi kemudian tertutup lagi. Ada ruang kosong di kepala Lisna. Seperti ruang hampa udara. Telinganya sesaat berdenging dengan hebat, menulikannya, membuatnya tak dapat mendengar apa pun. Hingga kepalanya terasa sakit. Lisna terpejam berusaha menguasai diri di tengah suara yang menyakitkan itu. Sampai kemudian ia mendengar suara Umi Shalihah memekik.
"Abah! Astaghfirullah! Api!"
Umi Shalihah menyerbu ke arah Abah Asikin yang sedang duduk, lalu dengan cepat meraih dan mengibas-ngibaskan lembaran surat kabar ke celana suaminya. Abah jelas kelihatan pucat pasi melihat api kecil, namun menjalar dengan cepat membakar bagian atas celananya. Lisna spontan berdiri sambil menjerit. Butuh waktu beberapa saat sampai api itu akhirnya padam sepenuhnya.
Hanya beberapa detik saja rasanya matanya terpejam, tapi tiba-tiba sudah ada api menyala-nyala di hadapannya. Bagaimana itu mungkin? Darimana api itu berasal? Lisna berpikir keras berusaha mencerna peristiwa di depan matanya itu. Apakah percikan rokok Abah? Namun, bagaimana bisa jadi sebesar itu?
Abah Asikin yang celana putihnya telah bolong dan menyisakan jejak api yang kehitaman segera berlari ke dalam rumah.
Umi Shalihah masih sempat mengucapkan maaf kepada Lisna dan mengatakan sebaiknya ia kembali lain waktu saja. Kapan? Lisna mencoba bertanya. Namun Umi Shalihah sudah keburu berpaling meninggalkannya.
Lisna termangu sejenak, lalu bergerak meninggalkan rumah itu. Ia merasakan panas menjalari seluruh tubuhnya.
Cerpen ini dimuat dalam buku kumpulan cerita Memburu Muhammad (Bentang Pustaka, segera terbit) yang merupakan buku kedua dari trilogi Islamisme Magis karya Feby Indirani
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)