Sepanjang bulan ini ada pameran kuliner di mulut para pencinta makanan Kota J, dan tiba-tiba saja nama sasagun menjadi sangat populer. Muti, yang belasan tahun lalu senang menikmatinya bersama Filipus di bawah pohon ceri yang rajin berbunga namun tidak pernah berbuah, bertanya: bagaimana bisa?
Setahu Muti, sasagun hanya makanan pelosok yang biasa disuguhkan pada malam pergantian tahun di daerah-daerah tertentu di Sumatera Utara. Diolah dari rendaman beras yang sudah ditiriskan. Ditumbuk pakai alu. Diayak. Disangrai dengan mencampur parutan kelapa. Disimpan dalam tandok. Disajikan dalam mangkuk kecil kemudian ditaburi gula pasir. Menikmatinya rumit, kata Muti terhadap Filipus suatu hari.
Filipus mengajari Muti bagaimana cara makan sasagun. Ambil satu sendok. Masukkan ke mulut. Biarkan sampai lumer dan jangan bicara. Muti melakukannya. Mulanya sambil malu-malu, namun berhasil. Tapi pernah Muti tersedak sampai kesulitan bernapas karena kurang hati-hati, dan di depan Filipus, lelaki yang kemudian ingin Muti gunting dari ingatan menahan sakit sampai keluar air mata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun berganti tahun, dimulai sejak SMP, Muti dan Filipus makin sering makan sasagun berdua. Jika sedang menginginkannya, ternyata kapan saja bisa sebab tidak terlalu sulit perihal membuatnya-dalam hal ini, Filipus lebih mahir ketimbang Muti.
"Di mana kita makan sasagun setelah ini?"
"Di sini. Di bawah pohon ceri yang rajin berbunga namun tak pernah berbuah ini, Muti."
Setiap menikmati sasagun, Muti dan Filipus lebih suka di bawah pohon itu. Alasannya, tempat itu sepi. Jarang didatangi orang. Duduknya juga tidak pakai bangku. Ia hanya tanah lapang berumput, yang bisa buat selonjoran atau berbaring bila mau. Tempat bermain bola yang tak lagi digunakan karena anak-anak muda sudah banyak menikah lalu merantau. Di sekelilingnya tumbuh ilalang dan semak perdu. Burung-burung kerap terlihat keluar-masuk sarang.
Filipus menemukan seekor anak burung jatuh. Muti berencana membawa pulang. Filipus melarang. Katanya: takdir anak burung itu dibesarkan induknya. Setelah sayapnya kokoh pasti terbang. Berkelana ke mana hati membawa. Kalau suatu hari aku jalan-jalan ke hatimu, boleh? Setengah bercanda Muti goda Filipus. Filipus senyum sembari meletakkan anak burung ke sarang. Selanjutnya mereka ke bawah pohon ceri lagi makan sasagun trip kedua.
Mufi, sebuah kata muncul dari bibir Muti.
"Artinya?" tanya Filipus.
Dengan pipi semerah buah ceri yang pernah Muti lihat di tempat lain menjawab gabungan dari namanya dan Filipus.
Filipus menekan tawanya agar tak lepas. Sembari menggosok puncak kepala Muti, Filipus berkata Muti tidak boleh main-main begitu. Mereka hanya teman. Lulus SMA nanti, Filipus akan masuk biara. Muti sudah dengar itu ratusan kali. Di latihan paduan suara, di pertemuan orang muda sekeuskupan, di kegiatan malam Paskah waktu sembunyikan telur bercat merah yang diwarnai sama-sama, di retret ketika bercerita dengan pastor dan suster, di catatan harian tak bergembok, di mading sekolah, di ruang tamu saat malam pergantian tahun, di bawah pohon ceri yang rajin berbunga namun tak pernah berbuah, dan pertemuan-pertemuan lain yang melibatkan Muti di dalamnya.
"Jadi, aku tak boleh menyukaimu lagi?" masih setengah bercanda Muti memancing hati Filipus kesekian kalinya, dan upaya itu Muti lakukan untuk menghindari hatinya agar jangan retak, agar jiwanya jangan cengeng. Muti tentu harus tahu diri, yang terjadi antara mereka hanyalah pertemanan, bukan percintaan. Meski sering makan sasagun berdua, mereka bukanlah sepasang yang sedang pacaran. Mereka tak lebih dari dua orang muda pada masa itu secara karakter kebetulan cocok.
Seekor burung dewasa yang Filipus kira induk anak burung terjatuh sebelumnya mampir ke dahan ceri. Filipus memainkan batangnya agar burung itu pergi. Bunga-bunga ceri berjatuhan ke Muti. Di bibirnya yang cemberut sempat terperangkap satu. Dengan lembut Filipus menyapu semuanya dari Muti. Rambut, bahu, pundak, dan semua yang tersangkut di wajah. Bersama warna senja yang pecah indah di langit barat Muti hampir-hampir meledak-ia kian merasakan asmara merasuki seluruhnya, namun lelaki yang ditaksir menolak dicintai.
Masih di bawah pohon ceri yang rajin berbunga namun tak pernah berbuah, Muti tancapkan sendok miliknya ke mangkuk Filipus-Muti makan dari mangkuk milik Filipus. Mata Filipus sekilas tampak protes. Ia ingin bicara, tapi mereka sama-sama tahu tak ada yang boleh bicara sampai sasagun benar-benar melumpur di mulut. Kesekian kali, Muti tancapkan sendoknya lagi ke mangkuk Filipus. Ketika sendok Filipus membalasnya dengan memasuki mangkuk milik Muti, denyut jantung Muti tak terkira kecepatannya. Urusan perasaan tak diharapkan seseorang yang selalu mengalah. Seseorang butuh dirinya dibalas. Tapi hanya itu. Tak lebih. Filipus tak membalas saat Muti terus terang menyukai dirinya.
Beberapa tahun setelahnya (saat itu Filipus masih frater), mereka bertemu lagi ketika sama-sama pulang kampung. Tak ada yang berubah dari cara Filipus menyapa Muti meski Filipus calon imam, sementara Muti awam. Muti menempakan sasagun karena tidak percaya diri pada buatan tangannya. Muti bahagia melihat ekspresi senang dari Filipus. Tapi sasagun itu tidak akan mereka nikmati di bawah pohon ceri yang rajin berbunga namun tak pernah berbuah. Muti tahu bagaimana ia bersikap sejak kemarin sampai selamanya, yakni mengemas sasagun dalam tandok supaya Filipus jangan sampai ketinggalan feri, selanjutnya naik bus warna biru menuju Pematang Siantar.
Beberapa minggu setelah pertemuan kilat itu, Muti ingat Filipus mengirim surat dan sampai sekarang surat tersebut masih ada di email Muti. Dalam suratnya, Filipus mengatakan bahwa sasagun yang diberikan Muti sangat enak. Aku tak membaginya dengan siapa pun. Kau tahu, Muti, aku memakannya sendirian sambil menyusun tesis hahaha. Rambutku mulai rontok memikirkan huruf-huruf. Dosen pembimbingku sangat cerewet, Muti --jangan ledek aku kalau suatu hari kita jumpa, ya? Eh, kapan kau bisa membuat sasagun sendiri? Nanti kalau sudah pintar bisa sediakan aku satu tandok besar agar bisa kubagi dengan teman-teman frater-ku.
Muti menanti-nantikan pertanyaan Filipus apa dirinya sudah punya kekasih, atau seganteng apa lelaki yang akan menikahinya. Nyatanya, tak sekali pun Filipus menyinggungnya. Apa doa Filipus terhadap Muti mengenai jodoh? Muti terus penasaran. Ada kalanya Muti berpikir garis hidupnya kelak akan mempertemukan dirinya dengan Filipus --siapa tahu saja Tuhan sedang bermain-main dengan cara membelokkan perjalanan keduanya terlebih dahulu; siapa yang bisa menebak jalan pikiran Tuhan, bukan? Dan seandainya itu terjadi, kelak, Muti akan berseru: terpujilah Tuhan sang pembolak-balik hati manusia. Muti percaya Tuhan maha pemurah, hati Tuhan tidak pernah pelit. Saat jiwa Muti bernyala-nyala membayangkannya, tahu-tahu, yang terjadi justru di luar dugaan.
Filipus ingkar. Filipus digosipkan sudah tak tergila-gila lagi pada Tuhan. Sepanjang sebulan ini rumor menyebar bagai jamur di musim hujan pengujung tahun Kota J, yakni, dari mulut para pencinta makanan tiba-tiba saja nama sasagun menjadi sangat populer.
Ayo beli sasagun!
Di mana?
Di lapak online dengan nama Mufi Sasagun.
Muti mencoba melawan perasaan dan tidak ingin cepat-cepat percaya pada apa yang baru telinganya dengar. Tapi memikirkannya bikin kepala Muti jadi menggasing. Filipus sudah jadi imam. Ia jadi pastor empat tahun setelah pertemuan kilat dengan Muti di kampung. Muti bahkan menghadiri momen sakral di mana dirinya menyaksikan Filipus melakukan semacam adegan tiarap di depan altar.
Sepulang dari gereja dan makan siang, saat hendak pulang, Muti masih ingat bagaimana Filipus membalas pelukannya ketika Muti mengucapkan selamat. Ia juga ingat ada menyelipkan surat bersampul biru di tangan lelaki yang semakin tampak bercahaya kala itu, lalu berlari serta menahan diri agar jangan sampai menoleh ke belakang.
Di Kota J sesudah mencerna kabar tentang Filipus, Muti berusaha menghibur diri dengan berlatih membuat sasagun. Berkali-kali hasilnya gosong. Lainnya kurang matang atau terlalu banyak kelapa. Malam sudah sangat larut ketika di pikiran Muti muncul pertanyaan: apa kelebihan Mutiara Ceri sampai-sampai Filipus terpikat. Adakah rayuan perempuan itu lebih maut-bila benar begitu mengerikan sekali orang itu.
Muti membanding-bandingkan dirinya dengan Mutiara Ceri yang dirasa lebih baik dalam menjaga Filipus dan bukan malah merebutnya dari Tuhan. Tapi, apa faedahnya membahas itu sekarang? Apa pun ceritanya Filipus tetap sudah menyeberang. Punya anak berkulit sasagun, serta istri berbibir semerah buah ceri yang Muti dan Filipus pernah lihat di tempat lain.
Lalu bagaimana melupakan sasagun, termasuk kenangannya?
Menjelang tahun berganti Muti pulang ke kampung. Ia menemui tanah lapang yang dulunya digunakan bermain bola. Sunyi sekali, hati Muti berkata-kata. Langkahnya kian gamang saat mengetahui tak ada lagi pohon ceri yang dulunya rajin berbunga namun tak pernah berbuah. Meski begitu Muti tetap meraba-raba kenangan bersama Filipus. Ia temukanlah bekas penebangan kayu mulai kering. Matanya tertarik pada burung yang belum mahir melompat di sekitar ilalang.
Seekor anak burung, yang dulu pernah Filipus larang untuk Muti ambil sekarang ia lakukan. Muti mengambil anak burung itu, lalu menelentang di sekitar bekas penebangan kayu yang ia perkirakan itulah pohon ceri belasan tahun lalu saat ia menikmati sasagun dengan Filipus. Pohon ceri itu ditebang karena hanya rajin berbunga namun tak pernah berbuah.
Dalam dekap semilir angin sembari meletakkan anak burung kesepian di atas dadanya, Muti tertidur pulas. Dalam tidur Muti bahagia. Ia rasakan dirinya sedikit demi sedikit berubah menjadi sasagun yang kemudian ada dalam tandok berukuran besar. Lelaki yang mulai botak dan teringat masa-masa menyusun tesis serta pernah mengharapkan Muti agar bisa membuat sasagun datang mendekat, lalu memakan sasagun itu dengan khidmat.
Riau, Juli 2020
Catatan:
tandok: wadah penyimpanan beras/penganan yang terbuat dari ayaman daun pandan.
Jeli Manalu lahir di Padangsidimpuan, 2 Oktober 1983. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Kisah Sedih Sepasang Sepatu (2018)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)