Orocnuk

Cerita Pendek

Orocnuk

Jimmy Anggara - detikHot
Minggu, 01 Nov 2020 09:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Suatu malam pada awal tahun 1998, beberapa minggu sebelum Presiden Soeharto lengser, seseorang datang ke kamar indekosku di Bandung dan mengetuk pintuku keras-keras. Waktu itu aku sedang tidur dan bertanya-tanya heran: siapa yang malam-malam begini datang dan mengetuk pintuku keras-keras. Dengan malas aku segera bangun membuka pintu dan siapakah yang kulihat itu selain daripada Orocnuk sendiri, temanku yang berambut gimbal, berdiri menggigil kehujanan.

"Remy," katanya dengan menggigil, "Aku boleh numpang tidur semalam di sini ndak?"

"Tentu saja boleh," jawabku, "Ayo masuk, Nuk."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orocnuk langsung melepas sepatunya dan membasuh kepalanya dengan handuk yang kuberikan. Aku juga memberikannya kaus bersih dari lemari. Orocnuk menceritakan kepadaku bahwa ia diusir dari rumah indekosnya karena rumah indekosnya itu akan dipugar. Semua temannya telah pindah kecuali Orocnuk sendiri karena ia memang jarang berada kos, dan baru tahu siang itu kalau kamarnya telah dikosongkan dan semua barangnya diungsikan keluar.

Tapi Orocnuk sama sekali tidak sedih. Ia senang-senang saja. (Orocnuk ini adalah temanku yang ketika pulang dari Yogyakarta suatu kali, mengagetkan kami karena menggimbal rambutnya sedemikian rupa dengan campuran jus nanas, yang katanya, sejak gimbalan hari pertama tidak dicuci tiga minggu berturut-turut. Sejak saat itu, teman-temanku di kelas tak ada yang mau duduk dekat-dekat dengannya. Bau rambutnya seperti bau nanas busuk).

ADVERTISEMENT

Orocnuk tidak terlalu tinggi, malah cenderung terlalu pendek, berkacamata bulat ala John Lennon dengan bentuk muka yang khas Jawa. Dahinya lebar dengan kepala yang besar yang ditutupi rambut gimbalnya yang jarang dimandikan itu. Tapi meskipun bertubuh kecil, Orocnuk berwawasan luas, dan ia sangat aktif di kegiatan apapun yang berhubungan dengan politik. Malah kudengar sekarang ia bekerja di sebuah LSM di Jakarta sehingga tidak jarang ia bolak-balik Jakarta-Bandung.

Selain itu Orocnuk juga kritis dan sangat menyukai diskusi, yang dianggapnya sebagai tradisi yang perlu dilestarikan kalau kita semua ingin maju. Di angkatan kami, Orocnuk dikenal sebagai seorang mahasiswa yang kekiri-kirian, yang memandang setiap hal sebagai kaitan mendasar antara sistem produksi dan sistem kerja. Maka tidak heran jika Orocnuk mengutuk kapitalisme dan mengagung-agungkan sosialisme sebagai sistem kemasyarakatan yang ideal, meskipun utopis.

Orocnuk duduk di kasur dan menanyakan mengapa kita tidak membuat kopi saja supaya suasana menjadi segar, lagi pula malam dingin begini enaknya minum kopi sambil berdiskusi. Aku pun segera membuat kopi dan berharap akan mendengar berita baru darinya, apa pun itu.

Selama aku membuat kopi, Orocnuk melayangkan pandangannya ke seluruh dinding kamarku yang sebagian besar dipenuhi oleh gambar-gambar karyaku sendiri, dan mengatakan bagus pada satu gambar dan mengangguk atau tertawa pada gambar yang lain yang memang wajar saja, sebab aku suka menggambar karikatur.

Orocnuk sendiri pun suka menggambar karikatur yang kemudian dipergunakannya sebagai alat untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang memang jarang ada benarnya itu. Dengan segala kekritisannya itu dan sikap seriusnya jika sedang berdiskusi, tetap saja Orocnuk tidak tahan untuk terpingkal-pingkal bila mendengar lelucon yang mampir di telinganya. Ia mudah sekali dibikin tertawa.

Orocnuk melipat kakinya di kasur ketika melihatku datang membawa dua gelas berisi kopi dan berkata, Nah! Sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya. Kemudian ia menyalakan rokok. Cara merokoknya ini sangat berbeda dari para perokok kambuhan yang menikmati setiap isapan dengan tarikan sungguh-sungguh sebab Orocnuk selalu tampak seperti tidak minat merokok; asapnya cepat-cepat dibuang dan jarang menariknya dalam-dalam. Orocnuk mungkin tipe perokok yang sayang paru-paru.

Lagipula aku sudah tahu kalau dia merokok baru-baru ini saja, setelah aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar kampus, dan siapa yang bisa menyalahkannya?

Ia melirik gelas kopinya sekilas. Dan segera setelah berkata mengapa tidak kita minum saja kopi ini karena kopi yang dingin tidak enak, ia meniup-niup gelas kopi itu dan meneguknya seraya mengeluarkan suara gluk-gluk-gluk dan segera pula menghamburkannya ke lantai ketika kukatakan kepadanya ada kodok di kerongkongannya.

Kemudian ia mengambil tasnya dan mengeluarkan sebatang rokok lain berwarna putih dan melemparkannya ke kasur sambil mengatakan bahwa malam ini tampaknya akan menjadi malam berdiskusi yang menyenangkan. Aku tidak tahu apa maksudnya dan menanyakan maksud perkataannya itu.

"Ini, Remy," katanya seraya tersenyum dan menggoyang-goyangkan rokok itu di depan wajahku, "Rokok marginal." Saat itulah aku langsung tahu kalau rokok marginal yang dimaksud Orocnuk itu tidak lain dan tidak bukan adalah ganja, meskipun aku masih belum mengerti hubungan antara marginal dan rokok ganja, dan di mana letak marginalnya rokok ganja itu. Aku menganggap ucapannya itu sebagai gurauan saja.

"Dari mana kau dapat barang itu, Nuk?" tanyaku. Saat itu kami masih di tingkat dua dan aku sering mendengar teman-teman lain memakai barang itu tapi baru kali inilah aku tahu kalau Orocnuk pun sudah ikut-ikutan mereka.

"Dari kawan di Jakarta," jawabnya, dan langsung membakar rokok itu. Di luar, hujan masih deras mengguyur taman kecil di depan kamarku. Aku memasang musik jazz dan menarik selimutku tinggi-tinggi. Segera setelah itu, Orocnuk batuk-batuk dan mulai menceritakan kepadaku segala hal yang diketahuinya tentang kebaikan dan keburukan dunia, yang membuat kepalaku semakin berputar-putar seperti ada bintang-bintang kecil yang berkeliling di atas ubun-ubunku.

Sebelum aku jatuh tertidur kutanyakan kepadanya ke mana saja ia selama ini dan apa saja yang telah dikerjakannya. Orocnuk mengatakan ia tidak melakukan banyak hal akhir-akhir ini kecuali bahwa ia bekerja di sebuah LSM, membuat komik penyuluhan dan membantu mengorganisasi demo-demo buruh di daerah dan juga mengikuti seminar-seminar yang membahas masalah sosial-politik yang sedang hangat.

Tentu bukan hanya itu karena aku tahu ia juga terlibat dalam hal lain seperti menjadi penyulih suara di sebuah telenovela. Setelah itu kami diam sebentar. Dan di antara asap ganja yang membumbung itu aku melihat wajah Orocnuk memerah dan sering terlihat tersenyum sendiri yang kemudian membuatku ingin tersenyum juga, dan makin tersenyum manakala kulihat sembunyi-sembunyi senyumannya yang makin mengembang, dan ketika pada suatu saat mata kami bertemu, meledaklah tawa kami.

Kami tertawa sampai perut kami sakit. Ketika kami sudah mulai tenang kembali, aku menanyakan pendapatnya mengenai gambarku di dinding yang memperlihatkan seorang lelaki tua berkepala botak dengan perut buncit yang sedang duduk di kursi yang kakinya sudah tinggal tiga. Orocnuk langsung memasang tampang serius dan malah menjelaskan mengenai asal-muasal lahirnya karikatur.

"Kau tahu, Rem," katanya dengan mata merah cemerlang, "Kita ini buta. Karikatur itu dulunya berasal dari Inggres dan dipakai kaum buruh Inggres untuk menyerang pemerintah yang sewenang-wenang. Senjata yang ampuh, karikatur itu, Rem."

Selain itu Orocnuk juga mengatakan bahwa kita ingin melihat pemerintahan yang cukup konsisten dengan sosialismenya, lihat saja Kuba yang seluruh rakyatnya hidup dalam semangat sama rasa-sama rata, meskipun banyak juga yang kabur dari Kuba mencari suaka ke negara-negara Barat.

Lalu dengan maksud bergurau kutanyakan kepadanya apakah dengan demikian rumah Fidel Castro sama dan sebangun dengan rumahnya Speedy Gonzales, yang disambut oleh gelak tawa Orocnuk sambil bertanya siapakah Speedy Gonzales. Tapi sebelum sempat kusahuti "semacam tikus", tiba-tiba saja kurasakan perutku bergolak hebat dan berkriuk-kriuk meminta nasi yang banyak dan kalau mungkin dengan lauk rendang atau apapun yang bersambal.

Saat itulah aku teringat perkataan Orocnuk mengenai rokok marginal. Di sinilah rupanya letak marginalnya, pikirku, sambil mengusap-usap perutku. Rasa lapar itu membuatku merasa marginal sekali dan merasa menyatu dengan orang-orang lapar di seluruh dunia.

"Nuk, kau lapar tidak?" tanyaku.

"Nah, sekarang," kata Orocnuk sambil tersenyum, "Sudah paham kan kenapa rokok itu disebut rokok marginal?" Malam itu kami tertawa seperti saudara.

Keesokan paginya aku bangun dan menemukan Orocnuk sudah tak ada. Ia menuliskan pesan di kertas yang ditempelkan di dinding kamarku:

Rem, aku bangun duluan. Aku mau mengambil barang-barangku dan langsung ke Jakarta. Kapan-kapan kita lanjutkan lagi obrolan kita. Terima kasih atas tumpangannya. Orocnuk.

Setelah malam itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Ia dinyatakan hilang pasca Kerusuhan Mei 1998.

Jimmy Anggara bekerja sebagai penerjemah lepas, tinggal di Jakarta

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads