Tiga Pilihan Penutup bagi Ted di Jakarta

Cerita Pendek

Tiga Pilihan Penutup bagi Ted di Jakarta

Lesmana - detikHot
Sabtu, 26 Sep 2020 10:16 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Pilihan I

Tidak ada yang bisa menolong Ted di Medan Merdeka. Ia tahu, tetapi terus berjalan ke arah sana. Kini sudah empat kilometer sejak ia beranjak dari emperan Ratu Plaza-tempatnya biasa minum kopi murahan seusai bekerja. Diam atau pulang pun sama saja, begitu pikirnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia benar, sekaligus salah. Nanti saya jelaskan, sekarang kita perhatikan saja lelaki dua puluh tujuh tahunan itu. Kedua kakinya mulai lelah dan, kalau diperhatikan benar-benar, ada warna basah di bagian celana yang menutupi belakang lututnya. Tengkuknya mengilap, rambutnya lembap. Andai kita berjalan tepat satu meter di belakangnya, kita akan mencium bau seperti air dalam gelas plastik yang dijadikan asbak.

Sing me to sleep, bibir Ted bergerak mengikuti lagu yang dikirim gawainya lewat earphone berkabel kusut. Ia tidak terhibur dan tidak bertambah sedih saat melakukan itu, sebatas memberi basa-basi kinetik kepada musik. Lagi pula ruang-ruang di pikirannya sudah menyempit karena hal panas yang memuaikan persoalan: pemecatan tanpa pesangon.

Ia menghentikan langkahnya di seberang Sarinah, lalu duduk menunduk di pecahan pot jalan. Sudah pukul delapan malam sekarang dan sejauh ini, memang, tidak ada apa-apa yang bisa menolongnya. Bahkan, tidak sepotong ide pun melintas di pikirannya. Hanya kuldesak --sebuah kata yang selama ini ia kagumi penemuannya-- terus-terusan mendesak muncul sebagai satu-satunya yang patut diucap untuk merangkum semuanya.

ADVERTISEMENT

Saat mengangkat kepalanya dan menarik-embus napas panjang, Ted melihat penjual kopi keliling melintas. Ia hampir memanggilnya, sebelum ingat bahwa saat ini ia benar-benar tidak punya uang. Sepeser pun. Uang terakhir yang dimilikinya, selembar lima ribuan, sudah ia belikan sebatang rokok; sebungkus roti goreng isi kacang hijau; dan air mineral gelasan. Ia pun mengalihkan tatapannya ke sekitar, kosong tanpa tujuan yang jelas.

Sementara tokoh kita beristirahat, kita bisa sedikit melebarkan pandangan. Di seberang Ted dan sekitarnya, yang tidak bisa ia lihat karena terhalang halte Transjakarta, orang-orang memenuhi restoran. Orang-orang juga memenuhi trotoar, lobi gedung milik sebuah perusahaan konglomerasi, dan sudut-sudut lainnya di kawasan ini. Ratusan mobil dan motor bergantian melintas, cahaya lampu bertebaran di sepanjang pandangan.

Hidup masih berlangsung bagi banyak orang di kota ini. Di kawasan ini, di tiap kanan dan kiri trotoar yang memanjang dari Senayan ke tempat Ted beristirahat sekarang. Kalau kita mengganti tokoh utama dalam cerita ini, yang artinya juga harus mengganti banyak bagian lain dan hanya menyisakan latar tempat, mungkin kita bisa mendapati cerita yang lebih optimistik. Misalnya, dengan judul Kisah Sukses CEO Muda Jakarta.

Namun kita tidak perlu melakukan penggantian semacam itu dan, setidaknya sekali saja, kita bisa lanjutkan cerita ini sebagaimana adanya. Mari kita kembalikan pandangan kita ke Ted, yang sudah mulai berjalan lagi. Sekarang ia berjalan lebih lambat, antara karena kelelahan atau dorongan untuk lebih merasai embusan angin malam. "Aku bisa menodong seseorang," batinnya beberapa detik yang lalu.

Pilihan II

Tidak ada yang bisa menolong Ted di sini, di emperan Ratu Plaza. Ia tahu, tetapi tidak punya niatan untuk beranjak ke tempat lain. Rokoknya hanya sebatang, rotinya sudah menjeda lapar sembilan jam, dan tidak ada lagi yang bisa ia minum. Pulang atau beranjak ke mana pun sama saja, begitu pikirnya.

Ia benar, sekaligus salah. Nanti kita mengerti, sekarang kita perhatikan saja lelaki dua puluh tujuh tahunan itu. Bokongnya mulai panas duduk di batu dan, karena itu, ia mulai kasak-kusuk mencari tempat dan posisi yang lain. Sesekali ia menatap ke arah halte Transjakarta, melihat orang-orang yang sabar menunggu bus, meski tidak punya pikiran apapun tentang semua itu. Berlapis-lapis pikirannya diisi hal yang lain.

"Kuldesak," bisiknya. I don't want to wake up on my own anymore, lagu yang dikirim gawainya lewat earphone berkabel kusut terdengar.

Biasanya, Ted tidak bersikap seperti ini, maksudnya duduk merokok sambil mendengarkan musik. Ia lebih suka berbincang dengan penjual rokok-bukan berbasa-basi, tetapi benar-benar berbincang. Suatu kali mereka berbincang tentang apakah anak Si Penjual Rokok punya kesempatan untuk berkuliah, suatu kali yang lain tentang stroke yang diderita ayah Ted. Suatu kali yang lain tentang yang lain lagi.

Si Penjual Rokok tahu temannya sedang kesulitan malam ini. Namun ber-earphone di kota ini, bahkan kalau sebenarnya tidak ada musik atau apapun yang sedang disimak, berarti larangan untuk mengganggu. Karena itu, ia urung menegur Ted dan hanya bisa sesekali melirik. Ia terus menahan diri, meski diam-diam mulai sangat khawatir karena sekarang sudah setengah sebelas malam dan Ted masih begitu.

Dari yang tidak punya apa-apa, semua diambil, kata Ted dalam sebuah diskusi jalanan bersama pelanggan Si Penjual Rokok yang lain. Saat itu, mereka sedang terusik oleh kenaikan harga-harga dan bagaimana dampaknya bagi rakyat miskin kota. Bahkan bila mereka sudah kehilangan nurani, nyawa mereka masih diincar, lanjut Ted. Kini ia ingat diskusi itu dan merasa bahwa tiap kata yang ia ucapkan adalah ramalan bagi dirinya sendiri.

Ia juga ingat suatu masa, saat ia masih lajang, naif, dan berpenghasilan kecil. Tepatnya, lima tahun lalu di Menteng. Saat itu, ia tinggal di kontrakan kumuh, berbaur bersama orang-orang yang tidak sadar bahwa sebenarnya mereka sudah kalah di kota ini. Ia ingat keluarga beranak tiga yang tinggal di sebelahnya: ibu yang sering memaki, balita yang rewel karena kepanasan, dan ayah yang pulang membawa kebangkrutan ala meja judi.

Ia ingat, ada satu pasangan muda yang juga tinggal di kontrakan itu. Saat itu, ia pikir, bagaimana mereka bisa berbahagia saat ruang yang mereka tinggali hanya berdinding kayu lapuk dan siapa pun bisa mendengar percintaan mereka. Belakangan ia mengerti, keintiman adalah salah satu yang sudah diambil dari mereka. Tapi tidak ada yang bunuh diri di sana, batin Ted, seolah kenyataan semacam itu bisa membangkitkannya lagi.

"Mas," Si Penjual Rokok tidak tahan lagi. Ia perlu mengulang sapaan itu dan menepuk pundak Ted untuk mendapat respons. "Lagi kenapa?" lanjutnya dengan suara yang diayun demi menunjukkan kepedulian yang tidak dibuat-buat. Kemudian Ted melepas satu per satu earphone-nya dan menggerakkan alis kirinya sebagai hmmm. Betapa dingin tatapannya-sangat dingin hingga Si Penjual Rokok menggigil.

Pilihan III

Ted sangat kenal sepasang mata itu, yang tampak di kaca saat ia memandang ke luar bus. Sepasang mata yang pernah padam, nyala, dan kini kembali padam. Setengah jam lagi ia akan bertemu istri dan anaknya dengan sepasang mata itu. Meski tahu kekalahannya akan sempurna saat ia sampai di rumah, ia tetap berpikir pulang sajalah.

Ia benar, sekaligus salah. Nanti kita bersepakat dengannya, sekarang saya beri tahu satu hal: lelaki dua puluh tujuh tahunan itu sudah tidak bekerja sejak minggu lalu. Senin lalu, tepatnya, adalah hari terakhirnya sebagai karyawan. Jadi, ia sudah mengelabui istrinya dengan bangun pagi dan beranjak keluar rumah sejak Selasa lalu. Ia naik bus ke Senayan, memang, tetapi tidak pernah memasuki kantor apapun untuk mengerjakan apapun.

Sesampainya di rumah, niatnya, ia akan membagi semua kesusahan kepada istrinya. Kini pikirannya ditarik ke sana ke mari, antara bagaimana ia menyampaikan semua yang sedang terjadi kepada istrinya dan apa yang bisa dilakukan olehnya besok-dan seterusnya. Namun semakin dekat dengan rumah, ia kian terlihat akan berakhir tanpa apapun yang menyelamatkan. Sepasang matanya kian jauh menatap, hampir tersesat.

Itulah gang menuju rumah Ted, agak gelap dan sepi. Ia berdiri cukup lama di ujung gang itu, dengan punggung yang lembap dan bau asap rokok di tengkuknya. Beruntung orang-orang sudah masuk ke rumah masing-masing, ia tidak perlu bertegur sapa dengan siapa pun. Pengingat untuk mengisi daya gawainya memberi jeda satu detik di lagu yang sedang ia putar, mengusik tindak kosongnya. Hey you, would you help me to carry the stone?

Sementara tokoh kita mulai melangkah, mari masuk ke rumahnya lebih dulu. Tidak ada siapa-siapa; tidak di kamar tidur, tidak di kamar mandi, tidak di ruang tamu, tidak di dapur. Lampu-lampu dimatikan, bahkan termasuk lampu teras yang biasanya tidak pernah telat dinyalakan. Istri dan anaknya tidak ada di sini, sudah jelas, tetapi Ted mungkin tidak menduga hal itu-hampir pasti karena ia percaya keduanya adalah teman paling setia.

Saat akhirnya ia sampai, Ted tahu istrinya sudah beroleh informasi dan apa lagi yang akan direnggut dari hidupnya. Dari bawah pot dekat pintu depan, ia ambil kunci tanpa gantungan. Berbeda dari malam-malam sebelumnya, kali ini kunci itu ditemani secarik kertas. Kemudian ia masuk, merebahkan diri di lantai berlapis karet alfabet anak-anak, dan menyerahkan jiwanya pada tidur yang lebih dalam dari yang bisa dijangkau mimpi-mimpi.

Secarik kertas yang Ted ambil tadi terselip di antara telapak tangan dan dadanya. Tunggu sebentar, saya akan membacakan apa yang tertulis di sana kalau tangannya bergerak. Sambil menunggu, saya ceritakan hal lain: pada malam selepas ia dipecat tanpa pesangon, ia tertidur dalam posisi yang sama dan di tempat yang sama; yang berbeda hanyalah apa yang terselip di antara telapak tangan dan dadanya.

Malam itu, gawainyalah yang terselip di sana. Berjam-jam ia memandangi foto-foto anak dan istrinya, berjibaku dengan perasaan aneh yang lahir dari cinta yang besar dan rasa bersalah. Sebelum akhirnya tertidur, tanpa sempat beranjak ke kamar, yang terakhir ia pandangi adalah foto paling berharga: keluarga kecil tersenyum di depan miniatur kapal-kapal penjajah, di bagian awal sajian cerita Museum Bank Indonesia.

Ted sudah sadar saat itu, ia bisa saja kehilangan pekerjaan, lalu kehilangan keluarganya selagi ia mencari pekerjaan baru. Kesadaran itu lahir dari sisa uangnya yang tidak akan bisa menyelesaikan tiga persoalan sekaligus: biaya sewa rumahnya, makan sekeluarga untuk dua bulan, dan beberapa tagihan dari cicilan yang gegabah ia ambil. Bahkan kalau ia langsung mendapat pekerjaan baru, ongkos hariannya akan menambah persoalan.

Oh, lihatlah, Ted menggerakkan tangannya! Namun sial, kita masih harus menunggu karena secarik kertas itu hanya terbuka sebagian. Meski terus bergetar seperti tarian Bowie dalam Blackstar, tangan Ted tidak banyak bergeser. Untuk sementara --baiknya mungkin begini-- saya bacakan dulu apa yang sudah terlihat:

"Aku telepon kantormu...."

"Kenapa kamu berbohong, Ted?"

"Aku tidak mau anak kita...."

Dan, "Jangan menyusul dulu...."

Keterangan:

Sing me to sleep dan I don't want to wake up on my own anymore lirik lagu Asleep oleh The Smiths
Hey you, would you help me to carry the stone? lirik lagu Hey You oleh Pink Floyd

Lesmana lahir di Tangerang, 7 Juli 1992. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Bekerja sebagai penulis wara di Jakarta Pusat

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads