Aku bangkit dari kursi kayu dan berdiri menengadah. Kupandangi langit-langit rumah masa kecilku. Sarang laba-laba menggantung rendah menutupi separuh rumah. Bentuknya serupa kelambu yang dulu digunakan ibuku, tampak rapuh karena telah lama ditinggalkan tuannya. Letak meja, gantungan sapu, vas bunga, dan kalender memudar tahun 2002 bertemakan Piala Dunia Korea Jepang. Tak kurang satu barang pun sejak aku meninggalkannya delapan belas tahun lalu.
Ayahku meninggal karena tuberkulosis ketika aku berusia dua belas, dan ibuku menyusul tak lama setelahnya. Perempuan tua itu terus menangis, membawa kesedihan dan rindu kepada suaminya dalam setiap doa-doanya. Pada suatu subuh-subuh buta, ketika hendak mengambil air wudhu di halaman belakang rumah, ibuku terpeleset dan roboh di bak penyimpanan air. Jadilah aku seorang yatim piatu.
Aku tak ingat lagi bahwa segala yang ada di sini benar-benar nyata. Aku membuka jendela kayu yang sepasang engselnya rusak dan papannya telah lapuk dimakan rayap. Syukurlah, tak ada seorang pun, entah bocah gembala atau orang iseng yang tergoda untuk mencabuti papan dindingnya. Jendela yang terbuka membawa mataku ke pemandangan di luar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aku mencoba merangkai benang kusut ingatan atas berbagai tempat dan peristiwa. Lapangan bola kecil di sebelah timur dan jalanan setapak yang kini telah teraspal di sebelah barat. Jalanan itu dulunya hanyalah sebuah garis hitam memanjang, sering dilewati kawanan kerbau dan berlumpur pada musim hujan. Di sebelah selatan ada garis pantai dipenuhi rimbun kelapa berbatang kerdil.
Aku juga mengenali perubahan pada rumah-rumah tetanggaku. Rumah si fulan di sini, kantor desa di sana. Semuanya berubah, tapi rumah masa kecilku ini tetap dalam kemurungannya. Ini sedikit aneh, tapi membantuku untuk tetap terhubung dengan masa lalu.
Aku membuka jendela di sisi lain, membiarkan angin semilir masuk dan menerbangkan debu-debu beraroma apak. Aku menaruh ranselku di teras, menggeser beberapa perabot, dan mulai menyapu lantai.
***
Dia bilang akan menemuiku dalam beberapa hari lagi.
Awalnya dia tak percaya akan sosok yang dilihatnya. Kemunculanku yang tiba-tiba pasti mengejutkannya. Atau mungkin juga dia harus berjuang untuk mengenaliku. Aku mengenakan jaket bomber berwarna khaki dan celana jeans biru. Jika dia masih bisa mengingat remaja laki-laki yang senang bertelanjang dada dua puluh tahun lalu, dia tak akan menyangka bahwa orang yang sama telah memanjangkan rambut sampai sepundak dan berpenampilan parlente seperti sekarang.
Aku bahkan harus melepas maskerku untuk meyakinkannya.
Perempuan itu memandangiku lama, dari ujung kepala sampai kaki. Dia duduk di belakang meja dengan satu tangan memegang pulpennya. Puskesmas cukup lengang siang itu dan aku tak perlu mengantre untuk bertemu dengannya. Butuh waktu sesaat baginya untuk kembali ke kesadaran dan mempersilakanku duduk.
"Sudah sangat lama ya?" katanya pendek.
Aku mengangguk. Kukeluarkan Surat Jalan Bebas Covid-19 dari kantong celanaku. Dia memperhatikannya sebentar, tapi tampak tak begitu peduli. Dia bahkan tak membacanya. Sudut matanya melirik ke arahku.
"Jadi, kau pulang ke sini untuk tinggal atau hanya sementara?"
Aku tak pernah membayangkan pertanyaan ini sebelumnya. Kupikir puskesmas hanya akan memeriksa kesehatan para pendatang.
"Apa ini harus kujawab juga?" tanyaku spontan. Dia bilang tidak perlu sambil tersenyum.
Kini giliranku yang harus menahan napas untuk menghadapi serbuan ingatan yang datang tiba-tiba ini. Kekasih masa kecilku ini tetap cantik seperti dulu. Sepasang matanya yang besar, tulang pipinya yang tirus, dan hidung yang tinggi. Memang terdapat kerutan usia di sana sini, tapi itu tak mengurangi pembawaannya yang riang.
"Apa kabarnya Haerul?" tanyaku.
"Dia baik."
"Anak-anakmu?"
"Anita sudah kelas lima sekolah dasar dan yang kecil masih setahun."
"Jadi, Haerul menjaga yang kecil?"
"Tidak. Dia pergi bekerja. Apa dia tak pernah meneleponmu? Atau kau yang benar-benar telah kehilangan hubungan dengan desa ini? Kau bahkan tak tahu kalau suamiku sudah jadi pegawai di dinas peternakan."
Caranya menyebut 'suamiku' mengejutkanku. Entahlah, aku tahu dia telah menikahi sahabatku sendiri untuk waktu yang lama, tapi mendengarnya berbicara seperti itu membuat perasaanku tak enak.
"Selamat kalau begitu. Dia pasti telah jadi suami yang baik."
"Bagaimana denganmu? Terakhir kudengar mereka bilang bahwa kau menjadi bos di perusahaanmu sendiri."
Jadi, kau juga penasaran tentang hidupku? Aku ingin mengatakan itu, tapi segala sesuatunya tersumbat di tenggorokan. Aku hanya menggeleng lemah. Orang-orang di desa ini memang senang menambah-nambah cerita. Dipikirnya setiap orang yang merantau pasti sukses.
"Baiklah. Aku simpan surat ini. Pulanglah dulu ke rumahmu. Kamu wajib berdiam selama empat belas hari dan kami akan mengirim beberapa petugas ke sana untuk memeriksa kesehatanmu lebih lanjut."
Aku bertanya apakah berita yang kudengar dari orang-orang tentang desa ini benar adanya. Mereka bilang virus telah menjangkiti delapan orang. Sungguh aneh, menurutku. Sebuah desa kecil berjarak setengah hari dari ibu kota provinsi dan penduduk tak lebih dari tiga ratus kepala bisa terkena secepat ini. Dia mengangguk yakin.
"Semua orang di desa ini juga semula berpikir seperti itu. Mereka berdebat ketika muncul imbauan yang melarang para pelancong masuk. Dan ketika semua telah telanjur terjadi, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain mencegah korban lain berjatuhan."
Aku berdiri dari kursiku dan menaikkan ransel ke punggung, bersiap-siap untuk pergi. Digerakkan oleh suatu dorongan yang datangnya entah dari mana, aku menanyakan apakah dirinya sendiri yang akan datang menemuiku atau seseorang yang lain.
Alisnya mengerinyit tak mengerti.
Ketika telah sampai di rumah, aku menyesali diri karena terlihat mengemis kepadanya. Tetapi jika aku tak melakukannya, aku tak akan tahu bahwa dia juga sebenarnya ingin bertemu lagi denganku. Matanya berbinar ketika berjanji akan mengusahakannya.
***
Aku kembali ke desa yang terlupakan ini tanpa pernah memikirkan bagaimana kelanjutan hidupku ke depan. Hidupku seperti reruntuhan puing kapal yang tenggelam ke dasar laut. Demikianlah pandemi membawa pergi semuanya.
Aku telah menginvestasikan seluruh tabungan masa mudaku untuk membangun bisnis travel sesaat sebelum perintah lockdown dikeluarkan pemerintah. Bandara-bandara sepi, penerbangan dibatasi, liburan ditiadakan, beberapa kesepakatan bisnis dibatalkan sepihak. Aku harus merumahkan seluruh karyawanku.
Yang terburuk, aku tak bisa lagi menanggung semua ini sambil menunggu tabunganku habis sehingga kuputuskan menjual satu-satunya yang tersisa, ruko bekas kantor, dan kembali ke kampung halaman orangtuaku.
Kini, di tempat ini, aku dihadapkan dua masalah sekaligus. Keluar dari masalah ekonomi esok hari dengan uang tersisa di kantong dan melihat masa lalu berlalu lalang di sekitarku. Aku tak pernah mengalami ini sebelumnya.
Aku, Haerul, dan Tina adalah sahabat masa kecil. Kami melakukan banyak hal bersama di masa lalu. Jika hidup adalah sebuah kisah sinetron, keberadaanku di sini mungkin akan menjadi duri yang merintangi jalan cerita. Ini tentu konyol, karena untuk beberapa waktu orang-orang berpikir bahwa akulah yang seharusnya menikahi Tina.
Kalian tidak salah dengar. Haerul bukanlah siapa-siapa dalam cerita ini. Ketika usia sudah cukup dewasa untuk memilih, aku dan Tina harus berjuang menjaga perasaan Haerul, karena gadis itu memilihku sebagai kekasihnya. Semua orang tahu ini. Aku dan Tina berada pada level yang sama. Kami memiliki ketertarikan yang sama; pada buku, hobi, hingga topik pembicaraan.
Sementara Haerul hanyalah lelaki pemalas dan tak tahu apa-apa. Dia beberapa langkah di belakang kami. Dia tak menaruh minat pada apapun sehingga orang-orang cenderung akan mengomentari secara tak adil kelebihanku atas dirinya. Butuh waktu lama untuk Herul yang pencemburu kembali ke sikap bersahabatnya.
Lalu, seperti sapuan angin, semuanya hilang begitu saja. Dalam setahun, kedua orang tuaku meninggal dan aku mendapati diri sendirian di dunia. Aku meninggalkan bangku kelas dua sekolah menengah atas dan menerima panggilan bekerja pamanku di Kalimantan. Satu hal yang tak kusadari waktu itu adalah aku terlalu naif mempercayai kesetiaan hati Tina. Sementara hal lain yang terlambat kusadari adalah tidak ada lagi jalan kembali ke sini.
Haerul mengambil kesempatan untuk menikahi kekasihku. Aku tak marah kepada keduanya. Aku hanya sedikit terkejut mengetahui bagaimana pengkhianatan ini bisa terjadi.
***
Aku menunggu. Tina tak pernah muncul di rumah ini. Dia juga tak mengirim seorang pun untuk menggantikannya. Tak ada petugas berpakaian APD lengkap yang mengetuk pintu rumahku. Tak ada mobil dinas kesehatan yang berhenti di pekarangan.
Jalanan benar-benar sepi di siang hari. Hanya terdengar hembusan angin. Perahu-perahu ditinggalkan di dermaga. Sesekali aku mendengar sirene ambulans di kejauhan. Apakah itu korban yang lain? Kalau benar, itu yang ke berapa? Aku tak tahu.
Dua puluh satu hari berlalu dan aku hanya menghabiskan waktu duduk di dekat jendela, memandangi apa saja di luar sana. Pada satu titik aku bisa merasakan waktu berhenti. Gerobak berisi buah kelapa teronggok di tepi jalan, entah sejak kapan. Orang-orang di jalanan menghilang satu per satu.
Aku terjebak di masa lalu dengan mengingat-ingat kenangan yang tersimpan pada benda-benda yang kutemui; foto keluarga lama, kartu wayang, piring ibu bertuliskan namaku, bangku kayu dan tungku tembikar, semuanya. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Kepalaku kosong.
Bahkan ketika sebuah ketukan pelan di pintu membangunkanku pada malam hari, ketukan yang hangat dan tak asing, aku dihinggapi keraguan. Semuanya seperti mimpi. Apakah itu dari Tina atau hanya ketukan biasa di dalam hatiku sendiri. Sebuah ketukan yang datang dari masa lalu.
Kaisar Demelo bergiat di Komunitas Sastra Pa'daengan, Makassar
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)