"Bapak mau ke mana?"
Lelaki yang melamun sejarak dua stasiun sejak ia naik kereta itu terkaget.
"Apa aku benar-benar terlihat seperti bapak-bapak?"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kumis dan jenggot bapak cukup lebat."
"O, ini," ia menunjuk jenggot dan kumisnya, "Ceritanya panjang."
"Saya yakin perjalanan bapak juga masih panjang. Bapak boleh cerita."
"Tidak, terima kasih."
"Bapak belum jawab. Bapak mau ke mana?"
"Kamu bekerja di surat kabar ya? Suka sekali nanya-nanya."
"Pekerjaan saya tidak terlalu penting."
"Pasti di surat kabar. Sepertinya kamu cocok bekerja di surat kabar."
"Jawab dulu bapak mau ke mana?"
"Aduh, kita semua di sini kan tahu kereta ini menuju masa lalu. Tidak penting masa lalu di bagian mana. Sudah ya."
"Ke masa lalu?" Perempuan itu tertawa ringan. "Kereta ini menuju ke masa depan. Bapak salah kereta."
"Ke masa depan? Tidak mungkin. Aku yakin yang kubeli tadi tiket yang benar."
"Baiklah, lupakan saja. Bapak bisa berhenti di stasiun terdekat dan berbalik arah. Dalam rangka apa bapak ke masa lalu?"
"Apa aku benar-benar salah kereta?"
"Petugas tiket stasiun memang suka sekali sengaja memberi tiket yang salah pada mereka yang ingin pergi ke masa lalu. Ya mungkin maksudnya kasih kesempatan orang-orang seperti bapak untuk berpikir ulang. Kan Bapak tahu, kita hanya diperbolehkan membeli tiket ke masa lalu sekali seumur hidup."
Lelaki itu menghela napas panjang. "Sialan. Aku sudah capek berpikir ulang. Mengapa akhir-akhir ini orang-orang suka sekali bikin jengkel. Surat kabar sialan."
Perempuan itu terlihat tak mengerti. "Bapak belum jawab, mengapa bapak ingin pergi ke masa lalu?"
"Kamu sudah pernah ke masa lalu?"
"Sudah."
Lelaki itu mengerutkan dahi.
"O... itu sebabnya kamu tahu soal petugas loket yang sengaja memberikan tiket yang salah?"
"Begitulah. Saya duduk sebangku dengan seorang nenek tua yang katanya lelah punya umur terlalu panjang. Nenek itu yang memberitahu saya saya soal salah kereta. Persis seperti saya sekarang, nenek itu suka sekali menanyakan banyak pertanyaan. Dan dia tidak bekerja di surat kabar."
"Aaa... jadi itu sebabnya kamu senang sekali nanya-nanya. Tapi aku masih yakin kamu bekerja di surat kabar."
"Jadi dalam rangka apa bapak ingin ke masa lalu?"
"Untuk apa kamu ke masa lalu?"
"Bapak bekerja di surat kabar ya? Ditanya malah balik nanya."
Lelaki itu menghela napas tidak senang.
"Baiklah. Aku seorang pianis yang mahir. Tapi istriku, lebih mencintai pemain gitar. Ia dibawa lari laki-laki yang pandai bermain gitar. Sudah kuduga, dari awal aku salah belajar alat musik. Soal kumis dan jenggot ini," ia menunjuk bulu mukanya lagi, "Ini bagian dari jazz. Aku mau perbaiki masa laluku. Pindah profesi jadi gitaris."
"Jazz? Bapak bermain jazz?"
Perempuan itu sedikit terpingkal. "Saya belum pernah baca di surat kabar mana pun kalau jenggot dan kumis adalah bagian dari jazz."
Lelaki itu terlihat kurang senang dengan komentarnya.
"Maaf kalau bapak tersinggung. Tapi lucu sekali. Hari ini saya bertemu dengan dua lelaki yang sama-sama ingin ke masa lalu untuk menukar keahlian alat musik."
Lelaki itu tampak tak mengerti.
"Sebelum bapak, ada lelaki seumuran saya yang duduk di sini. Ia juga salah kereta. Ia tidak bekerja di surat kabar. Mengaku mahir bermain gitar. Ya katanya ia biasa mengamen di kota-kota besar di Eropa. Saya harap ia tidak berbohong, sebab wajahnya sudah mirip John Mayer."
"John Mayer?" Lelaki itu tampak tak paham lagi.
"Ya."
"Apa John Mayer ini mahir sekali bermain gitar?"
"Bapak tidak tahu John Mayer?" Perempuan itu terpingkal. "John Mayer juga pandai sekali menyanyi. Semua perempuan pasti jatuh cinta melihatnya menyanyi sambil bermain gitar."
"Sudah kuduga. Pasti istriku juga menyukai John Mayer."
Perempuan itu terpingkal lagi.
"Bagaimana denganku? Apa mukaku ini mirip dengan pianis jazz yang kamu tahu? Sepertinya kamu rajin membaca surat kabar. Lagipula kamu memang bekerja di surat kabar."
Perempuan itu berpikir sejenak. "Saya tidak begitu tahu soal pianis atau jazz."
"Sudah kuduga, perempuan lebih suka pemain gitar."
"Tapi saya suka film-film Woody Allen."
"Siapa ini Woody Allen? Dia juga pandai bermain gitar ya? Jangan-jangan kamu hanya membaca surat kabar para pemain gitar."
"Hmmm, saya mulai yakin kalau bapak jarang membaca surat kabar."
Lelaki itu tertawa kecut.
"Woody Allen suka sekali membuat film-film bernuansa jazz. Saya bahkan agak curiga kalau filmnya yang berjudul A Rainy Day in New York itu sebetulnya jiplakan lagu Everything Happens to Me dalam bentuk film. Bernuansa jazz tentu saja. Bapak bisa memainkan Everything Happens to Me pada piano? Ngomong-ngomong lagu itu dimainkan di film ini pada piano."
"Tentu saja aku bisa. Apakah itu akan membuatmu percaya kalau aku mahir bermain piano? Atau setidaknya membuatmu berpikir bahwa aku adalah lelaki yang menarik seperti John Mayer?"
"Bapak cukup tua untuk menjadi bapak saya"
"Lupakan saja. Aku hanya butuh jawaban apakah bila ada lelaki muda yang memainkan Everything Happens to Me pada piano, apakah itu menarik bagi perempuan sepertimu?"
"Tentu saja. Dipikir-pikir tokoh utama dalam film A Rainy Day in New York perawakannya mirip bapak. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tidak berdada bidang, tidak atletis. Tapi tentu saja lebih muda dari bapak."
"O, setelah kamu bilang saya ini sudah tua, sekarang kamu bilang tubuh saya tidak ideal sebagai lelaki? Apa begitu cara pikir surat kabarmu di mana kamu bekerja? Surat kabarmu pasti banyak dapat duit dari industri busana. Ngatur-ngatur tubuh orang."
Perempuan itu terpingkal.
"Lalu apa yang kamu lakukan di kereta masa depan ini? Buang-buang umur saja."
"Saya senang naik kereta. Bertemu dan bicara dengan bermacam orang. Apalagi dengan orang yang salah kereta seperti bapak."
"Jadi kamu juga menyukai orang-orang yang salah kereta. Lalu apa alasanmu kembali ke masa lalu? Saya sudah mulai capek bertanya berulang-ulang. Tolong mengerti sedikit, saya tidak bekerja di surat kabar."
Perempuan itu terpingkal lagi."Alasannya tidak jauh berbeda dengan bapak. Saya merasa salah memilih lelaki. Jadi saya putuskan untuk mengubah pilihan saya di masa lalu."
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Ya bapak bisa tebak. Sama saja. Tidak ada pilihan yang benar. Semua hanya soal konsekuensi."
"Ah, kamu terdengar bijak. Syukurlah kamu tidak bekerja di surat kabar."
"Mengapa bapak terdengar tidak suka sekali dengan surat kabar?"
"Istriku bekerja di surat kabar."
"Ooo," perempuan itu mengangguk panjang seperti menemukan jawaban yang lama sekali ia cari-cari.
Mereka kini sama-sama terdiam.
"Ngomong-ngomong bapak masih mau ke masa lalu? Bapak sudah melewatkan dua stasiun."
Lelaki itu hanya terdiam. Terlihat berpikir-pikir.
"Boleh saya kasih tau satu hal, Pak?"
"Apa itu?"
"Lelaki yang duduk di sini sebelum bapak, yang mengaku mahir bermain gitar, yang saya bilang mukanya mirip John Mayer, ia ingin mengubah dirinya menjadi seorang pianis."
"Halah, jangan ngarang cerita ya. Itu pasti akal-akalanmu saja supaya aku mengurungkan niatku ke masa lalu."
"Untungnya di mana kalau saya bujuk-bujuk bapak? Saya serius."
"Mmm, tapi masa bodoh juga dengan lelaki mirip John Mayer, jenis lelaki yang membawa lari istriku itu. Aku masih ingin pergi ke masa lalu. Tapi mungkin tidak lagi untuk mengubah diriku menjadi lelaki jenis John Mayer."
Perempuan itu terpingkal keras sekali kali ini. "Lelaki pemain gitar yang duduk sebelum bapak juga mengatakan hal yang sama. Apa saya sepandai ini mengurungkan niat orang hanya dengan bicara sejarak dua tiga stasiun?"
"Eh, jangan makin ngarang cerita. Kalau bicara yang serius-serius saja."
"Saya memang tidak bisa buktikan. Tapi saya tidak berbohong, Pak."
"Ah, tapi masa bodoh untuk kedua kalinya. Aku punya tujuanku sendiri sekarang."
"Bapak yakin masih mau pergi ke masa lalu?"
"Ya, aku yakin. Aku ingin ke masa lalu untuk menemuimu, meyakinkamu untuk tidak membuang-buang umurmu menaiki kereta ini."
Perempuan itu sontak kaget. Bingung.
"Maaf kalau itu membuatmu terkaget. Saya harap kamu tidak memiliki penyakit jantung atau semacamnya."
"Tapi..." perempuan itu masih bingung.
"Jangan khawatir, akan kutunjukkan padamu, aku benar-benar mahir bermain piano. Aku juga mahir memainkan Everything Happens to Me pada piano. Dan tentu saja, akan kubuktikan aku tidak setua yang kamu bayangkan. Aku yakin kita sebaya. Ya setidaknya tidak terpaut jauh-jauh amatlah."
"Bukan itu, Pak."
"Sudah kubilang aku tidak setua itu. Jangan panggil aku bapak lagi."
"Bukan itu. Tapi lelaki yang duduk di sini sebelum bapak juga mengatakan hal yang sama."
"Hah?" Lelaki itu mengerutkan dahi tak percaya. "Tolong katakan kali ini kamu benar-benar sedang bergurau."
Perempuan itu hanya terdiam datar.
Kini lelaki itu yang bingung.
Mereka sama-sama terdiam.
Masih terdiam.
"Jadi siapa yang akan kamu pilih? Lelaki jenis John Mayer atau lelaki yang mahir memainkan Everything Happens to Me pada piano?"
Magetan, 13 Februari 2020
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)