Tiga Fragmen Pandemi

Cerita Pendek

Tiga Fragmen Pandemi

Lidya Pawestri Ayuningtyas - detikHot
Sabtu, 08 Agu 2020 10:39 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Yang Tak Mungkin Kembali

Juwita, perempuan yang sudah menginjak usia enam puluh tahun, berjemur di teras depan rumah. Matahari sudah merayap naik, angin menyeret daun-daun basah sisa hujan semalam di pekarangan. Beberapa bocah tetangga berlarian sebelum akhirnya mereka menghilang di tikungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Juwita ingat pada suatu hari, mungkin lima puluh tahun yang lalu. Ilyas, kakaknya yang biasa ia panggil Mas Il, dan dirinya pernah seperti bocah-bocah itu juga. Berlarian di dekat rumah pada hari Minggu pagi. Kadang bergantian naik sepeda atau mengumpulkan biji-biji saga rambat. Terkadang mereka memetik buah kersen dan adu cepat siapa yang bisa mengambil lebih banyak.

Tapi kini Mas Il sudah tiada. Ia meninggal di laut, pada sebuah kecelakaan kapal feri saat menyeberangi selat Sunda. Tragedi itu menjadi berita nasional. Selama beberapa bulan, Juwita muda, kedua adik mereka yang usianya terpaut cukup jauh, dan kedua orangtuanya tak sanggup menonton televisi. Wartawan-wartawan buas menelepon ke rumahnya, mencoba mewawancara mereka. Mencoba menimba air mata yang mungkin masih tersisa.

ADVERTISEMENT

Segalanya lebih baik di tahun-tahun berikutnya. Juwita bertemu Yusuf, yang kemudian menjadi suaminya. Mereka memiliki sepasang anak, Musa dan Syifa, lalu pindah ke benua Afrika untuk mengajar di sebuah sekolah Indonesia.

Mereka menghabiskan lima tahun yang menyenangkan, lalu kembali ke pulau Jawa dan kini menetap di pinggiran Jakarta. Yusuf meninggal tujuh tahun lalu karena kanker paru-paru. Kini tinggal Juwita sendiri, mencoba menjelujur hari demi hari setelah pensiun dari mengajar di sebuah sekolah menengah negeri di daerahnya.

Saat itu pertengahan April. Sudah beberapa bulan sejak berita mengenai pandemi hilir mudik di radio dan televisi, juga menyelusup ke dalam pesan-pesan elektronik. Sejak pensiun akhir tahun lalu, ia menghabiskan waktunya untuk beribadah dan sesekali mencari hiburan. Terkadang mengobrol bersama tetangga, kawan sesama ibu-ibu pengajian. Terkadang ia melepas penat di grup Whatsapp ponselnya atau di grup keluarga besar. Sesekali di grup rekan sesama guru di berbagai sekolah tempat ia pernah mengajar. Atau menonton video di ponsel. Atau menelepon kedua adiknya. Namun, ia paling sering bertelepon dengan kedua anaknya.

Musa, si sulung, sudah sejak tahun lalu pindah ke Amerika untuk menempuh studi doktoral. Syifa, si bungsu, hampir di saat yang bersamaan pindah ke Riau setelah diterima sebagai pegawai negeri di salah satu perguruan tinggi di sana. Juwita selalu bangga dengan pencapaian kedua anaknya, namun rasa bangga tak bisa menyapu bersih lengang di sudut-sudut rumah.

Juwita terbatuk. Sejak bangun pagi tadi, ia merasa sedikit sesak. Berita pandemi yang menghujaninya dari segala penjuru membuatnya khawatir. Ia sudah rutin beribadah dan berdoa agar terhindar dari penyakit, ditambah dengan meminum rebusan jahe campur madu. Ia juga rutin berjemur, memakai masker tiap pergi ke luar rumah, dan mencuci tangan tiap akan masuk ke dalam rumah. Dan meminum vitamin. Ya, ia tidak boleh lupa meminumnya nanti setelah sarapan.

Dicobanya untuk mengingat sudah ke mana saja dalam dua minggu terakhir. Tidak ada yang khusus. Ia membeli sayur di tukang sayur keliling dengan mematuhi imbauan pemerintah. Berbicara dengan tetangganya pun sembari menjaga jarak. Tidak ada dari mereka yang baru pulang dari luar negeri atau luar kota. Semakin tua, semakin khawatir dirinya akan banyak hal. Tentang kesehatan dirinya, juga kesehatan dan keselamatan Musa dan Syifa.

Seperti firasat yang jadi nyata, sebuah dering telepon masuk ke ponselnya. Musa.

Ia akan meminum vitamin dan air rebusan jahe lagi, tetapi nanti. Diambilnya ponsel itu, batuk sekali lagi, dan menjawab telepon dari anaknya.

Yang Tak Kembali

Hari semakin memanjang di bulan April, namun bayang-bayang temaram akhirnya turun di balik jendela.

Musa melihat keluar dan mengembuskan napas. Langit gelap dan suhu di luar telah turun tiga derajat. Ia berlindung sendirian di lantai lima gedung kampus, di dalam ruang kerja bagi para mahasiswa doktoral seperti dirinya. Tadinya ia hanya ingin mengambil beberapa buah buku yang tertinggal di dalam loker dan mencetak tiga lembar dokumen. Namun ia memutuskan duduk sebentar di sana untuk mengecek e-mail yang masuk.

Sebenarnya hal ini dilarang, sudah ada peringatan dari pihak universitas bahwa para mahasiswa, dosen, dan staf dilarang mengunjungi kampus. Tetapi ia butuh ruangan yang lain. Kamar apartemennya terlalu sempit untuk satu setengah bulan yang panjang. Satu dua kali ia masih mampir ke tempat ini. Berteduh dari rindu akan pulang, karena ia percaya ia lebih aman berada di kota ini.

Terdengar suara kunci membuka pintu. Para mahasiswa memang mendapat satu kunci selama mereka kuliah di sini. Musa mengira-ngira siapa yang datang malam-malam begini. Pintu akhirnya terbuka dan sesosok perempuan muda masuk. Rupanya Hien, kawannya dari Vietnam. Ia di sini baru tiga bulan untuk melakukan penelitian, namun cepat menjadi akrab karena tinggal di gedung apartemen yang sama.

"Sedang apa di sini?"

"Mencetak dokumen. Kau?"

"Sama."

Lalu sunyi. Dibiarkannya Hien mencetak dokumen. Begitu selesai, ia duduk di hadapan Musa.

"Kau tidak pulang ke Indonesia?"

Musa menggeleng, "Sepertinya tidak. Meskipun aku khawatir tentang Ibuku. Tadi dia batuk-batuk di telepon."

"Cepat periksa, semoga dia baik-baik saja."

"Semoga. Kau sendiri pulang?"

"Oh, tidak. Setelah programku selesai bulan Mei, aku akan tinggal di rumah bibiku di Texas. Pemerintah negaraku sangat berhati-hati dengan repatriasi."

Musa mengangguk. Hien membuka ponselnya dan tiba-tiba berkata, "Kau tahu ada seorang laki-laki Asia dipukuli karena dianggap membawa virus?"

"Di sini?"

"Bukan, kota lain. Tapi di sini juga tidak aman. Kemarin ada tunawisma masuk ke dalam rumah kosong di dekat apartemen kita. Dan kau tahu, kemarin teman sekamarku diikuti seseorang begitu keluar dari bank."

"Mengerikan. Dia tidak apa-apa?"

"Ya, hanya sedikit ketakutan. Aku juga takut, sentimen terhadap orang Asia meningkat sejak virus itu menyebar. Tapi tenang saja, aku sudah membawa pluit untuk menarik perhatian."

Musa menatapnya heran.

"Untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi."

"Bagus. Tetapi seharusnya di saat seperti ini kau jangan bepergian sendirian, apalagi ketika hari sudah gelap."

"Benar, tapi aku butuh mencetak dokumen ini. Kau masih lama di sini? Aku mau pulang."

"Tidak, aku matikan komputer sebentar."

Mereka keluar dari ruangan itu, mengunci pintu, dan turun menggunakan lift. Meskipun lampu-lampu di dalam tetap menyala, Musa menyadari gedung itu telah kehilangan sentuhan manusia.

Mereka bergegas menyambut dingin dan sedikit rinai hujan. Gelap menggantung di atas. Musa berbalik, menatap sekeliling. Gedung-gedung tinggi mengitari mereka berdua seperti raksasa yang mengawasi mereka dalam diam.

Tiba-tiba ponsel di sakunya bergetar. Ia melihat nama penelepon, Syifa. Diusapnya layar ponsel yang basah karena recik hujan dan menjawabnya.

Yang Kembali

Syifa tidak pernah mau menjadi pegawai negeri, tapi ia tidak bisa menolak ketika Ibu memintanya mendaftar. Mungkin karena doa ibu atau memang karena beruntung saja, ia diterima.

Kakaknya menolak mentah-mentah dan lebih memilih kabur. Mungkin ia malah bersyukur karena tidak bisa pulang ke Indonesia. Tapi Syifa memilih pulang; ia takut tidak bisa merayakan Lebaran dengan ibunya. Paling tidak, ini kali terakhir ia bisa berlebaran dengan sang ibu sebelum ia menikah tahun depan. Dan siapa yang tidak ingin menjalankan puasa dengan keluarga?

Ia tiba di bandara pagi-pagi sekali. Menelepon kakaknya untuk mengabari dan menelepon Akmal, kekasihnya, untuk memberitahu bahwa ia sudah sampai. Ia sengaja tidak menelepon ibunya karena ingin memberikan kejutan. Lima belas menit kemudian, ia sudah di dalam mobil dengan Akmal dan meluncur masuk tol.

Ia dan Akmal berencana akan menikah awal tahun depan jika situasi telah membaik. Izin dari Musa sudah didapatkan, bahkan ia seperti tidak peduli jika dilangkahi -begitu istilah ibunya-, oleh dirinya dan Akmal.

Mereka berbicara tentang hal-hal ringan dan bercanda bahwa tahun ini, meskipun baru bulan keempat, sudah begitu melelahkan. Namun wajah lelaki itu berubah sungguh-sungguh ketika mereka hampir sampai di depan kompleks perumahan Syifa.

"Ada yang harus kubicarakan denganmu."

Syifa menatap wajah lelaki itu lekat.

"Aku..." Akmal menghela napas, "Berhenti bekerja akhir bulan ini. Diberhentikan. Ada belasan karyawan yang diberhentikan. Padahal cicilan untuk rumah kita nanti..."

Dirabanya bahu lelaki itu hati-hati, "Kita akan mencari jalan keluar bersama."

Akmal mengangguk. "Ibu tidak perlu tahu dulu."

Syifa menimbang-nimbang. Sampai kapan? Tapi ia tetap mengiyakan.

Mereka masuk ke gerbang kompleks dan mobil berhenti tepat di depan rumah. Dilihatnya sang ibu duduk di teras depan, terbatuk-batuk. Badannya terlihat ringkih. Syifa bergegas membuka pintu mobil. Akmal menyusul di belakangnya. Ingin dipeluknya sang ibu, tetapi ia harus mengikuti aturan. Setidaknya, ia harus mandi dulu dan berganti baju. Bandara dan pesawat tidak hanya memindahkan manusia, tapi lebih dari itu.

"Assalamualaikum, Bu. Syifa pulang."

Mata mereka beradu dan ibu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tapi sepasang mata itu tidak mampu menyembunyikan bahagia.

Ann Arbor-Depok, April-Juni 2020

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads