Hujan Pertama

Cerita Pendek

Hujan Pertama

Latif Nur Janah - detikHot
Sabtu, 01 Agu 2020 10:28 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Doelgani menyandarkan sepedanya ke pagar depan dengan hati-hati. Ia baru saja pulang dari rumah Pak Darmaji. Pagar yang ia buat sendiri dari bambu wulung itu berkerotak ketika menerima beban. Beberapa paku pengaitnya telah hilang dan sebagian yang lain rapuh tergerus cuaca dan karat.

Doelgani menyeka keringat. Dua bungkus benih padi dari kantong plastik yang masing-masing berisi dua setengah kilo dipindahkannya ke dalam karung. Lantas ia rendam dalam seember besar air. Sambil menggayung air dari bak penampungan ia merapal doa. Begitu yang ia pelajari dari mendiang bapaknya dahulu. Dalam hati ia berharap hujan akan datang dengan ramah, tak seperti dua hari yang lalu. Hujan mengguyur berselimut angin kencang hingga merobohkan beberapa pohon mahoni di dekat rumahnya.

Kalau perhitungan Doelgani tak melenceng, pertengahan November adalah waktu yang pas untuk menyemai benih padi. Hujan akan sering turun hingga beberapa bulan berikutnya. Besok ia akan lekas ke sawah. Dan, ia selalu berdoa dalam hati semoga November tak ingkar janji.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Doelgani menenteng dua ember cat ukuran sedang. Dengan ember itu ia akan mengambil air dari sumur Pak Mugi. Sebetulnya ia bisa saja menggunakan mesin untuk memompa air, atau meminta jasa Pak Mugi untuk menyiram benihnya yang mulai tumbuh. Namun, semua tak bisa berjalan kalau tak ada uang di tangan. Dan, kondisi seperti itu sudah berkawan lama dengan Doelgani dan emaknya.

Meski hujan sudah turun tiga kali sejauh ini, rupanya tanah sawah belum sepenuhnya berada pada kondisi siap tanam. Retakannya memang tak terlihat lagi, namun masih keras dan padat.

ADVERTISEMENT

"Kita jual padi yang dua karung itu ya, Mak," ucap Doelgani suatu sore bertabur gerimis. Bersama Emak, ia tengah duduk di bangku sembari menunggu Magrib.

"Bahkan kita belum menanam, Nak. Untuk apa?"

"Ya buat kebutuhan. Bisa buat bayar air Pak Mugi dan traktor."

Emak tak bicara. Doelgani pun tak berkata apa-apa lagi. Ia paham benar apa yang ia ucapkan barusan hanya sebuah penghiburan baginya. Dan, ia tahu Emak tak mungkin mau.

"Nanti kita bisa pinjam ke lumbung," Doelgani menambahkan. Namun, jelas sekali kata-katanya itu mengandung keraguan belaka.

Magrib tiba dengan sahaja. Kumandang azan dari surau Pak Mugi terdengar sayup dari rumah Doelgani. Lewat dua petak kebun mahoni, Doelgani dan Emak bergegas memenuhi panggilan-Nya.

Kebun itu dulunya milik orangtua Doelgani. Karena sakit yang tak kunjung sembuh, dua petak kebun itu terjual untuk pengobatan mendiang bapaknya. Setiap kali melewati kebun itu, getir betul perasaannya. Mahoni-mahoni itu kini sudah tinggi dan besar. Barangkali sebagian besar batangnya sudah berdiameter tiga puluh sentimeter.

Tak hanya Doelgani, emaknya pun merasakan pahit yang sama. Dua petak kebun itu dulunya dibeli dengan susah payah. Sekarang sudah menjadi milik orang lain. Hatinya semakin nelangsa setiap kali melihat Doelgani termangu memandangi pohon-pohon mahoni itu.

Pagi-pagi Emak sudah turun ke sawah. Menyibak rimbun singkong yang ia tanam di belakang rumah, Emak menenteng dua ember air. Semalam saat di surau Pak Mugi, Emak mendapat kabar bahwasanya sumur Pak Mugi telah ditutup cor semen. Sumur itu kini dipasang pralon panjang yang terhubung ke mesin, sehingga tak membahayakan orang-orang. Itu berarti Emak dan Doelgani tak bisa lagi mengambil airnya dengan timba.

Doelgani memandang emaknya dengan pilu. November telah lingsir, namun tetap kering. Angin terasa begitu panas menerpa wajahnya. Dua karung padi yang teronggok di dapur menohok hatinya. Kalaupun Emak mengizinkannya menjual, itu sama artinya mereka tak punya persediaan beras untuk beberapa waktu ke depan. Dan meminjam ke lumbung, sama saja akan memberatkan Emak nantinya karena mereka harus membayar bunga meskipun kecil.

Berjalan kaki, Doelgani menyusul Emak ke sawah. Sepanjang setapak kecil jalan sawah, mesin-mesin pompa air dan suara traktor memenuhi telinganya. Hampir seluruh sawah di kanan-kirinya sudah siap tanam. Air disalurkan melalui pralon dan selang-selang besar. Jika air sudah penuh, tanah itu lantas diolah dengan traktor mesin yang meraung-raung. Semua pemilik sawah ikut mengantre air dan traktor.

"Dulu, Emak sanggup mencangkul satu petak ini sendirian," ucap Emak ketika Doelgani ikut duduk di sampingnya.

Doelgani tak pernah lupa. Ketika masih sekolah dasar dulu, Emak masih mampu bekerja sembari menggarap sawah. Saat itu, sebelum dan sepulang bekerja, ia sempatkan nyambi apa yang bisa dikerjakan di sawah. Ia mampu mencangkulinya sendirian. Namun, itu jauh sebelum banyak traktor dan mesin pompa. Semua petani menggantungkan air hujan. Tak ada ketergesaan. Para perempuan bertukar jasa menanam padi.

Namun, pemandangan itu kini tak ada. Siapa yang lebih dulu mendapat antre traktor dan air, ia jugalah yang lebih dulu menanam. Hal itu berlaku juga ketika masa panen. Mesin-mesin besar terjun ke sawah. Tenaga manusia tersingkir.

Dari sudut mata, Doelgani melirik emaknya. Keringat bercucuran di pelipisnya. Raungan mesin pompa masih terus terdengar. Di saat yang sama, angin labuh panas bertiup. Desember telah datang, namun hujan belum berkenan turun. Benih-benihnya sudah berumur. Malah sedikit melampaui. Sekiranya, seminggu yang lalu sudah siap tanam.

***

Sepulang bekerja dari pabrik batik rumahan milik Pak Darmaji, Doelgani bergegas ke rumah Pak Mugi. Sore itu juga ia meminta Pak Mugi untuk mengaliri sawahnya semalaman. Tanpa sepengetahuan emaknya, ia sudah menyiapkan ongkos air dan traktor.

Tiba di sawah, Emak kaget bukan main. Sawahnya terendam air dengan sempurna. Masih terlihat garis halus di tanah bekas roda traktor yang melintas. Pak Mugi buru-buru menyusulnya dari kejauhan.

"Doel sudah membayar ongkosnya, Mak." Emak mengangguk. Pastilah Doelgani sudah menjual dua karung padi yang terakhir. Atau barangkali, ia meminjam uang pada Pak Darmaji, mengingat saat ini belum waktu gajian. Masalah beras nanti bisa utang ke warung dulu, pikir Emak.

Menjelang matahari terbenam, Emak pulang. Namun, betapa terkejut ia ketika melihat dua karung padinya masih tertumpuk di dapur. Doelgani belum pulang. Emak begitu gelisah menatap langit yang mulai menghitam disusul angin yang perlahan bertiup. Sepertinya hujan akan turun. Betapa sia-sia Doelgani membayar ongkos air pada Pak Mugi.

Dari balik pagar bambu, Doelgani berjalan lesu. Di tangannya, tergenggam sebungkus garang asem kesukaan emaknya. Ia tahu, sudah lama sekali mereka tak pernah lagi membeli lauk kegemaran. Dengan uang sisa ongkos air yang dibayarkannya kepada Pak Mugi, ia mampir membeli lauk itu khusus untuk emaknya.

Emak buru-buru menyusul. Ia sempat mencium aroma yang amat ia hafal. Aroma ayam bercampur tomat dan daun asem yang terbungkus daun pisang. Pastilah Doelgani baru saja gajian, Emak membatin.

"Sepedamu mana, Nak?" tanya Emak penasaran.

Doelgani tak menjawab. Sebungkus garang asem itu lantas diulurkannya ke tangan Emak.

"Kujual, Mak," jawab Doelgani, pelan sekali.

Sebungkus garang asem di tangan Emak hampir saja lepas. Langit semakin menghitam. Mendung terlihat bergulung-gulung. Emak berbalik badan. Hujan menitik di kedua sudut matanya.

Gemolong, Desember 2019

Latif Nur Janah menulis fiksi dalam bahasa Indonesia dan Jawa, menetap di Sragen

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads