Tiga belas patok bambu setinggi paha orang dewasa berdiameter sekitar 10 sentimeter berbaris berjejer di trotoar satu ruas jalan kota kecil. Pada patok-patok itu berkait tali-tali tambang ukuran sedang yang simpulan utas-utasnya berakhir pada tiga belas leher kambing yang membelit agak longgar. Seperti kemarin, sedari pagi hingga menjelang Isya, hewan-hewan kurban itu berdiri, berputar, mengembik, atau sesekali merebah.
Mang Una bersama istrinya, penjual hewan kurban ini, lesehan di atas tikar, beratapkan kain terpal baru berwarna biru-bercampur baur dengan rumput-rumput sisa pakan dan kotoran.
Tatapan kedua pasangan suami-istri ini saling bergantian pada kambing-kambingnya, pada pejalan kaki, juga pada lalu lalang kendaraan di depan keduanya yang berharap berhenti; namun, selebihnya bertatapan kosong. Jari-jemari Mang Una selalu sibuk memainkan tasbih, dan ini yang membedakan dengan penjual-penjual hewan kurban lainnya.
Pada hari kedua berjualan, sudah agak siang, belum satu pun kambing yang laku. Tadi pagi memang ada beberapa orang yang bertanya, sekadar ingin tahu harga. Kebanyakan orang-orang itu mengernyitkan dahi dengan harga yang tinggi, hingga membuat istri Mang Una mengeluh. "Aku juga bilang apa, Idul Adha masih seminggu lagi. Kau memaksakan berjualan. Akhirnya kan begini, kita belum apa-apa sudah keluar uang untuk membeli rumput."
Mang Una menghentikan gerakan ibu jari tangan kanannya, hingga bulir-bulir tasbih pun terdiam. "Di mana-mana juga orang berjualan hewan kurban dari jauh-hari hari. Lagi pula aku kan hanya menganjurkan, tidak mengajak apalagi memaksamu ke sini. Kau sendiri kan yang berinisiatif ikut. Tetapi dengan ikut berjualan hewan kurban, semoga dapat menjadi pahala."
Saat sore, mobil jeep double cabin berbak terbuka berhenti di depan keduanya. Seorang bapak perlente turun, setelah melihat-lihat kambing yang ada, lalu bertanya, "Kambing berbulu hitam berapa harganya?"
Mang Una menjawab, "Tiga juta dua ratus ribu rupiah." Lalu terjadilah tawar-menawar, berkali-kali, sampai ada kesepakatan harga pada nilai tiga juta rupiah. Ini berarti hewan kurban Mang Una mulai laku terjual. Mang Una sendirilah yang mengangkat kambing yang keempat kakinya telah dililit tali ini ke bak terbuka-bagian belakang jeep. Anak bapak perlentelah yang kebagian akan menjaganya agar tetap tenang sepanjang perjalanan pulang. Sebelum pergi, Mang Una mendoakan, "Semoga nanti di akhirat berubah menjadi kendaraan surga...." yang diaminkan bapak perlente.
Setelah tiga hari berjualan menjelang Idul Adha, banyak calon pembeli yang menawar, dari yang berkendaraan roda dua, empat, bahkan yang turun dari angkutan kota. Beberapa ada yang sepakat, beberapa ada pula yang masih berpikir-pikir dengan harga terakhir yang diajukan Mang Una.
Dua hari menjelang Idul Adha, pada hari siang yang terik, Mang Una mencabut patok-patok dari bambu, memindahkan kambing-kambingnya yang tinggal tersisa 4 ekor ke bawah naungan tenda terpal birunya. Ya, sudah 9 ekor pembeli kendaraan surga.
"Semoga saja ya, Bu mereka yang membeli hewan-hewan kurban dengan disertai keikhlasan amalnya diterima." Istrinya mengaminkan. Mang Una berharap, sebelum Magrib ada lagi yang membeli kambingnya-meskipun tidak begitu banyak berharap.
Tak berapa lama, ada seorang calon pembeli, di bahu kanannya tertera badge satu kecamatan. Lalu bertanya, "Kambing ini tidak berpenyakit kan?" Mang Una mengangguk. Mang Una tenang saja, setiap kali berjualan, selalu menjual hewan kurban yang sehat. Calon pembeli ini lalu dengan teliti memperhatikan seekor. Kemudian, "Yang ini saja, lincah, berpostur tegap, bulunya bersih mengilat...dan aku lihat, kotorannya juga tidak mencret. Lagi pula sudah cukup umur." Terjadilah transaksi hingga selesai, Mang Una juga tak lupa mendoakan seperti biasa.
Sebelum Isya, istri Mang Una pulang. Sedangkan Mang Una sendiri seperti biasa tidur di bedeng bersama hewan jualannya-bersama-sama pula dengan para penjual hewan kurban lainnya.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pagi-pagi Mang Una dan istri kembali bersiap menunggu sisa hewan kurbannya dibeli orang. Kali ini istri Mang Una hendak membuat nasi liwet, sengaja di depan dinding pagar tembok satu kantor agar jauh dari sisa kotoran hewan kurban.
Api menyala, asap mengepul dari tungku dadakan, membuat perih mata istri Mang Una. Air di dalam kastrol mulai mendidih mematangkan nasi. Saat beras yang ditanak sudah hampir matang, kayu-kayu bakar yang berapi ditarik, disisakan sedikit bara-agar beras yang ditanak tidak gosong. Sementara di dekat bara, disimpan ikan asin-ikan asin, dengan tak lupa sering membolak-balik.
Usai matang nasi, istri Mang Una menggoreng tempe, jengkol dan membuat sambal.
Siap pula akhirnya sajian, Mang Una menawari makan pada para penjual lainnya, dan ada beberapa yang ikut makan. Seraya menikmati sajian sederhana, mereka saling bicara, dan sepakat bahwa harga semakin naik karena besok adalah hari Idul Adha.
Tak berapa lama, datanglah seorang pria bergamis. Memperkenalkan diri sebagai seorang Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dari satu masjid kecil dari desa terpencil pula, menawar seekor kambing dengan murah. Mang Una rupanya keberatan dengan harga. "Wah, tidak ada lebih untukku."
"Tolonglah, Pak. Tidak ada lagi uang. Aku sudah berkeliling mencari penjual yang mau bermurah hati...menjual kambingnya dengan harga miring. Ya, kalau sampai sore ini tidak mendapatkan juga hewan kurban, paling masjid yang kami makmurkan tidak akan berkurban."
Mang Una yang di kampungnya dikenal sebagai juragan kambing mendadak bingung. Istrinya terlihat uring-uringan, ikut nimbrung, sewot. "Silakan cari saja sendiri, memang ada hewan kurban yang murah?"
Ketua DKM bengong. Mang Una menyuruh istrinya agar diam. Namun saat Ketua DKM hendak pamit, Mang Una menyempatkan berkata. "Ya sudah, nanti saja sore menjelang Magrib ke sini lagi. Kalau masih ada satu ekor kambing, akan dijual dengan harga murah."
Dengan berseri, Ketua DKM pun pulang juga.
Mang Una dan istrinya malah berselisih. Istrinya kembali ngambek, "Kalau kau menjual murah bagaimana bisa mendapat laba?"
"Ya...hitung-hitung ibadah kan?"
"Bukankah kita pun sudah siap mengurbankan satu ekor kambing di rumah?"
"Ya, buat Ketua DKM lain lagi kan? Sudah ikhlaskan saja."
Tak ada jawaban.
Sore menjelang Magrib pun tiba. Hewan kurban yang tersisa tinggal dua ekor kambing.
Datanglah pula Ketua DKM dengan membawa motor pinjaman bersama salah seorang pengurus masjid, menanyakan kambing, apakah akan dijual murah atau tetap dengan harga pasar.
"Setelah berpikir, biarlah akan dijual murah, ya semoga nanti menjadi amal ibadah saya, istri dan keluarga."
"Bagaimana dengan istri? Apakah ikhlas?"
"Tadi siang, pada akhirnya istri pun mengatakan ikhlas."
"Syukurlah kalau begitu."
Maka usai transaksi, istri Mang Una sendiri yang mengikat keempat kaki seekor kambing jantan berbulu putih dengan tali. Saat kambing hendak dinaikkan ke motor untuk dipangku salah seorang pengurus masjid, kambing ini memberontak-mungkin tali ikatan di kaki kurang kuat-pengurus masjid sampai kewalahan. Hingga kaburlah kambing, berlari melintas. Untung saja jalan sedang kosong.
Para penjual hewan kurban yang lainnya pun menjadi hiruk pikuk dibuatnya. Setelah semua berusaha dengan maksimal, kambing itu pun dapat kembali ditangkap.
Seorang penjual hewan yang dituakan pun berkata, "Ya, pembeli dan penjual hewan kurban harus ikhlas dengan satu harga terakhir...agar tidak ada kejadian seperti barusan."
Bandung, Juli 2020
Gandi Sugandi alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Bekerja di Perum Perhutani. Saat ini sebagai staf Komunikasi Perusahaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bandung Selatan
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)