Besok resepsi dilaksanakan.
Selain mempelai, keluarga, sanak saudara, dan panitia kondangan, ada pula yang juga repot untuk persiapan besok pagi ternyata. Tersebutlah Si Mantan. Bukan repot pekerjaan yang bisa minta bantuan teman atau dibayarkan pada penyedia layanan. Tetapi ini repot pikiran, repot perasaan, ruwet! Mbundhet!
Ia telah berjanji untuk datang. Sebagai bukti dari hatinya yang lapang. Setelah menyanggupi pesan yang dikirim lewat WA berupa beberapa helai halaman undangan pernikahan berformat foto, beserta tulisan:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Datanglah...
Oh! betapa hebat teknologi informatika! Penuh kemudahan-kemudahan bagi penggunanya, termasuk untuk berkata datanglah disertai foto undangan lengkap dengan denah lokasi yang tak akan membiarkan tamu tersesat dan gagal berucap, "selamat atas pernikahannya."
Baiklah.
Oh! betapa topeng era informatika ini. Hati begitu marah, pikiran resah, perasaan sayah, tapi yang mewakili adalah kata baiklah. Tanpa tanda seru atau emoticon, hanya baiklah lalu titik.
Terima kasih....
Oalah, Ningsing! Terima kasih untuk apa? Untuk merelakanmu? Mengikhlaskanmu? Atau memenuhi undanganmu? Dasar perempuan sukanya menggantung urusan, mengambang pilihan, ambigu pernyataan. Sejak dulu begitu! Katanya dulu, "Tak masalah, Mas aku menunggu kamu."
Katanya, "Aku menerima kamu apa adanya." Katanya tidak ada masalah apa-apa, biar begini dulu saja, tak usah jadi pikiran, santai, tenang, aku baik-baik saja, tetap cinta, tetap menunggu, alah! Tahu-tahu dilamar, diterima, terus bikin rencana antardua keluarga, aku tidak diajak turut serta, ditinggal sendirian, menikmati foto pre-wedding kalian, yang sok mesra di pegunungan, back to nature konsepnya, poster film Petualangan Sherina jadinya, terus turun gunung sebar undangan!
Begitu rentetan pikiran Si Mantan, ketika ia balas pesan:
Sama-sama.
Beberapa saat ia masih menunggu balasan Ningsih. Ya siapa tahu, ada permintaan maaf gitu, atau berkata masih cinta, atau mungkin pengakuan ia sebetulnya terpaksa dan menyesali keputusan ini.
Tak ada balasan.
"Ya sudah!" gerutunya sembari melempar hape ke bantal.
Setelahnya mondar-mandir, mampirlah ia di depan kaca. Melihat bayangannya di cermin, berkata ia, "Kamu lelaki! Kamu hebat! Kamu kuat! Kamu bakal jadi orang besar! Jangan soal sepele begini kamu besar-besarkan."
Ia berkacak pinggang saling pandang dengan bayangan, lalu menuding, "Heh! sudahlah! Masalahmu itu sepele, bukan apa-apa, lihat itu saudara-saudara kita yang rumahnya digusur, petani-petani yang dicurangi, malu! Malu! Harusnya kamu malu pada tokoh-tokoh dalam sajaknya Rendra yang sering kamu baca, pada perempuan yang Tergusur, pada perempuan bunting yang antre uang pensiun, pada Orang-Orang miskin, pada Ibu di Atas Debu, pada Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
Pikirkanlah hal-hal yang besar yang mendasar! Ingat kata Rendra, "Kita mesti menghayati persoalan yang nyata!" Bukan malah menghayati kondangan mantan!
Bayangan di cermin seperti berkata, "Tapi ingat, Rendra istrinya tiga! Kamu satu saja ilang, besok ia menikah, itu juga soal nyata, Bung!"
"Tetapi itu hanya soal diri sendiri, bukan soal-soal negeri seperti korupsi, kolusi, monopoli korporasi, neo-kolonialisasi, globalisasi, goblokisasi...."
Si Mantan terus menyebutkan persoalan-persoalan sampai mulutnya berbusa-busa, sampai busanya bermulut-mulut. Baru berhenti ketika sadar, ternyata wajahnya jadi jelek sekali seperti politisi ketika ngomong koar-koar di acara ILC. Omong kosong memang menyenangkan asal tidak di depan cermin, enaknya itu di depan kamera.
Buruk rupa cermin ia tinggalkan. Ketimbang dipecah malah tambah urusan.
Ambil hape lagi, ingat Ningsih lagi, ingat undangan lagi, repot lagi. Besok baiknya pakai baju apa? Bajunya itu-itu saja, Ningsih hafal semua, nanti kalau dia membatin, "Uh begini-begini aja kamu," bagaimana? Beli baru? Untuk pernikahan mereka harus beli baru? Enak saja! Ngapain! Pakai baju lama saja! Warna? Hitam? Itu berduka. Biru? Itu berdamai. Putih? Alah, menyerah! Merah? Ya, merah! Berani! Baju merah celana hitam, berani karena berduka. Berani datang ke kondangan mantan meski hati lara!
Mantap! Ia puas dengan pilihannya.
Satu soal rampung, lahir persoalan baru. Ah, dasarnya kehidupan, selalu muncul permasalahan. Dengan siapa aku ke sana? Bareng teman-teman? Tetapi mereka tahu sejarahku dengan Ningsih. Saksi hidup dari mulai sampai redup. Mereka pasti jadi salah tingkah kalau aku ada di rombongan. Niat mereka datang ke pesta malah ada peti mayat turut ke sana. Mereka jadi sungkan turut bahagia, jadi berhati-hati, sebab ada duri dalam wedding!
Berangkat sendiri? Oh, dramatis sekali! Tidak! Aku telepon Nunik saja, siapa tahu bisa.
"Halo," suara dari sana.
"Nun, besok ada acara?"
"Tidak, kenapa?"
"Kuajak ke nikahannya Ningsih mau?"
"Malas dandan!"
(Suara telepon terputus)
Huh, salah sendiri! Dulu Nunik kamu tinggalkan, pindah ke Ningsih yang ternyata mencampakkan. Aduh, stok gandengan tak ada, selama ini cuma Ningsih, Ningsih, dan Ningsih terus nyatanya. Sudah tak tengok-tengok lagi. Karena yakin seyakin-yakinnya. Kiranya sudah madhep-mantep-manten, tak mengira ternyata madhep-mantep-mantan! Sialan!
Ia ambrukkan badan. Rebahan, terlentang, tangan-kaki rentang, seperti mengambang di atas kasur. Menatap langit kamar. Oh, ini benar-benar saat yang keparat, pikirnya. Filsafat di kepala mampat! Zaman sudah begini melesat, teknologi-teknologi tercipta, alat-alat dahsyat ditemukan, semua memberi kemudahan-kemudahan, tapi soal-soal ayam jantan rebutan betina di kebun belakang masih juga milik manusia. Kemajuan-kemajuan ternyata tak menggeser persoalan dari pangkal selangkangan. Tetap saja asmara bikin pecah kepala pada waktunya, apapun ijazahnya, apapun akreditasi yang melabel kepalanya.
Oh, era sesak informasi! Setiap hari kebijakan diobral di mana-mana, mudah mengaksesnya, cepet sampainya, tinggal baca, tapi ya cuma jadi tahu, mengerti mungkin, memahami tidak, meyakini apalagi. Semisal itu, kesedihanmu hari ini adalah yang akan kamu tertawai di kemudian hari. Ya, tahu itu, tapi soalnya kan sedang dan masih di hari ini. Ah, kebijakan, kutipan-kutipan, quote-quote, enak pas dibaca saja, tiba hari-H kelimpungan juga.
"Oh, Ningsih, kelimpungan aku," katanya lirih. "Kenapa sih kamu harus bikin kondangan, tak terbersitkah sedikit saja kemungkinan perasaan hati yang ditinggalkan? Aku tahu lumrahnya begitu, mungkin aku nanti juga begitu saat tiba waktu. Seperti kamu. Berbagi kebahagiaan? Apa bedanya dengan pamer kebahagiaan, coba?
"Oh, dewasalah, katamu waktu pamit dulu, dewasa aku sudah, mimpi basah sejak dulu sudah. Sudah dewasa aku, yang belum adalah komplet. Komplet seperti waktu kamu pegang tanganku dulu, kita jalan gandengan, menyusuri trotoar yang penuh pedagang kaki lima, lalu mampir di wedangan, kita...."
Si Mantan terus berbicara pada dirinya sendiri sampai air mata menggenang di cekung matanya lalu jatuh mengalir dari ujung mata setelah membeludak. Begitu seterusnya menggenang-membeludak-jatuh, terisi-penuh-tumpah. Sampai ia tertidur kelelahan.
***
Esoknya Si Mantan berangkat kondangan. Kawannya menghubungi, dia diajak bareng-bareng dan dia dijemput juga. Baju merahnya ternyata belum dicuci. Ia berangkat dengan baju biru, celana hitam. Seakan berganti semboyan, berdamai dengan duka!
Sampai di lokasi, jantungnya ternyata berdegup biasa saja, hanya agak cepat dikit ketika menyalami. Waktu sinoman keluar bawa sajian, ia bersyukur pakai biru, karena kostum mereka mirip baju merahnya yang belum dicuci. Selebihnya apa yang mereka sajikan dengan urutan, snack bareng teh hangat, lalu sop, lalu nasi, dan es sirup pencuci mulut bisa ia nikmati. Selain itu, semua dia jalani sebagaimana tamu yang lainnya.
Ternyata persoalan tak segenting pikiran. Masalah lebih gampang dijalani ketimbang ditakuti. Dan masalah hanyalah sesuatu yang menunggu sudah. Ini bukan amanah, hanya akhir dari kisah Si Mantan Berangkat Kondangan yang menjadi sudah hanya karena memang harus sudah ketika harus sudah.
Sukoharjo, 4 Juli 2020
Idnas Aral penulis lakon di Teater Sandilara
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)