Semburat senja yang hangat memasuki celah-celah kaca jendela dan menyentuh rak kayu yang berisi buku-buku yang tampak kesepian. Seperti sentuhan menenangkan dari tangan lembut seorang perempuan. Toko buku itu tampak begitu sunyi bersama cahaya senja yang tua, sebagaimana penjaga itu juga. Barangkali, umurnya telah melewati enam puluh. Sebuah usia yang sangat senja.
Di meja kasirnya, yang warnanya pun tak kalah senja, ia terlihat sibuk mengeja huruf-huruf pada sebuah buku tebal melalui kacamatanya yang juga tak kalah tebal. Ia sama sekali tak mempedulikanku, pengunjung tokonya yang hanya seorang, meski sedari tadi aku hanya berdiri di pojok rak buku ini mengamati gerak-geriknya yang lambat dan bersahaja.
Sedari awal, aku tak berniat membeli sebuah buku. Satu-satunya alasanku kembali ke sini hanyalah kenangan. Ya, kenangan yang sulit dilupakan, seperti warna senja hari ini yang amat ganjil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aku menyebut toko buku ini sebagai Toko Buku Kesunyian, setelah beberapa kali bertandang, dan melihat yang ditawarkan di sini bukanlah buku-buku, melainkan kesunyian. Buku-buku malah tampak seperti anak-anak kesepian dalam sebuah tidur panjang yang lelap. Bersama debu-debu tebal yang menutupi sampulnya, dan tampaknya tak pernah tersentuh. Aku bahkan tak melihat buku-buku baru, kesemuanya adalah buku-buku lama yang barangkali tidak terjual.
Delapan belas tahun silam, saat usiaku masih lima tahun, seminggu sekali aku berkunjung ke toko buku ini untuk membeli majalah anak-anak bekas yang murah harganya, bersama saudara laki-lakiku. Kami berkunjung seminggu sekali sebab jarak rumah kami dengan kota, lumayan jauh. Satu jam perjalanan mobil. Nama sebenarnya toko buku ini adalah Arun Post, yang waktu itu cukup populer, dan satu-satunya toko buku di kota kami yang menjual buku-buku sastra, serta komik-komik yang disukai anak-anak.
Waktu itu masih banyak yang suka ke toko buku, sebab membaca buku maupun majalah, masih menjadi hiburan yang menyenangkan, sebelum tergeser oleh teknologi yang makin canggih dan melalaikan. Setiap orang di kota itu pasti mengenal Arun Post, sekalipun mereka bukanlah pembaca buku yang antusias.
Arun sendiri merupakan nama sebuah wilayah di daerah kami, di mana sebuah perusahaan pertambangan raksasa menyedot gas bumi kami selama bertahun-tahun. Aku tidak tahu apa hubungan antara nama wilayah itu dengan toko buku. Barangkali pemilik toko buku itu berasal dari wilayah itu. Dan kini, setelah belasan tahun tak mengunjunginya, dengan sedih aku menamainya sebagai Toko Buku Kesunyian.
Saat aku bertandang ke toko ini di masa kecilku, tentu saja penjaga toko buku itu masih muda. Meskipun aku ingat, beberapa uban memang sudah terlihat di antara rambut hitamnya yang lebat. Penjaga toko buku itu memiliki seorang anak perempuan yang seringkali menatapku dengan tatapannya yang tajam, seperti mengawasi. Barangkali karena aku satu-satunya anak-anak, maksudku, anak-anak yang terlampau kecil di antara para pengunjung lainnya. Pengunjung lain yang masih anak-anak adalah anak-anak SD yang datang ke sana untuk membaca komik. Sementara gadis kecil itu sendiri, kutaksir usianya sama denganku, jika tidak lebih muda.
Setiap hari minggu aku bersama abangku rutin ke sana, dan gadis kecil itu selalu terlihat di sana, berlari-lari di lorong-lorong di antara rak-rak buku-jika tidak sedang ramai pengunjung, dan kadang-kadang mengganggu ayahnya yang sedang bekerja melayani para pembeli. Barangkali ia tak punya seseorang di rumahnya yang menemaninya bermain. Namun jika ia melihatku mulai meraih sebuah buku dari rak, ia akan berhenti berlari-lari dan matanya mulai mengawasiku.
Kadang-kadang aku membalas mengawasinya. Dan saat itu terjadi, ada perasaan ganjil di dalam diriku. Aku merasa, kami layaknya dua orang asing yang hendak mengatakan sesuatu, tapi bibir kami terkunci, hingga akhirnya tak ada satu pun kata keluar dari mulut kami. Biasanya, setelah momen ganjil itu, ia akan berlari kepada ayahnya, bergelendotan manja, atau kadang-kadang memeluk lengan ayahnya seolah merasa awas pada sesuatu yang mengancam.
Aku tidak pernah tahu nama gadis itu sampai abangku yang sangat menyukai anak-anak itu mulai menyadari telah terjadi interaksi mata di antara kami. Ia mendekati gadis itu yang tengah mengawasiku seperti curiga.
"Hei, siapa namamu?" Abangku tersenyum ramah seperti yang biasa ia lakukan setiap kali menyapa anak-anak. Gadis kecil itu tak langsung menjawab, barangkali merasa kaget ada seorang pria asing yang tiba-tiba menanyakan namanya.
"Jasmine," jawabnya kemudian.
"Berapa usiamu?"
"Lima."
Gadis kecil itu yang telah kuketahui bernama Jasmine kemudian berlari mendapatkan ayahnya, seolah hendak mencari perlindungan setelah diganggu seorang pria yang tidak dikenalnya.
Setelah peristiwa itu, seminggu kemudian ketika aku datang kembali, gadis kecil itu mulai berani menegurku.
"Ayah bilang, kamu tidak boleh membaca buku di sini," katanya.
"Ini hanya majalah bekas."
"Majalah bekas juga punya harga."
"Kenapa tidak ayahmu saja yang langsung menegurku?"
"Dia terlalu sibuk melayani pembeli lain."
"Baiklah," kataku.
Aku meletakkan majalah itu kembali pada tempatnya. Gadis kecil itu masih berdiri mengawasiku. Aku menoleh kepadanya.
"Namamu Jasmine, kan?" Ia mengangguk.
"Itu saudara laki-lakimu atau ayahmu?" Tangannya menunjuk pada abangku.
"Saudara laki-laki tertuaku," sahutku. "Namanya Hendra."
"Nama kamu sendiri siapa?"
"Daniel." Aku memberikan tanganku, dan ia menjabatnya. Waktu itu, kali pertamanya aku melihat ia tersenyum.
Kunjunganku yang berikutnya, kami mulai sering bicara, dan ia tidak ragu mengajakku bermain. Aku menebaknya seorang gadis kecil yang tidak punya teman dan kesepian. Sama sepertiku. Barangkali karena ia tinggal di bangunan ruko ini. Berhimpitan dengan toko-toko lainnya yang pemiliknya sibuk dengan urusan masing-masing, jarang menyapa, dan bahkan tidak saling mengenal.
Aku sendiri sebenarnya tinggal di desa, tempat anak-anak seumuranku bisa dijumpai di mana saja, tapi aku tidak memiliki teman sebab aku tidak bisa berbahasa daerah. Ayahku sengaja membiasakan anak-anaknya untuk berbicara bahasa nasional karena rumah kami berada di pinggir jalan. Saat itu di daerah kami sedang terjadi konflik perang akibat adanya pemberontakan dari sebuah kelompok yang menentang pemerintah pusat. Kebanyakan para pemberontak itu biasanya berasal dari desa, dan karena itu tentara-tentara pemerintah lebih sering berada di kawasan desa.
Rumahku yang tepat berada di tepi jalan utama, seringkali menjadi tempat singgah para serdadu itu, sebab halaman kami memiliki banyak pohon kelapa. Mereka biasanya singgah untuk memetik kelapa. Beristirahat sembari menikmati air kelapa muda yang segar. Menurut rumor, warga yang tidak lancar berbahasa nasional seringkali berakhir dengan kesialan, sebab mereka tergagap ketika harus menjawab para serdadu-serdadu itu yang bertanya apa saja mengenai para pemberontak. Seringkali warga malang itu dituduh menyembunyikan pemberontak yang dicari. Dan yang lebih buruknya, mereka dituduh sebagai pemberontak itu sendiri.
Mungkin ayahku tidak mau hal buruk seperti itu menimpa keluarganya. Karena itu ia membiasakan kami berbicara bahasa nasional agar kami tidak mudah gugup saat harus menghadapi para serdadu pemerintah. Namun imbasnya, aku menjadi tidak pandai berbahasa daerah. Meski aku paham ucapan mereka, tapi aku selalu tergagap saat harus mengucapkannya. Dan di kampungku, semua anak seumuranku tidak bisa berbahasa nasional. Jadilah aku, anak di usia bermain pada saat itu, hanya menghabiskan waktu di rumah. Mengganggu ibu memasak, menunggu ayah pulang kerja, dan sesekali diajak bermain oleh kakak-abangku jika mereka punya waktu.
Setelah beberapa lama, aku dan Jasmine semakin akrab. Sedikitnya, seminggu sekali aku selalu punya waktu bermain dengannya. Kadang-kadang kami juga bertukar mainan. Dalam suatu kunjungan, Jasmine menarik lenganku dan mengajakku ke atas. Kutinggalkan abangku yang tengah mencari-cari sebuah judul novel.
Menaiki tangga bersama Jasmine, aku melihat sebuah ruang tamu yang begitu bersih dan tertata rapi. Di sebelah sofa, sebuah bufet diletakkan dan disulap menjadi dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang nonton. Sementara sebuah kamar --kutebak itu kamar Jasmine atau ayahnya-- berada di ujung bangunan itu, melewati ruang nonton. Dapur terlihat begitu sederhana. Hanya terdapat sebuah kompor gas, kulkas, serta rice cooker. Tak ada batas sama sekali antara ruang tamu dan dapur.
"Akan kutunjukkan sebuah tempat rahasia," kata Jasmine setengah berbisik. Aku mengekor saja ketika dia menarikku ke kamarnya.
Sebuah kamar yang menakjubkan! Dipenuhi dengan ratusan, mungkin ribuan buku yang tersusun rapi di atas rak. Kutebak itu adalah koleksi ayah Jasmine, atau bisa jadi beberapa di antaranya adalah koleksi Jasmine sendiri.
"Kamu sudah bisa membaca?" tanyaku. Jasmine mengangguk. Sama sepertiku, ia juga sudah dapat membaca meski belum sekolah. Kulihat buku-buku yang berjejer rapi itu sebagian besarnya adalah buku-buku orang dewasa yang sama sekali tidak menarik hatiku.
"Kamu suka Serial Bullerbyn?" tanya Jasmine.
"Bullerbyn?" Aku belum pernah mendengarnya. Jasmine kemudian menuntunku ke beberapa deretan buku.
"Ini," katanya. "Ceritanya seru, penuh petualangan, dan pengalaman-pengalaman menakjubkan."
Aku mengambil salah satunya. Kulihat sampulnya berwarna biru cerah dan tertulis, Kami Anak-Anak Bullerbyn karangan seorang penulis Swedia yang namanya susah kulafalkan saat itu.
"Kamu boleh meminjamnya jika suka," kata Jasmine lagi. Aku tersenyum merasa senang. Namun belum sempat kuucapkan terima kasih, abangku telah memanggilku dari bawah tangga.
"Terima kasih," kataku kemudian. "Aku akan mengembalikannya minggu depan." Ia mengangguk.
Saat ia mengantarku masuk ke dalam mobil, dari balik kaca jendela, dapat kulihat wajah Jasmine yang bersedih melihatku pulang. Sungguh, aku juga sedih tiap kali harus berpisah dengannya.
Seminggu kemudian, aku merengek kepada abangku agar diantar ke toko Jasmine. Ia sendiri sedang tidak ingin membeli buku atau majalah apa pun, tapi karena rengekanku, ia terpaksa mengantar. Setiba di sana, aku melihat toko begitu sepi. Hanya ada satu-dua pengunjung yang sedang membolak-balikkan halaman majalah bekas. Kulihat Jasmine sedang bermain dengan bonekanya, dan tentu saja ia tampak sumringah saat melihat kedatanganku.
"Kamu bermainlah dulu di sini, aku akan ke warung kopi. Nanti aku akan menjemput!" kata abangku.
"Pak, titip Daniel, ya?" katanya lagi kepada ayah Jasmine. Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum ramah. Tampaknya mereka juga sudah saling akrab.
Jasmine langsung menarik lenganku, menaiki tangga dan menuju kamarnya.
"Waktu itu kamu tidak sempat melihat tempat rahasia yang kujanjikan," katanya lagi. Seperti dulu, ia setengah berbisik seolah-olah ada yang hendak menguping pembicaraan kami.
"Di sini," katanya menunjukkan deretan buku yang berjejer di rak buku paling bawah. "Ada tempat rahasia di balik deretan buku ini." Mataku langsung berbinar. Kubayangkan sebuah ruang rahasia seperti yang pernah kutonton di film-film. Tangan Jasmine dengan cekatan menarik buku-buku itu hingga jatuh ke lantai. Kemudian ia menggeser kayu triplek yang menjadi penutup ruang rahasia itu. Seperti pintu di kebanyakan rumah orang Jepang. Aku melongok ingin tahu seperti apa tempat rahasia itu.
Dan ternyata, tempat rahasia yang dimaksud Jasmine hanyalah ruangan kecil, yang berada di balik rak buku di deretan paling bawah. Kutaksir ukurannya 60x50 cm. Namun baru sekarang kusadari, seharusnya ada celah ruangan yang lebih besar di balik rak buku raksasa itu, sebab tak mungkin ruangan kecil itu muncul begitu saja dari balik dinding.
Jasmine mengeluarkan benda-benda dari dalam ruangan kecil itu: sebuah cincin emas dan dua buah buku harian. Masing-masing berwarna merah muda dan biru.
"Ini cincin ibuku," katanya, "yang biru buku harian milik Ayah, sementara yang merah muda milik Ibu."
"Ibumu memangnya di mana? Kenapa tidak pernah terlihat?"
"Kata Ayah, Ibu pergi duluan ke surga, aku dan Ayah akan menyusul suatu saat nanti."
"Maksudmu ibumu sudah mati?" Jasmine mengangguk. Ia sama sekali tidak terlihat sedih. Kubayangkan wajah ibuku di rumah yang tengah memasak dan seringkali kuganggu. Tiba-tiba aku merasa begitu takut ia hilang.
"Bagaimana rasanya tidak mempunyai ibu?"
"Bagaimana rasanya mempunyai ibu?" Jasmine balik bertanya.
"
Rasanya menyenangkan. Terutama saat Ibu mau memasak kue," sahutku, "tapi kadang-kadang dia marah dan cerewet saat aku tidak mau tidur siang."
"Ayahku tidak pernah marah, dan tidak pernah cerewet."
"Ayahku juga." Mataku tertuju kepada dua buku harian yang dipegang Jasmine.
"Saat pacaran, mereka pernah saling bertukar buku harian."
"Apa itu pacaran?" selaku.
"Itu permainan orang dewasa. Kamu masih anak-anak."
"Kamu juga anak-anak," balasku.
"Tapi kata ayahku, sebentar lagi aku akan menjadi orang dewasa," bantah Jasmine.
"Kata ibuku, aku juga akan cepat besar."
"Dengar dulu ceritaku..." Aku diam.
"Aku punya ide," kata Jasmine setelah berhasil membuatku diam. Matanya berbinar, seperti kelereng yang sering kumainkan sendirian di halaman rumah.
"Bagaimana kalau kita mengarang cerita? Kamu juga suka membaca kan? Pasti kamu bisa bikin cerita yang bagus."
"Lalu kita apakan cerita itu?"
"Kita simpan di tempat rahasia ini, kalau sudah dewasa, kita akan mengambilnya lalu membacanya bersama-sama." Senyum mengembang di bibir mungil Jasmine. Kuiyakan usulannya itu.
"Kupikir menarik juga," kataku. Kami kemudian memberikan kelingking masing-masing sebagai janji yang telah kami sepakati, dan akan kami tunaikan di kunjunganku berikutnya.
Di rumah, aku sampai tidak bisa tidur memikirkan cerita apa yang hendak kutulis. Diam-diam aku menyelinap ke ruang kerja Ayah, dan kuambil sebuah buku catatan serta pulpen yang terletak di atas mejanya. Kubawa ke kamarku, dan malam itu juga, aku mulai menulis cerita. Cerita tentang Power Rangers.
Keesokan harinya, aku kembali merengek minta diantarkan ke toko buku Jasmine. Namun, karena abangku sedang berlibur bersama teman-temannya, ayahku yang mengantarku. Ia dan Ibu juga sudah tahu pertemananku dengan Jasmine. Barangkali mereka juga senang, anak terkecil mereka akhirnya memiliki teman. Setibanya di toko, Jasmine datang menyambutku dengan keceriaan khas anak-anak. Tampaknya, ia telah lama menunggu kedatanganku.
"Ceritamu sudah selesai?" tanyanya begitu aku turun dari mobil. Aku mengangguk. "Bagus," tukasnya.
Ayah juga masuk ke toko buku. Mungkin, ia ingin mencari bacaan baru. Ayah dan ibuku juga penggemar buku, meskipun koleksi mereka tak sebanyak milik ayah Jasmine. Setelah menemukan buku yang dicarinya, Ayah mengatakan aku akan dijemput nanti siang. Aku punya waktu banyak untuk bermain bersama Jasmine.
"Ini cerita yang aku tulis," kataku menyerahkan buku catatan milik ayah yang kucuri semalam. Selama perjalanan aku menyembunyikannya di balik baju agar tidak ketahuan ayah. Jasmine membukanya.
"Astaga, tulisanmu jelek sekali," katanya.
"Semua tulisan anak-anak jelek."
"Tulisanku bagus."
"Mana? Coba kulihat."
"Tidak boleh. Kita baru boleh membacanya saat dewasa nanti."
"Tapi kamu sudah membaca punyaku."
"Aku tidak membacanya, aku hanya melihat-lihat."
"Baiklah," kataku mengalah. "Setidaknya kasih tahu, cerita tentang apa yang kamu tulis."
"Tentang seorang tuan putri yang tersesat di hutan dan ditemukan seorang pangeran berkuda yang baik hati." Jasmine terlihat bangga.
"Kalau kamu tentang Power Rangers, kan?" lanjutnya lagi. Ia cekikikan.
"Tuh, kan kamu sudah membacanya. Kamu curang!"
"Tidak kok. Aku cuma melihatnya sekilas."
Aku memasang wajah ketus, tapi Jasmine menyudahi perdebatan kami dengan menarik lenganku menuju kamarnya. Aku ikut saja seperti sapi yang dicocok hidungnya.
"Kita simpan buku kita di tempat ini," katanya setiba di tempat rahasia. "Kalau sudah besar nanti, kita akan membacanya bersama-sama."
"Tapi bukankah itu terlalu lama?"
"Kata Ayah, kalau aku rajin makan sayur dan minum susu, aku akan cepat tumbuh dewasa."
"Ibuku juga bilang begitu, tapi sayur tidak enak, rasanya agak pahit."
"Iya juga sih, tapi kita tetap harus memakannya, kalau tidak, kita selamanya menjadi anak kecil."
Aku mengangguk juga, dan menyilakan Jasmine menyimpan buku catatan yang kubawa, bersama buku diarinya yang berwarna merah muda. Setelah itu kami bermain petak umpet, berlari-larian, membaca cerita bergambar, dan menggambar sesuatu yang hasilnya selalu jelek. Kami diliputi kesenangan yang seolah tidak ada habisnya, sampai ayahku datang menjemput.
Waktu itu aku tidak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhirku melihat Jasmine, karena berselang dua minggu kemudian, ketika aku dan abangku mengunjungi toko buku itu lagi, aku tak melihat Jasmine maupun ayahnya. Sebagai gantinya, seorang wanita paruh baya yang galak dan cerewet duduk di meja kasir. Belakangan dari abangku, aku tahu Jasmine dan ayahnya pindah ke luar kota. Toko buku itu dikelola oleh kerabat terdekatnya.
Jasmine ternyata tidak berasal dari daerah kami, dan pada waktu itu, ketika segalanya menjadi kacau, para pemberontak mulai berlaku semena-mena kepada para pendatang. Mereka meminta upeti kepada para pendatang yang dianggap kaya, dan yang lebih buruk lagi, ada yang dibunuh dan tempat tinggalnya direbut begitu saja.
Setelah Jasmine pindah, aku tak pernah lagi ke toko buku itu. Baik aku dan abangku sama-sama setuju untuk mencari toko buku langganan lain, sebab penjaga toko buku pengganti ayah Jasmine terlalu cerewet dan menyebalkan. Hingga damai berhasil diwujudkan di daerah kami, Jasmine tak kunjung kembali.
Delapan belas tahun berlalu sejak saat itu, aku telah dewasa dan sedang menjalani masa kuliahku di luar kota. Dan hari ini, kuambil kesempatan liburanku untuk kembali ke kota ini. Untuk menjenguk kenangan. Hanya sekadar iseng aku berkunjung ke toko buku ini setelah sekian tahun lamanya. Tak kusangka, toko bukunya masih ada, meski koleksi bukunya tak sebanyak dulu lagi. Bahkan, mereka tak lagi menjual majalah anak-anak.
Namun, yang lebih mengagetkanku, aku kembali melihat ayah Jasmine duduk di meja kasir. Dengan uban tipis, dan kacamata rabun senjanya, ia tampak ringkih melayani pembeli. Tongkat yang membantunya berjalan, senantiasa berada di dekatnya. Wajah keriputnya memperlihatkan bintik-bintik hitam yang terlihat kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Ia sudah begitu berbeda dari terakhir kali aku melihatnya, tapi ingatanku lumayan kuat untuk mampu mengingatnya dengan baik.
Aku mengambil sebuah judul novel lama dari penulis Jepang, dan mendekat ke meja kasir. Niatku adalah menyapanya. Akankah ia ingat padaku, teman dari anak perempuannya di masa kecil? Aku meletakkan buku di hadapannya. Ia mengambilnya, memandanginya seperti sedang menerawang.
"Yasunari Kawabata, Seribu Burung Bangau," ucapnya. "Selera yang bagus, Anak Muda!"
"Terima kasih," aku menjawab pelan. "Apakah Anda masih mengenal saya?"
Ia melemparkan pandangannya ke atasku. Seperti ada labirin yang sunyi saat aku melihat ke dalam bola matanya yang senja.
"Apakah kau mengenalku?" tanyanya setelah menyerah pada ingatannya.
"Saya Daniel, teman masa kecil putri Bapak, Jasmine."
"Astaga..."
Ia tampak terperangah. Bibir keriputnya sedikit terbuka, seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tertahan oleh sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.
"Jasmine apa kabarnya sekarang?" tanyaku melihatnya tak kunjung bicara.
Dia, tanpa berkata-kata, bangkit dengan susah payah, dan menyodorkan sebuah kursi kepadaku.
"Duduklah, duduklah dulu, Nak," katanya.
"Aku ingat siapa kau, ya, ya, tentu saja aku sangat ingat," katanya lagi. Aku hanya diam menunggu ia melanjutkan ucapannya.
"Dulu, Jasmine sangat sering merengek minta kembali ke kota ini untuk bertemu denganmu. Di tempat barunya, ia sama sekali tak mempunyai teman," suaranya terdengar berat.
"Di mana ia sekarang, Pak?
Hening. Ada kesedihan yang menggelayut di wajah pucatnya saat pertanyaan itu terlontarkan. Beberapa detik setelah itu, setitik air terbit di ujung matanya.
"Jasmine meninggal. Karena kanker hati. Dua tahun setelah kami pindah," ucapnya kemudian.
Detak jantungku berhenti sesaat. Tiba-tiba senja yang hangat di dalam ruangan itu berubah menjadi musim dingin paling kejam. Tubuhku beku hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
"Maafkan saya," ucapku setelah hening yang sangat panjang. Aku menundukkan kepala.
Setelah terdiam begitu lama, aku membuka tasku, lantas kuambil sebuah buku, kuberikan kepadanya.
"Ini buku Jasmine yang saya pinjam dulu. Saya lupa mengembalikannya." Ia memandang buku itu begitu lama, seolah-olah menyaksikan anaknya telah hidup kembali dan menyapanya dari balik sampul buku. Tak lama kemudian, air mata mengalir dari kedua matanya yang keriput.
"Aku juga punya sesuatu untukmu," katanya setelah badai kesedihan di dalam dadanya sedikit reda. Dia mengambil sesuatu dari balik laci meja.
"Simpanlah," katanya, "Terkadang, kenangan tidak hanya tinggal abadi di ingatan, mereka juga ada pada benda-benda." Ia menyodorkan sebuah buku diari bersampul merah muda, dan satu buku catatan lusuh yang tampak memudar. Tentu aku ingat betul pada kedua benda tersebut. Seperti menerima sebuah kenangan yang menjelma kesedihan, aku meraihnya dengan sebuah ucapan terima kasih yang paling tulus.
Kusimpan dua kenangan itu baik-baik di dalam tas. Setelah pamit, aku membalikkan punggungku, meninggalkan toko buku yang penuh dengan kenangan masa kecil. Toko buku yang juga menyimpan kesunyian abadi.
*untuk anak-anak penderita kanker di seluruh dunia
Rudi Fahrizal Putra menekuni dunia fiksi sejak 2014. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Ar-Raniry Banda Aceh
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)