Perempuan Asap

Cerita Pendek

Perempuan Asap

Indah Fai - detikHot
Sabtu, 04 Jul 2020 12:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: M Fakhry Arrizal/detikcom
Jakarta -

Setelah peristiwa kebakaran dua tahun lalu, Mai datang ke rumah baru kami tidak melewati ambang pintu. Dia muncul bersamaan dengan asap yang mendesak pernapasanku.

Aku ingat betul kali pertama ia berkunjung malam menjelang dini hari di beranda rumah. Saat itu aku akan menginjak puntung rokok menggunakan sandal selop yang menggantung di telapak kaki kiri. Asap rokok itu tipis. Sungguh mustahil untuk menyembunyikan tubuh perempuan dewasa. Namun, Mai muncul dari situ.
Raut mukanya merengut, "Sudah kauhabiskan berapa bungkus rokok hari ini?"

Belum hilang keterperangahanku, bahkan sampai lupa bagaimana harus berkedip, ia ngeloyor menuju ruang tamu dan refleks kubuntuti. Dia merapikan taplak meja, membuang gunungan puntung rokok di dalam asbak ke tempat sampah, lantas melangkah masuk ke kamar. Tak sampai lima belas detik ia muncul membawa sebotol pengharum ruangan. Wangi apel menyusup ke dalam paru-paruku. Matanya memejam. Ia mengambil napas dalam-dalam seolah enggan lembut apel meninggalkan hidungnya.

"Mai, kaukah itu?"

Mai tertawa menanggapi pertanyaanku, matanya masih tertutup rapat. Bahunya tergoncang. Aku mencoba meraih pundaknya yang berbalut gaun putih. Namun ia lenyap begitu saja.

Sepekan kemudian, aku mulai bisa menerima kehadirannya yang ganjil. Boleh dibilang aku menyukai itu. Aku bisa memanggil Mai sekerap asap hadir di rumah. Semakin tebal asap semakin lama ia tinggal. Aku gemar mengundang Mai melalui asap pembakaran ban-ban bekas di selokan sampah di samping bengkel. Asap ban begitu pekat dan susah diusir, membuatnya bermalam di sini.

"Mai, Mai...ini rumah kita. Mengapa kau berkunjung seperti tamu?"

***

Jika kemarin aku mengundang Mai hadir melalui asap ikan panggang dan kemarin lusa melalui pembakaran gugur dedaunan mahoni yang bertumpuk-tumpuk di musim kemarau, maka hari ini aku akan memanggil Mai melalui asap kertas yang mengabu.

Aku gemar membakar kertas apa saja pada nyala lilin sebab mengetahui Mai akan mengajak berbincang setelah itu. Atau sekadar bertanya, apakah aku sudah makan.

Kemarin, pada asap pembakaran kertas koran bekas lembaran kedua, Mai menanyakan apakah ibu sudah menelepon lagi. Aku bilang, iya, "Tetapi hanya untuk menyuruhku balik dan tinggal bersamanya."

Mai tertawa.

Aku membakar lembaran koran yang kelima, Mai menanyakan mengapa pohon jambu air yang ia tanam habis kutebang. Paras mukanya sedih. Saat itu tubuhnya bergoyang tertiup angin. Sosoknya mulai mengabur dalam pandanganku. Aku bergegas membakar lembaran koran satu bendel sekaligus. Cemasku ia keburu pergi.

"Akhir-akhir ini banyak ulat gajah bertengger di dahannya," jawabku berhati-hati supaya tak melukai perasaannya.

Dia bilang ingin menanam pohon yang tak mudah dihinggapi ulat. "Apakah kau tahu jenis pohon yang tak digandrungi ulat?"

Aku mengeja nama-nama pohon yang pernah kukenal. Cukup lama menenggelamkan diri untuk berpikir keras. Lantas aku menggeleng. Kukatakan aku tidak tahu. "Akan kucarikan nanti buatmu."

Lalu kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Adakah Ibu bertanya tentang bayi?" tanya Mai memecah sepi.

Aku menggeleng. Ibu cuma memintaku pulang.

Ini adalah kali pertama Mai mengungkit tentang bayi setelah api melahap bengkel dan rumah mungil kami. Lalu sebagai gantinya kubangun yang semakin mungil di sisi kanannya. Tak apa, itu hanya sementara sebelum tabunganku cukup untuk mengembalikan semua seperti semula jadi.

Ibu menelepon dan membahas masalah bayi ketika pohon jambu air kami baru berbunga namun banyak yang berguguran. Dia tengah berada di acara akikah bayi adik lelakiku yang belum genap dua tahun menikah. Ia bilang namanya Deva. Ganteng sekali, imbuhnya. Jika ada kelebihan dana, kami mesti berkunjung ke Madura yang jaraknya dari Jember memang lumayan, itu pintanya. Ibu mengakhiri bincang telepon dengan pertanyaan, "Apa nama bayimu nanti, Bing?"

Mai kemudian membisingiku dengan nama-nama bayi dari seluruh bahasa di muka bumi. Obsesi itu kupikir sudah keterlaluan. Ia mengoleksi hampir selusin buku berisi nama-nama bayi yang beberapa di antaranya ia beli bekas.

"Aku sudah tahu nama yang tepat!" Ia menubrukku yang tengah malas-malas kucing di ruang tamu. Hari itu Minggu dan aku sedang libur membengkel.

"Apa?" Tanggapku pura-pura bergairah.

"Ivan Dika Kusuma Wardhana," tuturnya dengan mata berbinar.

Aku menghela napas panjang. Ia menunggu komentarku sambil menggerakkan alis mata naik turun.

"Mai, kita bahkan belum tahu kelamin bayi itu, ehm kita bahkan, maksudku, kamu belum hamil."

Mai memutuskan berhenti menjadi vegetarian. Sepekan lima kali ia memasak dengan menu utama ceker ayam dan kecambah kedelai, kadang-kadang kacang hijau. Mula-mula ia memuntahkan isi perutnya usai makan. Dia tak tahan dengan amis. Namun ia bersikeras memakan semua itu, dan mengajakku turut serta. Juga, ada banyak merk vitamin E di kotak obat kami.

Satu tahun adalah waktu yang sungguh kelewatan untuk melulu menyantap menu itu. Mai mengerti, dan ia berhenti. Menjelang tidur ia mengungkapkan keinginan menemui dokter kandungan. Itu sedikit menohok harga diriku sebagai lelaki-gagal. Namun Mai merengek.

Sepulang kami dari dokter kandungan untuk menjalani berbagai prosedur medis, ia meringkuk di atas sofa. Matanya basah lantas ia merayap lunglai ke kamar. Pintu dikunci semalaman. Rahimnya tidak bisa menjadi rumah pertama bagi para bayi.

Keesokan pagi, dengan kelopak mata seukuran bakpia ia memintaku mengantarkannya ke tabib. Dia meminum berliter-liter air dari para dukun atau paranormal atau siapa pun itu yang mengaku orang pintar. Kadang air itu ia pakai mandi. Mai bersikeras akan memberiku banyak bayi, kendati telah kuyakinkan bahwa aku baik-baik saja tanpa bayi.

Pernah kusarankan untuk mengadopsi anak di panti asuhan, tetapi ia berkilah, "Beda rasanya dengan bayi yang lahir dari rahim sendiri."

Keempat pohon jambu kami sudah berbuah empat kali. Pohon-pohon itu sedang berbunga untuk bakal buah yang kelima ketika ibu mengabarkan bahwa adik baru Deva lahir dengan selamat dan menggemaskan. Namanya Ivan Dika Kusuma Wardhana.

Itu sungguh kebetulan yang aneh. Tetapi sanggup membuat airmata Mai banjir.

Sudah berlangsung lama sejak itu, aku meminta Mai tidak usah mengangkat telepon dari ibu sebab itu hanya akan membuatnya bertambah murung. Tetapi... dia keras kepala.

Aku sedang menambal ketika Mai menghampiri dan menyandarkan punggung di tralis jendela yang mengkilat oleh sisa-sisa oli. Tangannya menggenggam ponsel. Dia bilang, ibu ingin aku pulang.

Tak hendak menanggapi, aku lanjut mengisi serbuk penambal ke ban dalam kemudian memutar roda berkal-kali, memasukkan air, dan lagi memutar.

"Di sana ada gadis yang akan Ibu kenalkan padamu," suaranya bergetar, "Barangkali kau berminat menjadikannya istri. Pasti dia akan mengasihmu banyak bayi."

Aku tidak tahan lagi.

Di terminal Tawangalun, sebelum bis yang kutumpangi melaju, berulang kali kujelaskan kepadanya bahwa aku pulang ke Sumenep bukan untuk menikahi gadis mana pun, tetapi untuk marah. Sempat kudesak Mai agar ikut bersamaku. Dia menolak.

Dari jendela kaca bis, di bawah sana, ada mata yang memang sudah sembab, kembali berkilauan oleh air.

Sepulang dari kampung halaman, aku menemukan bengkel dan rumah kami hangus Aroma daging dan rambut terbakar menyakitiku. Pedih sekali. Aroma itu begitu kuat di dalam kepalaku. Bahkan jika itu adalah batas waktu tercepat yang bisa kulakukan menuju pulang, aku tetap terlambat. Yang tersisa adalah runtuhan-runtuhan puing dan asap. Juga catatan pendek dari Mai yang disembunyikan di bawah batu di samping pohon jambu pertama, tempat kami biasa menaruh kunci ketika sedang pergi ke tempat berlainan.

Aku merasa berat jika rumah ini dihuni istri yang akan mengandung bayimu nanti, begitu isinya.

***

Aku kehabisan kertas dan ban untuk dibakar menjadi sesosok Mai.

Ketidakmunculannya sedetik saja sanggup membuatku uring-uringan. Bisa gila kalau terus begini. Aku ingin mengabadikan ia bersamaku dan memerlukan asap tebal untuk itu. Bukankah akan bagus kalau aku membakar semua benda di rumah ini?

Ketika orang-orang di luar histeris usai suara dentuman keras dalam kobaran api yang hebat, Mai muncul dengan senyum semanis tebu. Aku memintanya rebah di sampingku. Kami takjub oleh langit-langit kamar yang mana api dan asap beradu. Indahnya mengalahkan gemintang.

Mai menggeser kepalanya menuju bahuku. Hangat. Aku teringat sesuatu, "Aku sudah mencari tahu tentang pohon yang tak disukai ulat gajah, dan aku dapat."

"Pohon tembakau?"

"Bukan."

"Pohon mati?"

"Kalau mati namanya ganti kayu, Mai."

"Pohon plastik?"

"Itu mainan."

"Pohon...?"

"Yang diasap, Mai."

Lantas kami tertawa lepas.

Indah Faiqatul Himmah kelahiran Banyuwangi, 15 Juli 1994. Tinggal bersama keluarga keclinya di Buleleng, Bali Utara

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads