Onggokan-onggokan batu hitam dengan latar belakang langit merah seakan memandangku dengan wajah penuh amarah, hingga aku ketakutan dan salah tingkah seperti anak lembu yang ditolak menyusu oleh induknya, yang menggigil kedinginan dalam hawa senja yang berkabut.
Aku menengok ke belakang mencari Ayah. Tampak ujung linggisnya yang bergerak-gerak turun-naik di belakang sebongkah batu besar di punukan ladang. Ayah sedang menggali umbi gadung yang tumbuh liar di bawah pohon dadap. Di atasnya, Digo, anjing kami yang gagah perkasa dan sering membuntingi anjing-anjing betina di bawah umur, berdiri pongah sambil menggerak-gerakkan kuping di atas batu.
Namun, tiba-tiba Digo melolong dengan suara kencang ke arah langit merah bergaris-garis mendatar mirip kain tenun tapo-kemalo di sampiran, atau mungkin mengutuk ratusan mata batu hitam yang juga menatapnya dengan penuh curiga. Aku makin ketakutan dan merasa seperti melihat hantu di dunia nyata. Kembali aku menengok ke Ayah di batas ladang dan hendak memanggilnya, kendati urung.
"Kau penakut sekali, Tarro. Batu pun kau takuti!" Begitu kira-kira tanggapan ayahku sekiranya aku berteriak memanggilnya, dan menceritakan ihwal rasa takutku yang tak beralasan di kepalanya yang sudah tua, sehingga mengurungkan niatku untuk berteriak minta tolong.
Ayah terlalu kaku dalam mendidikku. Ia menginginkan aku jadi anak laki-laki pemberani dan jago berkelahi seperti mendiang kakekku yang konon pernah dikeroyok orang sepasar, tapi ia berhasil menyingkirkan musuh-musuhnya setelah melumpuhkan puluhan orang dari mereka, sehingga yang lain lari kabur tunggang-langgang keluar pasar dengan melompat tembok setelah melihat teman-temannya jatuh terjengkang dan tergeletak di los pasar sambil meringis menahan sakit dengan tangan dan kaki patah serta kepala bocor.
"Bagaimana kau akan melindungi adik-adikmu kalau kau sendiri pengecut?" katanya suatu ketika sambil menoleh ke arah dua bocah perempuan tak berbaju yang tengah bermain tanah di halaman. "Kau anak laki-laki Tarro, harus jadi anak yang pemberani!" kata Ayah padaku yang tengah mengunyah daging biawak. "Laki-laki pengecut hanya akan menjadi beban orangtua," katanya.
Ayah memberi contoh Sokar, seorang perjaka kotok di kampungku yang di usia 50 tahun belum menikah dan masih minta makan pada orangtuanya. Sokar memang pernah mencoba berbagai pekerjaan seperti bertani tebu, beternak ayam, bahkan berjualan sandal keliling, tapi tak satu pun yang membuahkan hasil; sebaliknya malah mendatangkan kerugian, sehingga orang-orang sekampung menilai Sokar sebagai laki-laki sial, bahkan ada yang menuduhnya sebagai manusia kutukan. Orang kemudian akan mengaitkan nasib Sokar dengan latar-belakang ayahnya sebagai pengikut partai komunis yang tewas dengan kepala terpenggal.
"Jangan sampai kau seperti Sokar. Sabung ayam selalu kalah. Diajak merampok tidak berani. Terus mau jadi apa?" ujar ayahku sambil memotong bambu untuk membuat kurungan ayam.
"Ya, jadi tukang batu atau kuli panggul saja," jawabku dalam hati sambil melirik lenganku yang besar. Karena mana berani aku menukas ucapan Ayah dengan suara keras. Jangankan salah, benar pun akan tetap kena damprat kalau sampai melawan.
Tekanan mental bertubi-tubi yang dilontarkan Ayah padaku bukan membuatku bertambah tegar dan perkasa seperti Tarzan. Sebaliknya malah membuatku semakin tak berdaya dan patah arang. Padahal seharusnya Ayah memotivasiku dengan cara yang baik, jika dia menginginkan aku menjadi anak yang tangguh dan bertanggung jawab melindungi adik-adiknya. Lagi pula, apakah untuk menjadi orang kuat dan hebat itu harus selalu dengan cara-cara kasar?
Di perkampungan yang dikepung puluhan bukit gersang ini pikiran manusia memang tak semaju pikiran orang di kota. Mereka tidak mengetahui kalau orang-orang kaya di kota adalah orang-orang yang berkepribadian baik dan lembut. Yang halus bukan hanya perasaannya, tapi juga kulitnya, karena tak pernah bekerja kasar, mencangkul atau membelah kayu. Lihat saja gubernur, bupati, dan para pengusaha, tangannya halus-halus karena hanya dipakai salaman dan mengusap layar ponsel. Makan mereka pakai sendok.
Satu-satunya sudut kehidupan modern yang dijadikan contoh oleh orang-orang di kampung kami adalah suasana kehidupan di pelabuhan dengan kapal-kapal barang yang berdatangan dari berbagai pelabuhan internasional. Di situ, di antara suara gemuruh mesin kapal dan raung sirine, para preman dan makelar beradu muslihat untuk menyambung hidup mereka. Setiap penumpang yang turun dari kapal akan diseret ke sana kemari untuk ditawari angkutan. Pada saat yang sama, copet-copet juga akan menggerayangi saku mereka.
Tentu agak sulit membayangkan seorang bocah laki-laki berperawakan gendut sepertiku harus jadi orang yang jago berkelahi. Lagi pula harus berkelahi lawan siapa? Di posisiku, mencari musuh itu juga susah. Karena dari puluhan bocah laki-laki teman bermainku, tak seorang pun yang pernah memusuhiku. Jangankan berkelahi, bertengkar pun tidak pernah.
Mungkin karena di antara mereka akulah satu-satunya teman mereka yang gendut, dengan tubuh yang tampak lucu, sehingga tak seorang pun dari mereka yang menganggap aku layak untuk dijadikan musuh. Yang terjadi malah sebaliknya, mereka sering mentertawaiku, terutama saat kami main bola di ladang. Setiap aku mengejar atau menggiring bola mereka akan selalu tertawa terpingkal-pingkal melihat tubuhku yang bulat berlari tertatih-tatih seperti robot, sampai mereka lupa kalau aku adalah tim lawan yang sedang mengarahkan bola ke gawang mereka, meskipun tendanganku akan selalu nyasar ke luar lapangan.
Berkali-kali aku dengar mereka berkelakar, "Ini bolanya yang mana? Yang merah atau yang hitam?" kata mereka membandingkan bola plastik berwarna merah dengan tubuhku yang memakai celana hitam yang hampir serupa dengan warna tanah, karena sejak dibeli dari pasar rombengan menjelang perayaan Hari Keramat Putih setahun lalu belum pernah dicuci sekali pun sampai sekarang. Selain dipakai sekolah tiap hari, celana itu juga akan kupakai menyembah batu. Meskipun aturan agama mengharuskan orang memakai pakaian bersih saat menghadap Rumuhun.
Hampir semua teman menyukai keberadaanku yang terkesan lucu di mata mereka. Sehingga tak menemukan alasan sekecil kuman pun untuk memusuhi mereka. Akibatnya aku bingung sendiri ketika ayah menginginkan aku menjadi anak yang jago berkelahi seperti mendiang kakekku yang tewas terjatuh dari pohon kelapa.
Itulah alasan Ayah sehingga membiarkan aku bergulat sendiri melawan burung elang yang sedang memangsaku di ladang pada hari Keramat Putih itu, hingga sebelah bola mataku hilang dimangsa burung elang.
"Ayah, jahat sekali kau, Ayah! Tega membiarkan mataku dipatuk burung elang, hingga aku picek seperti sekarang ini!" teriakku di dalam hati, karena takut didengar oleh ayah. "Anak laki-laki jantan macam apa yang Ayah maksud, kalau mata saja tak punya!" gerutuku sambil menahan sakit.
Masih terekam dengan jelas dalam ingatanku, dan menjadi trauma mendalam hingga sekarang, ketika aku berguling-guling di rumput menghindari cakar dan paruh burung elang yang tajam dan melengkung seperti kawat berduri, dan Ayah tega membiarkanku dicabik-cabik oleh burung pemangsa itu. Berkali-kali cakar dan paruhnya mencoba mengangkat tubuhku ke udara untuk membawanya terbang seperti anak domba (yang kerap kami saksikan di tanah yang terkutuk ini).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi ukuran tubuhku yang gendut, 40 kilogram, membuat burung itu tak mampu mengangkat tubuhku dan membawanya terbang ke lereng gunung. Sehingga burung elang yang lapar itu hanya bisa mencabik-cabik kulitku, dan menarik setiap serat daging dan kulitku yang sobek dan nongol keluar. Dan Ayah baru datang menolongku setelah mataku hilang dan kulitku tercabik-cabik seperti bekas kawat berduri.
"Kenapa tidak kau biarkan saja aku mati dicakar-cakar burung itu, Ayah?" kataku dalam hati ketika Ayah mengangkat tubuhku yang tergeletak bersimbah darah di bawah gerumbul semak-semak tempat aku menyelusup masuk untuk menghindari burung ganas itu.
Adakah tempat yang lebih kejam di dunia ini selain dari dataran tandus yang namanya tak tertulis di dokumen negara, kecuali sebuah titik cokelat mirip biji terong yang menodai peta? Gopol adalah nama neraka di bumi itu, dengan burung elang cokelatnya yang memangsa anak-anak.
Kalau di tempatmu hanya ada elang-elang kecil yang memangsa tikus dan anak ayam, tapi di tempatku burung elangnya sebesar kurungan ayam dan biasa memangsa anak domba dan bocah-bocah yang suka berkeliaran menangkap belalang di ladang.
Di tempatku hampir semua dongeng dan hikayat yang tersurat di daun lontar akan dikaitkan dengan keganasan burung elang yang biasa memangsa anak kecil secara turun-temurun sejak jaman nenek-moyang kami.
Jadi bukan harimau atau babi hutan yang menakutkan kami. Harimau jarang turun gunung ke pemukiman penduduk, kecuali saat Gunung Bayang meletus. Begitu juga babi hutan, tak terlalu mengkhawatirkan kami. Babi hutan hanya akan menggasak ladang singkong sampai ludas dan pergi setelah kenyang. Tetapi burung elang sebesar kurungan ayam yang jumlahnya sangat banyak itu telah menyebabkan ratusan anak yang lahir hanya sepuluh atau lima belas orang yang bisa selamat sampai dewasa, selebihnya hilang atau tewas dimangsa burung elang, yang dalam bahasa kami disebut kondongan, karena suka menggondol bocah-bocah itu.
Konon dari dua belas orang anak Pu Bakok, leluhur kami, hanya tiga orang yang bertahan hidup sampai dewasa. Selebihnya dimangsa burung elang.
Di lereng pegunungan Kabana dan Megusang banyak sekali tengkorak-tengkorak kepala balita korban keganasan burung elang. Karena setelah berhasil menggondol seorang bocah, burung-burung elang raksasa itu akan membawanya terbang ke pohon-pohon besar di sepanjang pegunungan Kabana dan Megusang.
Kondisi alam yang tak ramah dan kerontang membuat pertumbuhan fisik anak-anak di Gopol kurang sempurna. Kebanyakan mereka bertubuh kurus dan ringkih, sehingga dengan mudah digondol burung elang.
Oleh karenanya, setiap akan keluar rumah, termasuk ke sekolah, setiap anak akan diharuskan membawa arit untuk melindungi diri. Alat penyabit rumput itu cocok untuk ukuran tangan anak-anak yang masih kecil, karena ringan, sehingga mudah digerakkan untuk membela diri saat ada burung elang.
Tetapi, sejak meletus peristiwa politik tahun 1965, kami tidak diperbolehkan lagi membawa arit saat keluar rumah, karena bentuk arit yang melengkung itu dikaitkan dengan lambang partai politik yang memperjuangkan keadilan lewat pemberontakan. Sehingga semakin banyak saja jumlah anak-anak yang dimangsa burung elang.
Onggokan batu-batu hitam di tengah ladang itu terus menatapku dengan sorot mata penuh kebencian. Aku sangat ketakutan. Karena terbayang kembali kejadian dua atau tiga tahun silam, ketika cakar dan paruh burung elang menggerogoti bola mataku sampai copot. Dan apa yang kukhawatirkan itu akhirnya benar-benar menjadi kenyataan.
Mendadak terlihat puluhan, ratusan, bahkan ribuan ekor burung elang terbang melayang-layang mengepungku dari semua arah. Karena tak melihat lagi ayahku di belakang, aku pun berlari tunggang-langgang ke suatu arah (yang aku lupa), menghindari ribuan burung elang yang mendadak mengepungku dari langit.
Aku terus berlari dan berlari, melintasi savana, menembus kabut dan hutan....
Mataram, April 2020
Keterangan
Kotok: bujang lapuk
Rumuhun: nama Tuhan orang ladang
Adam Gottar Parra lahir 12 September 1967 di Praya, Lombok Tengah. Karyanya antara lain dimuat dalam buku kumpulan bersama Melabuh Kesumat (Riau Pos, 2013)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)