Pertemuan dan Kehilangan

Cerita Pendek

Pertemuan dan Kehilangan

Eros Rosita - detikHot
Sabtu, 02 Mei 2020 12:15 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Kau tidak pernah bilang kau pernah punya hubungan dekat dengan Jun."

"Aku memang tidak pernah berhubungan dekat dengannya."

"Lantas?"

"Aku pernah menjadi temannya, dulu."

"Sebelum kau melarikan diri?"

Aku diam. Melarikan diri?

"Aku tidak melarikan diri."

"Kau melarikan diri. Itu sudah jelas." Len terdiam sejenak. "Berapa lama kau tidak menghubunginya?"

"Sepuluh tahun."

Len berteriak, suaranya memekik dari sambungan earphone. "Setelah sepuluh tahun menghilang, kau baru berniat mencarinya, sekarang?" Ada penekanan pada kata terakhirnya. Dia menggelengkan kepala. "Apa yang membuatmu tiba-tiba mengingatnya?"

"Aku bertemu dia di stasiun."

Mata Len membelalak, terkejut. "Dia, kembali?"

Aku mengangguk dan aku tidak berbohong perkara ini. Bahkan, aku pun tidak mempercayai penglihatanku sendiri.

Pada jam pulang kerja yang sibuk, mendung yang menggantung di langit-langit menjelma hujan. November, setelah beberapa pekan awal musim hujan hanya dihiasi terik matahari yang lembab, butiran air akhirnya retih. Angin yang mengantarkan aroma khas petrichor perlahan menguar dari penciumanku.

Aku berjalan keluar dari kedai kopi di salah satu sudut stasiun dengan menenteng latte panas dalam cup. Matahari belum lama tenggelam. Bau tanah basah dan uap kopi di musim yang sendu mengantarkan sosok lelaki itu di mataku.

"Sori, permisi." Dari arah belakang, kata itu terucap dari bibirnya. Aroma petrichor yang tadi kuhirup perlahan berbaur dengan aroma mint saat sosoknya bersisian denganku.

Dia berlari tergopoh-gopoh menyusul suara pengumuman dan sirine yang menggema. Kakinya yang jenjang berbalut celana chino krem yang dipadukan dengan Nike Running abu-abu yang sedikit kumal. Hoodie indigo yang dia kenakan menutupi rambut ikalnya yang mulai memanjang.

Aliran darah di tubuhku seolah memaksa jantungku berdetak lebih cepat, semakin cepat, hingga berhenti. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya sirine kereta membuyarkan lamunanku. Saat aku hendak mempercepat langkah, perlintasan justru menahanku. Tempias hujan lembut mengenai wajahku yang memanas. Kereta datang. Pengumuman dari pengeras suara bersahutan dengan suara ingar-bingar, dan suara hujan yang bergemericik mengenai atap stasiun.

Dalam sekejap, lalu-lalang orang bersirobok memenuhi peron yang basah. Pembatas kembali dibuka. Aku mempercepat langkah untuk sampai pada kereta yang berhenti terlalu jauh dari tempatku semula. Namun, saat aku hendak memasuki kereta yang dia naiki, pintu kereta tertutup kembali.

Aku mematung di peron, di antara orang-orang yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Jendela kereta buram dan berembun, tetapi sosoknya yang kurus jelas terlihat di mataku. Dia berdiri di antara kerumunan. Tangan kanannya menggantung pada hanging aley. Sementara, tangan kirinya memeluk novel berwarna oranye, One Hundred Years of Solitude, buku karangan Gabriel Garcia Marquez yang belum pernah kubaca.

Kereta kembali bergerak. Suara gesekan roda-roda besi dan rel memekakkan telingaku.

Hujan menderas. Angin mulai mengirimkan hawa dingin yang memaksaku merapatkan parka yang melekat di tubuh. Aku berlari ke tengah peron agar tempias hujan tidak lebih parah mengenai tubuhku. Butiran air yang jatuh bersamaan seolah begitu singkat dan cepat meluruhkan bayangannya. Aku tertegun lama. Sudah terlampau lama semenjak kali terakhir kami bertemu di penghujung Desember yang basah, di sebuah sudut kedai kopi yang penuh dengan buku-buku, di tempat yang begitu jauh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kusesap latte hangat dari cup.

Setelah sekian lama, ada hal-hal yang ternyata tidak berubah.

Namun, ada hal-hal yang ternyata kusesali.

Dia masih berkacamata seperti dulu. Dia adalah seseorang yang telah memberiku novel karangan Ernest Hemingway, The Sun Also Rises.

"Aku menemukan buku Hemingway, The Sun Also Rises seharga tiket Transjakarta. Aku tidak membutuhkannya, tapi karena murah aku membelinya. Kau sudah lama mencari buku itu kan?" Kalimat itulah yang mengantarkan kami pada pertemuan singkat di stasiun pada Desember yang berembun. Pertemuan terakhir sebelum aku menghilang pada kesunyianku, pertemuan yang ternyata mengantarkan dia menuju tempat yang begitu jauh yang dia sebut bumi asing, bumi para nabi.

Sekarang, Jun ada di kota ini. Dia kembali.

"Kau menghubunginya? Maksudku, kalian bertemu dan mengobrol?" Len kembali membuyarkan lamunanku. Suaranya terlalu keras sehingga memantul di telingaku. Di dalam layar, wajahnya penuh pengharapan, menunggu jawabanku. Aku melihat ke luar jendela. Malam telah beranjak naik. Tidak ada bintang di langit, tidak ada bulan. Hanya ada bayanganku yang memantul di kaca jendela bersama lampu-lampu kota yang pendar di kejauhan.

Aku menggeleng. Len menepuk keningnya. "Astaga, Rue. Apa sih yang ada di kepalamu?"

"Dulu dia pernah memberiku buku Hemingway."

"Dia suka Hemingway?"

"He knew, but he didn't need it. He bought because I need." Aku tercekat menyadari kebodohanku yang bahkan baru kusadari, "Dia membelinya untukku."

"Dan kau baru saja menyadarinya setelah sepuluh tahun?"

Aku masih diam, menunggu reaksi Len yang tampaknya akan mengoceh.

"Hemingway pernah bilang, pernahkah kau sadari hidup berlalu begitu cepat dan kau tidak memanfaatkannya? Apakah kau sadar jika kau sudah melewati setengah kehidupanmu? Tanpa melakukan apa-apa?" Kalimat yang terakhir itu sudah jelas bukan kalimat Hemingway.

"Aku menghubungimu bukan untuk mendengarkanmu mengoceh soal Hemingway."

"Kau tahu, lelaki mana sih yang mau menunggu, hah? Where fucking are you when he really want for you?"

Aku tertawa. "Jangan menghakimiku, Len. We are just a friend."

"Menurutmu kenapa dia rela membeli buku Hemingway padahal dia tidak membutuhkannya?"

Aku terdiam.

"Dan menurutmu, kenapa dia kembali?"

Aku menggeleng.

"Kau membaca buku itu?"

Aku melirik rak buku yang berada di pojok ruangan. Hingga sekarang, The Sun Also Rises masih menjadi pemanis di rak bukuku bersama buku-buku baru. Aku bahkan belum sekali pun membukanya.

Buku itu sedikit berdebu dan terlupakan.

***

Apa yang bisa kita lakukan untuk menebus penyesalan di masa lalu?

Kalimat itu entah sejak kapan mulai menghantuiku. Sejak menelepon Len, aku terjaga sepanjang malam dan sekarang kepalaku terasa berat. Jarum jam menunjuk angka delapan, terdengar dentingan sebanyak delapan kali yang memecah keheningan. Aku bangkit dari tempat tidur, menuju pantry dan menyeduh secangkir kopi panas tanpa gula.

Sebagaimana lirik yang ditulis Axl Rose, November tahun ini hujan retih di balik jendela apartemen. Angin yang datang bersamanya menyibakkan daun-daun kering hingga ranggas pada aspal-aspal basah. Kuletakkan cangkir kopi pada meja kerja yang masih berantakan. Kuas cat dan tisu kotor, air cucian cat pada gelas kaca yang sudah keruh, gambar yang belum selesai, serta kotak-kotak cat air yang sudah cekung.

ADVERTISEMENT

Tanpa berniat membereskannya, aku justru menyalakan laptop. Sejenak kutatap jendela yang mulai berembun. Hari ini Minggu. Tidak banyak orang yang keluar rumah, tetapi masih ada beberapa orang yang berjalan dengan payung. Beberapa memilih menutupi kepala dengan hoodie seperti hendak berdamai dengan air itu.

I still think of you too if only you knew
I just need to work out some way of getting me to you

Sayup-sayup denting piano yang mengiringi suara merdu seorang lelaki dan perempuan terputar dari Spotify di layar laptop di depanku. Mike, kucing persia berwarna abu-abu yang kuadopsi beberapa bulan yang lalu melingkar di atas bed cover. Wajahnya pulas dan tampak hangat. Kusesap kopiku. Aku tidak mengerti kenapa kopi selalu memiliki daya magis. Bahkan beberapa AB yang kukenal selalu menaruh harapan pada kedai kopi yang berisi buku-buku. Tak terkecuali Jun.

Sepuluh tahun yang lalu, Jun yang pertama kali menambahkanku menjadi temannya pada sebuah situs pertemanan. Pertemananku dengannya berjalan secara natural dan tidak mencolok. Kami hanya menyapa dan berbalas komentar sesekali. Aku dan dia tidak terikat satu sama lain.

Dia suka menulis puisi. Bukan puisi picisan, bukan puisi patah hati, tapi puisi yang memiliki daya magis. Aku menyukai puisi-puisinya. Dia memiliki kata-kata yang indah tanpa dibuat-buat. Kata-kata itu adalah cermin dari hatinya yang lembut. Aku tahu, Jun menulis dengan tulus. Dia juga membaca banyak buku dan menyukai kopi. Setiap penulis pasti tergila-gila dengan buku dan kopi, tapi Jun memiliki harapan pada keduanya.

"Rue, suatu saat aku ingin mendirikan kedai kopi yang berisi buku-buku."

Aku tidak pernah melihatnya bersama seorang gadis. Di situs pertemanan, dia hanya berani menggodaku, walaupun banyak teman gadis yang dekat dengannya. Meski begitu, aku dan Jun tidak pernah membicarakan perasaan. Kami berteman sebagaimana semestinya. Kami berjalan sebagaimana seharusnya.

"Sebentar lagi aku akan melewati stasiunmu. Kau bersiaplah. Nanti kutemui kau di peron."

Kalimat terakhir itu cuma gurauannya untuk menggodaku. Pada kenyataannya, dia tidak pernah datang ke stasiun, kecuali saat dia menyerahkan Hemingway. Pertemuan pertama itulah yang justru membuatku kehilangan dia.

Aku menatap kertas-kertas yang kugantung di pojok dinding dengan penjepit kayu. Beberapa gambar yang sudah kubuat kupajang di sana.

"Kau masih suka melukis? Omong-omong, kau masih punya utang lukisan padaku, Rue. Jangan pura-pura lupa." Jun pernah berkata demikian dalam sebuah chat. Kalimatnya diakhiri dengan emoticon tertawa.

Aku menanggapinya dengan bualan. Namun setelah itu, aku justru memilih untuk melukis seseorang. Seseorang yang bukan Jun. Seseorang yang salah. Seseorang yang lantas membuatku kehilangan Jun.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk menebus penyesalan di masa lalu?"

"Apa yang mau kau tebus? Kau punya utang? Kau dikejar debt collector?"

"Aku serius, Len."

"Aku juga serius, apa yang mau kau tebus?"

"Aku hanya ingin memperbaiki hubungan. Seperti ada sesuatu dari masa lalu yang ingin kuselesaikan." Aku mengatakannya dengan terbata-bata.

"Kau sudah menghubunginya?"

Aku bahkan tidak punya cukup keberanian untuk menghubungi Jun. "Aku tidak yakin."

"Kau belum mencobanya, Rue."

Sejujurnya aku sudah cukup lega bisa melihatnya kembali. Dia masih menulis seperti dulu. Bahkan, dia sedang aktif mengelola situs kepenulisan bersama mahasiswa Indonesia di negeri para nabi. Aku diam-diam mencari tahu.

"Dia kembali, kan?"

Yang jelas, Jun ada di kota ini. Pertanyaan Len itulah yang membuatku sampai pada profil Jun di Instagram. Tidak banyak aktivitas yang dia lakukan. Fotonya hanya berjumlah lima belas dan didominasi foto-foto bangunan tua Timur Tengah yang biasa kulihat pada buku-buku kisah nabi. Ada foto cangkir kopi dan tumpukan buku-buku, dan hanya ada satu foto yang menampakkan sosok Jun. Wajah itu seperti Jun yang kulihat di stasiun beberapa hari yang lalu. Jun yang memakai hoodie dan berambut ikal.

Sementara itu, foto terakhir adalah foto langit senja yang biru keemasan dan sedikit sendu, di-posting awal bulan lalu.

"Rue, apa kau percaya keajaiban?" tanya Len. "Kalau kau percaya, kuberi tahu kau satu hal."

Aku menunggu dia menyelesaikan kalimatnya. "Beberapa hal akan tersampaikan justru ketika kau menyimpannya rapat-rapat. Yang perlu kau lakukan hanyalah menghubunginya, lalu melepaskannya. Percayalah, perasaan tulus akan menemukan jalannya sendiri."

Len menutup percakapan. Aku tercenung, lama.

Kerinduan menyergapku, tiba-tiba, tanpa peringatan. Ada hangat yang menjalar di dadaku. Jantungku berdegup. Lagu di Spotify berubah menjadi petikan gitar yang teduh.

If you missed the train I'm on
You will know that i am gone
You can hear the whistle blow a hundred miles

Jariku bergerak menuju kotak pesan pada profilnya. Aku mengetik beberapa kalimat.

Jun, apa kabar? Kau masih mengingatku?

Pesan itu terkirim.

Kau sudah kembali? Beberapa hari yang lalu aku melihatmu di stasiun.

Aku menunggu.

Seminggu, dua minggu, tiga minggu, hingga musim berganti selama berkali-kali.

Apa seperti ini yang dulu dia lakukan ketika aku menghilang? Apa dia menunggu hingga akhirnya menyerah dan memilih melepaskan seperti yang dikatakan Len?

Pada akhirnya, pesan itu tidak pernah sekali pun terbaca dan sosoknya di Instagram benar-benar menghilang. Meski matahari selalu terbit berkali-kali, beberapa lama setelah itu.

Jakarta, April 2019

Eros Rosita mahasiswa desain, domisili di Depok




(mmu/mmu)

Hide Ads