Jumaq adalah orang kedua yang diajaknya bekerja sama dalam bisnis. Sebelumnya, ia mengajak Bedul, orang yang tidak kalah malasnya. Hampir sama kelakuannya dengan Jumaq. Terakhir, yang membuatnya begitu marah sehingga menghentikan kerja sama dengan Bedul adalah keinginan Bedul berutang padanya untuk kesekian kali dan kali itu dengan jumlah yang begitu besar, padahal pendapatan kafe belum ada sedikit pun yang masuk ke kantongnya. Uang dari kafe hanya berputar-putar di situ saja, untuk membayar operasional.
Laurent Plana tidak hanya membuka kafe di tempat itu, melainkan juga galeri seni lukis kecil. Tetapi ia tidak bisa terang-terangan melukis, karena belum mengantongi izin pemerintah. Visanya adalah visa sosial, bukan visa kerja apalagi bisnis. Lagi pula, kalau pun dia nanti berhasil mendapat visa kerja atau bisnis, melukis bukanlah pekerjaan atau bisnis yang boleh dilakukan oleh orang asing. Industri kreatif hanya boleh dipegang oleh Warga Negara Indonesia. Karena itulah, Laurent Plana akan selalu membutuhkan orang lokal untuk bisnisnya.
Awalnya ia simpati pada Jumaq, atau lebih tepatnya kasihan. Jumaq sudah yatim sejak kecil. Rumah Jumaq di Kecamatan Pemenang hancur oleh gempa. Ibu Jumaq dan kedua adiknya tinggal di pengungsian dekat rumahnya yang hancur. Karena merasa bosan terus-terusan di pengungsian, satu bulan setelah gempa besar, Jumaq kembali ke Gili Trawangan. Dia langsung menuju bangunan yang sebelum gempa adalah tempatnya melukis dan menjual lukisan, yang pemiliknya seorang haji "asli" Gili.
Bangunan itu terdiri dari dua ruangan yang disekat dengan papan; satu ruangan dijadikan kios yang menjual kebutuhan sehari-hari, sedang ruangan satunya lagi ditempati Jumaq. Namun sekarang bangunan itu roboh oleh gempa, yang tersisa hanya puing-puingnya. Peralatan melukis Jumaq ikut tertimbun di dalamnya. Karena kenyataan itu, berhari-hari Jumaq harus menumpang di kos salah satu temannya. Sampai kemudian oleh temannya itu dia diperkenalkan pada Laurent, perempuan lima puluh lima tahun asal Prancis.
Jumaq boleh melukis dan menjual lukisan di tempat Laurent, Jumaq juga akan membantu menjualkan lukisan Laurent, tentu dengan komisi sekian persen bagi Jumaq. Sedangkan untuk kafe Laurent, Jumaq pula yang akan mengurusnya. Kafe itu pastilah masih sepi pengunjung, tidak seramai saat sebelum gempa, karena itu untuk sementara tenaga tambahan tidak diperlukan.
Dua minggu pertama Jumaq begitu rajin. Pagi-pagi sekitar pukul tujuh dia sudah menyapu di kafe kecil itu. Lalu dia menata apa-apa yang akan dijual, lantas mulai melukis di tempat yang sekiranya bakal gampang dilihat oleh banyak orang. Di minggu pertama, ada dua lukisan Laurent dan satu lukisannya yang laku. Sementara kafenya masih sepi, kalah oleh kafe yang ada di sampingnya.
Di minggu kedua, tidak ada satu lukisan pun yang laku. Ada beberapa orang datang untuk melihat dan bertanya perihal lukisan-lukisan, tetapi tidak ada yang membeli. Kafenya juga semakin sepi, sering seharian tidak ada pengunjung yang makan atau sekadar minum.
Di minggu ketiga dan keempat, benar-benar tidak ada yang berkunjung ke tempat itu, sehingga membuat Jumaq bosan. "Ini bukan hanya tentang tamu yang sepi," pikir Laurent, "Ini juga soal kelakuan Jumaq." Laurent sering melihat Jumaq kesal pada tamu yang bertanya tentang lukisan tetapi tidak jadi membeli. Dia juga mulai bersih-bersih kafe saat hari sudah siang, minuman-minuman di dalam lemari pendingin tidak diatur dan tidak penuh, alat-alat melukis sering terlihat berserakan di lantai.
Laurent memutuskan untuk bicara lebih serius kepada lelaki dua puluh lima tahun itu. Ia meminta Jumaq untuk lebih fokus pada bisnis mereka, Jumaq bilang, "Ya-ya-ya," tetapi di akhir pembicaraan malah minta izin untuk menengok ibunya di kampung. Laurent pun terpaksa mengiyakan. Setelah seminggu Jumaq tidak kembali juga, Laurent meneleponnya, tetapi Jumaq tidak menjawab. Jumaq baru datang sekitar dua minggu kemudian. Laurent pikir Jumaq sudah segar kembali untuk bekerja. Ternyata tidak. Jumaq tetaplah Jumaq.
"Kamu bodoh dan tidak tahu diri. Kamu menyia-nyiakan kesempatan yang saya berikan. Saya sudah sangat baik kepada kamu, memberi kamu banyak sumbangan ketika awal-awal gempa dan lalu memberi kamu pekerjaan. Tetapi kamu tidak menghargainya," kata Laurent.
"Kamu bilang saya bodoh? Saya tidak bodoh. Belum pernah ada orang yang berani mengatakan saya bodoh. Dan kamu membahas-bahas sumbangan yang kamu berikan? Itu tidak baik, Laurent. Saya berhenti dari sini. Bebalu kurang ajar kamu!"
Dan begitulah, Laurent mematung di tengah kafe dan galeri lukisnya.
Sudah sebulan Laurent menutup kafenya. Selama itu ia hanya bersepeda, belanja ke pasar, memasak di kamar kontrakannya, atau snorkeling di laut, dekat restoran kawannya.
Suatu hari, kawannya itu sedang asyik ngobrol dengan seorang tamu dari penginapannya yang ada di belakang restoran tersebut. Nama tamu itu Marc Toruella, seorang Spanyol yang datang dengan keluarganya. Dia akan menginap sekitar seminggu. Dia sudah pernah menginap di situ. Dia ingin membuka suatu bisnis, di mana dia nanti akan memberdayakan warga setempat, dalam artian tidak hanya mempekerjakan, tetapi juga mendidik. Dia juga akan memanfaatkan apa-apa yang tumbuh di Gili Trawangan dan sekitarnya, misalnya tanaman lidah buaya yang bisa dimanfaatkan untuk minuman segar.
Ide itu dia dapat setelah melihat banyak sekali tanaman itu tumbuh di depan kamar tempat dia menginap.
"Bagaimana menurut kalian bisnis di pulau ini?"
"Oh, sangat bagus. Hanya perlu pemulihan untuk beberapa bulan setelah gempa, setelah ini saya pikir akan baik kembali," jawab Susi, kawan Laurent, si pemilik penginapan dan restoran.
"Kalau menurut kamu bagaimana Laurent?"
"Menurut saya juga seperti itu, tetapi usaha saya terkendala bukan karena faktor luar. Saya pikir, saya kurang mampu mengatur keuangan dan karyawan. Sepertinya memang saya kurang cocok berbisnis di sini," jawab Laurent. Tapi dalam hati ia berseru, "Kesempatan emas!"
Lalu seperti bagian dari tim pemasaran sebuah perusahaan properti, Laurent pun bercerita bahwa tempat usahanya cukup strategis, tetangganya tidak suka mengganggu, dan ia telah melakukan renovasi kecil seperti mengecat serta memasang instalasi listrik.
Di akhir "iklannya" ia menawarkan Marc untuk melanjutkan kontrak lokasi yang sudah terlanjur ia bayar tiga tahun. Ia baru memakai tempat itu kurang dari setahun, tetapi sudah ia pikirkan untuk tidak melanjutkannya. Laurent merasa selalu dipertemukan dengan lelaki lokal yang tidak bisa dipegang omongannya. Lebih baik ia bekerja di Prancis selama enam bulan, lalu kembali lagi ke Gili Trawangan untuk menikmati hidup selama enam bulan, daripada harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak bisa menepati janjinya.
Ia ingat waktu pertama kali datang dan jatuh cinta pada seorang penyanyi kafe bergaya reggae, lalu ia ditinggalkan begitu saja. Lelaki itu berkata, "Saya ingin kembali pada kekasih saya yang lama. Saya tidak mau punya pacar orang Prancis miskin dan pelit seperti kamu!"
Ketika ditinggalkan oleh penyanyi itu, Laurent kaget dan sedih luar biasa. Ia tidak menyangka bahwa seorang lelaki bodoh yang sering menghabiskan upah menyanyinya hanya untuk tiga botol bir dan sebungkus rokok bisa dengan mudah merendahkannya dengan kata-kata yang baginya tidak benar sama sekali. Bagaimana mungkin lelaki itu bisa mengatakannya pelit dan sekaligus miskin, sedangkan setiap mereka pergi berlibur ke Kuta Lombok sampai ke Kuta Bali selalu Laurent yang membayar untuk hotel, makan, dan juga transportasi. Hanya saja Laurent tidak mau kebaikannya dianggap sebagai kewajiban, sehingga ketika lelaki itu meminta uang padanya karena sudah sebulan tidak bekerja, Laurent menolak. Ia melihat lelaki itu pada akhirnya menjadi pemalas, bukan lelaki yang tahu diri dan tahu caranya menghargai kebaikan orang lain.
Setelah itu Laurent pulang ke Prancis.
Ketika ia datang ke Gili untuk kedua kalinya, uang sewa cottage tempatnya tinggal tiba-tiba dinaikkan. Padahal ia telah membayar di awal untuk tiga tahun. Rencananya ia akan menyewakan kamar tersebut jika nanti selama beberapa bulan ia pulang ke Prancis atau pergi ke negara lain. Ia menolak kenaikan itu, dan minta uangnya dikembalikan saja.
Pemilik tempat tersebut setuju dan berjanji akan mengembalikan, tetapi dia ingkar janji, sampai sekarang Laurent belum mendapatkan uangnya kembali. Padahal, tidak sampai satu minggu sejak Laurent mengangkat barang-barangnya, sudah ada orang baru yang menyewa tempat tersebut.
"Di negara saya tidak pernah ada perbuatan tidak profesional seperti itu," kata Laurent pada Susi setelah Marc kembali ke penginapan dan mereka duduk berdua saja.
"Yah, memang begitulah yang sering terjadi di sini, Laurent."
"Bayangkan, kalau saya melapor ke polisi, dia juga akan melaporkan saya melukis di cottage itu, dia akan menuduh saya berbisnis, meskipun saya hanya menjual lukisan sesekali saja. Belum lagi, saya pusing tiap mengingat bagaimana kelakuan Bedul dan lebih-lebih Jumaq. Semua lelaki yang saya ajak kerja sama begitu malas dan tidak tahu diuntung. Ah, laki-laki di negara tropis. Laki-laki yang dimanja oleh iklim dan budayanya."
Laurent merenung sejenak, sebelum kemudian melanjutkan, "Susi, bantulah saya untuk bicara pada Marc. Saya tahu kamu bisa meyakinkan dia. Memang kamu orang lokal, tapi kamu kaya dan yang penting, bukan laki-laki."
Catatan
Bebalu: janda
Gunung Sari-Gang Metro, 13-28 Maret 2020
Bulan Nurguna lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Pernah memimpin Teater Koin di almamaternya. Kini turut terlibat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat
(mmu/mmu)