Seperti biasa, bagi masyarakat pulau kerdil ini kemacetan melanda Jalan Victoria hingga di depan Kantor Britania Raya. Rupanya hari ini meletus demonstrasi. Semua berangan-angan yang terburuk soal Brexit tampaknya. Bau apek keringat, deru berang klakson serta bau karet terbakar merebak ketika Antoni menurunkan kaca mobil. Ia ingin tahu bau kota ini yang tak pernah tahu sepi. Tak ada privasi pula. Semua dipantau CCTV maupun layar sentuh gawai seluruh lapisan masyarakat.
"Inilah kota kami, Dik!" seru sang sopir taksi di sampingnya, Mr Salim namanya. Pria kelahiran Bangalore berkepala lima yang sudah menyopir penumpang dari Tanah Merah selama satu dekade.
Para demonstran itu datang dari berbagai ras dan golongan. Ada yang berkulit kuning dengan rambut legam, yang pucat dan pirang langsat berteriak lantang, disusul pemuda-pemuda keturunan Jazirah Arab. Anak-anak muda yang berjalan di samping trotoar, berkulit bersih hasil operasi plastik, bergaya Harajuku dan K-Pop berpakaian katun dan hoodie mahal, hanya bersikap acuh mengeluarkan gawai mereka untuk merekam kejadian itu. Lalu mengunggahnya ke storygram. Mereka merasa hidup dari itu.
Toni tak menyimak sikap mereka itu. Ia seringkali muak dengan sikap manusia, dan lebih sering mendengarkan atau berbicara pada pepohonan dan bunga-bunga. Ia terlahir dengan kelainan mampu menyimak bahasa tumbuhan, dan bahkan orang-orang dari kampungnya di Medan berkata ia dilahirkan oleh pohon jati di hutan, karena di situlah ia ditemukan seorang pendeta paruh baya yang sedang ingin mencari tempat berdoa.
Sejak kecil ia tak merasakan semangat anak manusia lain. Mereka menendang dan mengejar-ngejar bola plastik di kampung, memanjat pohon kelapa di bibir pantai, mendayung sampan menyeberangi muara dengan buaya mengawasi, Toni diam saja. Ia memeluk dan berbicara pada pohon kelapa itu, tertelungkup tidur seperti bayi dalam pangkuan ibu.
Kini di jalanan Victoria yang terbakar protes itu, ia memperhatikan semak-semak berbunga, pohon aren, cempaka putih, dan damar yang batang tubuhnya ditanami anggrek. Mereka gelisah dan ikut tersulut api geram, seakan-akan raung demonstrasi itu juga tentang mereka.
Rupanya benar. Kaum hijau itu tidak menyerukan masalah Brexit, melainkan tentang lahan hutan liar Engelhorn di Jerman yang akan dijadikan tambang batu bara. Tambang ini dikelola oleh perusahaan energi Watts GmBH milik Jerman. Dan Inggris menyetujui usul itu, memberi dukungan dengan memfusikan perusahaan tenaga listrik terbesar mereka. Meletuslah kemarahan kaum hijau pecinta lingkungan kepada pemerintahan Britania.
"Selamatkan bumi! Kami kaum muda peduli!"
"Para elite hanya diperbudak satu hal: uang! Masih banyak energi mentah lainnya!"
Raung para demonstran itu menggema ke seluruh distrik, hingga polisi keamanan dan tentara dikerahkan. Mereka menggotong senapan peluru karet, semprotan gas air mata untuk berjaga-jaga. Sedangkan yang di barisan terdepan telah siap dengan perisai polikarbonatnya. Toni dapat menyimak pohon-pohon itu saling menggunjing.
"Baiklah mereka menolak tambang batu bara itu dan bersimpati pada saudara-saudara kita di Jerman, tetapi apa mereka memiliki jawaban? Sungguh naif mereka tak memikirkan konsekuensi perbuatan ini."
"Konsekuensi apa, sayangku?" tanya istrinya yang masih gelisah.
"Manusia, sayangku...mereka selalu meminta jawaban. Kini anak-anak muda ini berkoar-koar soal hak kita kaum pohon yang harus diselamatkan, tetapi jikalau Perdana Menteri Inggris itu mendengar mereka, dan benar-benar menghentikan penebangan di Engelhorn, dari mana mereka memperoleh batu bara untuk mengasup delapan juta penduduk negara itu?"
"Batu bara, mayat saudara-saudara kita terdahulu? Untuk apa?" seru cempaka putih yang masih muda itu.
"Untuk sumber listrik! Dari mana saja kau? Setiap jiwa saudara kita yang melayang di bumi ini, utamanya di belahan bumi utara, diubah menjadi sumber daya untuk penerangan rumah mereka, pemanas di musim dingin, hiburan televisi untuk membunuh waktu, serta mengisi daya gadai dan telepon genggam yang candu itu."
"Ah, betapa agung ciptaan manusia ya!" seru pohon oak yang sudah sepuh itu.
"Tetapi bukankah sebelum ini mereka membangun tenaga nuklir? Sebagai gerakan energi bersih untuk sumber listrik tanpa residu... partai hijau menyukainya," pohon oak itu mencoba mengingat-ingat.
"Betul, tetapi kaum yang sama ini memprotes pula, karena sering terjadi kebocoran reaktor nuklir yang membahayakan kesehatan mereka."
"Ah, Tihange! Aku ingat itu, betapa mengerikan!"
"Betapa absurd!" lanjut pohon damar dengan murung.
"Mereka memprotes nuklir untuk sumber listrik, pemerintah mendengar, hingga negeri itu menjadi bebas nuklir. Akibatnya pemerintah kembali kepada pembakaran arang. Tetapi kini diprotes pula oleh mereka. Apa mereka memiliki ide yang lebih baik demi mengasup kebutuhan energi mereka sendiri? Manusia adalah konsumerisme terburuk, mereka dibanjiri ambisi, dan merasa menjadi penguasa atas seluruh makhluk di bumi."
"Setuju, mereka dikutuk untuk saling memusnahkan. Sudah watak alamiahnya."
Tak lama kemudian seorang wanita tua Tionghoa, berseragam dinas biru tua petugas kebersihan taman kota, menghampiri pohon-pohon itu tanpa menghiraukan massa yang mendidih. Tacik itu mengeluarkan selang dari mobil pick up yang disetirinya, memutar kenop lalu mengguyur pohon-pohon dan tanaman itu dengan air segar.
Beberapa demonstran terdiam, lalu mengikuti aksi menyiram itu dengan mengguyurkan air minum dari termos dan botol kaca pada akar-akar. Tacik itu pun tersenyum puas.
"Di kota ini lebih nyaman menjadi pohon ketimbang menjadi orang tua. Pohon selalu dirawat penuh sukarela, sedangkan para manula? Kalau kita tidak bekerja, Dik... seperti saya menyopir, kita tak mungkin bisa makan. Mahal, sungguh mahal hidup di sini."
Toni memandang sang sopir dengan iba. Matanya memancarkan kepasrahan, dan keriput di mukanya menorehkan garis-garis perjuangan.
"Tetapi kota macam apa yang menghargai pohon ketimbang kelangsungan rakyatnya sendiri?" Toni akhirnya angkat bicara, setelah sekian lama termenung menguping pohon-pohon di taman.
Mr Salim bertutur dengan suara bergetar, "Kota yang tumbuh pesat dengan keangkuhan, yang dinamis tak pernah diam maupun tertidur, tak bertuhan karena Ia dibunuh oleh pluralisme. Semua yang ada di pulau ini, utamanya di jantungnya, adalah hasil cakap tangan anak manusia. Begitu pula bahagia-sedih kami, iman-putus asa kami, taman hiburan, klub malam, mall-mall, semuanya hasil cakap tangan anak manusia. Bahkan bayi pun inseminasi buatan, obat dan terapi-terapi termutakhir di benua ini semuanya buatan."
"Pernikahan pada uang, paksaan dari ancaman noda moral, polisi dalam bayangan, polusi udara...semuanya hasil cakap tangan. Hanya pepohonan, tanaman, dan bunga-bunga, Dik yang menjadi doa kami dan anak cucu nanti. Sebab jika pohon masih bisa hidup, artinya rumah kami ini belum sepenuhnya rusak. Kami masih bisa memperbaiki, merawat baik-baik dunia ini. Jadilah pembelaan hak kaum pohon ini bak agama yang jemaatnya fanatik semua, karena kami sudah putus asa. Kami sudah hampir kalah."
"Belum, Tuan. Kita belum kalah. Anak-anak muda itu masih mau membela," sambung Toni dengan wajah berseri-seri.
Para demonstran kini berangsur-angsur mereda karena mereka memilih untuk menyirami tanaman-tanaman dibanding mencari musuh. Para polisi militer pun terheran-heran dengan api yang padam seketika itu.
"Ah, Dik...tetapi mereka terlalu polos," keluh Mr Salim dengan mata berkaca-kaca.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)