Narator yang Tak Bertanggung Jawab

Cerita Pendek

Narator yang Tak Bertanggung Jawab

Abdul Karim - detikHot
Sabtu, 21 Mar 2020 11:07 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Cerita," kata seseorang, "Seperti narasi dalam kitab suci. Ia bisa membuatmu memegang keyakinan dengan segenap kemampuan yang kau miliki. Bedanya, cerita bukan kucing pemalas dan penurut di rumahmu. Ia bisa membelot dari kehendak pengarang dan pembacanya. Tapi kitab suci tidak."

Fiksi harus masuk akal, kata orang lain yang tidak ada dalam cerita ini, sementara kenyataan boleh tidak masuk akal.

Beradasarkan dua paragraf itu, apa yang terjadi dengan cerita ini jika kuawali dengan kalimat panjang, filmis, mengentak, serta adegan yang menegangkan sehingga dapat membuatmu malas beranjak meninggalkannya dan tak ingin segera tiba di ujung cerita yang hanya akan membuatmu kecewa karena berakhir dengan cara yang berbeda dengan kehendakmu?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti ini, misalnya:

I
Gal duduk di teras penginapan yang menghadap ke laut ketika langit sore berwarna saus tomat. Kakinya menjuntai-juntai sambil menyaksikan kapal-kapal berlalu. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan celana putih pendek di atas lutut, memperlihatkan kulit pahanya yang sudah tidak seputih setahun lalu, sebab setelah peristiwa setahun lalu membuatnya percaya bahwa hidup memang bukan berjalan dari waktu ke waktu melainkan dari suasana ke suasana, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di pulau-pulau jauh dan berjemur di pantai.

Tangan kanannya menggenggam dan mengelus-elus jari-jari tangannya yang lain, seolah ia sedang melamunkan nasibnya sendiri dan memikirkan jari manisnya yang dulu pernah dilingkari sebuah cincin. Di jari manis itu kini tinggal garis putih bekas lingkaran cincin. Bukan cuma kehilangan cincin di jari manisnya, Gal juga kehilangan satu suasana yang pernah membuatnya mengabaikan suasana yang lain.

ADVERTISEMENT

Gal dan matahari seolah saling bercerita perihal nasib dan kesunyian masing-masing. Gelombang-gelombang kecil dari kapal dan riak-riak dari kaki Gal membuat percikan cahaya matahari seolah-olah meleleh, mengalir, dan menjadi sama asinnya dengan air laut.

Pandangannya ia alihkan dari kapal-kapal yang berlalu ke arah matahari terbit sembari memindahkan sepasang lengannya ke belakang; tubuhnya agak condong, menyerahkan berat tubuhnya kepada sepasang lengan. Ia ingin bersandar tapi ia duduk agak jauh dari dinding.

"Kalau bukan karena dia, mana mungkin aku bisa sampai di sini," gerutunya sambil mengibaskan rambut panjangnya yang nyaris sama dengan warna langit sore ke belakang.

"Tapi," katanya lagi setelah menghela napas, dalam dan panjang sekaligus. "Meski begitu, terima kasih. Terima kasih telah memberi arti dalam hidupku dan pernah membuatku lama merasa melayang tinggi, ya, walaupun setelahnya menjadi tidak penting lagi."

Ia menoleh ke kiri, melihat jauh ke ujung teras penginapan selama beberapa detik, kemudian menurunkan penglihatannya ke lantai.

Sebuah tas jinjing berwarna putih agak kusam bergambar tumpukan buku dan satu buah gelas. Setelah menyelipkan rambutnya ke belakang daun telinga, ia membuka tas jinjing itu dan memeriksa isinya. Ia mengambil buku catatan harian.

Gal memang suka menulis sedari SMA. Ia membolak-balikkan lembar demi lembar, dan berhenti tiba-tiba. Ia diam beberapa saat, membaca sesuatu yang membuat wajahnya kembali murung.

"Betul, Ril betul katamu," ujar Gal sambil mentap air laut. "Hidup memang berlangsung antara buritan dan kemudi."

Cerita yang biasa-biasa saja, kupikir. Tapi bagaimana jadinya jika cerita itu berakhir begitu saja dan, secara tiba-tiba, berganti dengan cerita baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita sebelumnya.

II
Sudah berbulan-bulan lamanya Ril tidak keluar rumah. Ia menghabiskan hari-harinya hanya dengan menatap tulisan-tulisan yang tak kunjung selesai di layar komputer sambil sesekali ke toilet, dapur, dan balik lagi ke kamar. Ponselnya ia biarkan teronggok dengan polos di atas kasur. Sejumlah teman-temannya berkali-kali menghubunginya, mengajaknya berkumpul di halaman swalayan 24 jam tempat biasa mereka berbual-bual sepanjang malam. Pesan terakhir yang ia terima dari seorang kawannya berbunyi: "kau menghindari manusia, hah?"

Muak dengan ponsel yang terus berdering tanpa henti, ia meraihnya lalu mematikan dan melemparkannya kembali ke atas kasur. Ia menatap layar komputer lagi, melanjutkan menulis. Sebuah cerita pendek, barangkali. Ia terlihat mengetik beberapa kata kemudian menghapusnya. Ia mencengkeram kepalanya sambil menunduk seraya berharap ide-ide buruk segera berguguran dari kepalanya seperti sehelai rambut jatuh ke lantai.

Berpuluh menit kemudian, seseorang mengetuk pintu rumahnya sebanyak tiga kali tanpa suara panggilan. Ia beranjak dari kursi setelah ketukan ketiga berakhir. Ketika tiba di hadapan pintu, alih-alih membuka pintu, ia justru mengintai dari jendela. Seseorang yang sama sekali tak ia kenal. Ia memutar anak kunci yang masih menancap lalu membuka pintu.

Setelah pintu terbuka, seseorang yang berdiri di hadapannya itu bukan laki-laki dan bukan pula perempuan, wajahnya tampak bercahaya, pakaiannya bersih dan rapi sekali, tubuhnya wangi seperti disiram parfum paling mahal dengan sengaja.

"Ayo pulang," kata seseorang di hadapannya. Tentu saja ia heran dengan ajakan semacam itu, apalagi dari orang yang tak ia kenal.

"Ayo ke mana maksudmu? Kau siapa?"

"Waktumu sudah habis. Dua puluh tujuh tahun waktu yang cukup lama." Suara itu terdengar halus dan lembut sekali.

"Yang benar saja," kata Ril sambil tertawa. "Tolong jelaskan maksudmu itu. Aku tidak mengerti dan aku tidak punya banyak waktu buat hal-hal tidak dimengerti semacam ini."

Cerita pertama dan kedua sama-sama tidak menarik. Semua peristiwa di dalamnya tampak tiba-tiba dan, sayangnya, tidak mengejutkan.

III
Sepanjang aku mengenalnya, di tiap kali ia hendak pulang, ia melulu mengatakan kalimat perpisahan yang sama. Ia pemuda yang baik tetapi tak tahu apa-apa soal perasaan orang lain. Perkara kepolosannya itu kuketahui sejak lima tahun lalu saat pertama kali kami bertemu.

"Jangan pernah beranjak dari sini. Apa yang kuceritakan belum apa-apa. Besok aku pasti kembali lagi."

Sekarang, kira-kira dua tahun terakhir, ia mulai belajar memahami segala sesuatu. Peristiwa-peristiwa yang belum dan yang telah terjadi dalam hidupnya, juga ia pelajari baru beberapa tahun belakangan. Itu terjadi sejak kematian ayah tirinya, tiga tahun lalu. Perkara ayah tirinya ini akan kuceritakan di kesempatan lain.

Dari peristiwa-peristiwa yang telah ia pelajari, satu-satunya pelajaran hidup yang ia yakini adalah cerita. Cerita, baginya, punya kekuatan membikin keyakinan tambah kuat dan tak bakal digoyahkan oleh kekuatan jenis apa pun. Apakah ia memosisikan cerita sejajar dengan kitab suci? Kita tak tahu dan tak bakal tahu.

"Cerita," katanya, "Sekali pun mampu membikin keyakinan jadi kokoh dan kuat, tetap saja tak bisa dikendalikan. Sebab, tentu saja, ia bukan hewan piaraan."

Setelah keyakinanya terhadap cerita begitu kuat, ia mulai belajar mengawali dan mengakhiri hari dengan menulis cerita. Komputer, satu-satunya warisan dari kakeknya, ia pergunakan dengan sebaik-baiknya. Kita bisa saja membayangkan bagaimana ia melewati hari hanya dengan menulis cerita.

Di layar komputer, sekurangnya ada delapan belas draf tulisan. Semuanya mandek. Serupa selokan mampat. Tetapi ia kelewat yakin bahwa ia mampu menyelesaikan tulisan itu, selambat-lambatnya, dalam waktu dua pekan.

Ia pernah diganggu dering telepon selama sepekan. Dalam sehari setidaknya ada empat belas panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia diminta pulang entah untuk urusan apa. Ia bisa saja pulang sebulan sekali tanpa pernah memberitahu ibunya. Tetapi lima ratus kilo meter lebih bukan jarak yang dekat. Bertahun-tahun silam ia pernah pulang, tanpa mengabarkan ihwal kepulangannya itu pada ibunya. Kepulangan yang betul-betul mendadak.

Selain tanpa pemberitahuan, ia pulang tanpa membawa tas berisi pakaian. Ia pulang hanya membawa pakaian di badan. Dari kota tempat ia merantau menuju kampung kelahirannya memakan waktu selama dua puluh tujuh jam. Dan, jika di tahun pertama ia merantau, perjalanan itu ia tempuh hanya sekali pejam.

Ia pulang semata untuk menelusuri jejak nenek moyangnya yang kini darahnya mengalir deras di dalam tubuhnya. Atau dengan kalimat yang lebih tepat: ia pulang mencari dan hendak menulis silsilah keluarganya. Hanya itu.

IV
Kini kita memasuki bagian akhir dan sebagai ganti waktumu yang terbuang sia-sia, ada baiknya kau nikmati cerita yang, mungkin saja, jauh lebih baik dan menarik dari cerita-cerita sebelumnya. Kau boleh memilih tempat yang nyaman buatmu dan ketika cerita dimulai suaraku yang menyebalkan akan hilang dan terbenam dengan sendirinya.

Kau juga boleh menganggap cerita dituturkan oleh orang yang kau inginkan. Kau boleh menganggapnya mantan kekasihmu, temanmu di kelas, atau mantan kekasih dari kekasihmu yang menyebalkan.

***

Seperti adegan dalam sebuah film yang diperankan oleh seorang anak kecil, kira-kira berusia dua tahun lebih sedikit, buatan Bollywood. Anak itu, pemeran utama dalam film itu, membikin alat-alat kecantikan milik ibunya jadi mainan. Ia mencoret-coret cermin dengan ujung gincu. Ia menabur pupur di seluruh ruangan-kamar tidur, tepatnya. Seperti menabur abu sisa bakaran mayat seseorang entah siapa di lautan.

Ia menghamburkan pakaian kotor dalam keranjang di dekat lemari. Ia bercakap-cakap dengan boneka-boneka kecil hadiah ulang tahunnya yang pertama. Sekali waktu ia bernyanyi dengan kata-kata tak jelas, lazimnya anak dua tahun lebih sedikit. Di dapur, di atas kompor, air dalam cerek sedang mendidih dan berbunyi dan menguarkan asap pada moncongnya lalu meledak berpuluh menit kemudian.

Rumah itu berlantai dua. Pintu depan terkunci dari dalam. Keran air dalam bak mandi terbuka dan membanjiri seluruh lantai di bagian dapur.

Di jalan raya, bunyi klakson dan knalpot kendaraan saling bersahut-sahutan, mengisi hari yang terik dan menjengkelkan. Dalam rumah itu tak ada seorang ayah membaca koran atau menonton televisi atau mendengarkan siaran dari radio tua. Juga tak ada seorang ibu sedang mencuci pakaian kotor atau berbincang dengan ibu-ibu lain sambil memilah sayuran apa yang hendak dimasak.

Dalam rumah itu cuma ada seorang anak kecil yang sibuk bermain sendirian, sementara ibunya berbaring telentang di lantai dekat ranjang.

Ponsel berdering, tampaknya itu dari sang ayah yang sedang berada di luar kota. Anak itu mengangkat telepon. Sebelum ia mengangkat dan menerima panggilan telepon, ia membangunkan dengan menggoyang-goyangkan bahu ibunya yang tak ada kemungkinan buat bangkit.

Suara seorang lelaki di seberang telepon itu masih bicara dengan suara lembut, meminta anaknya menyerahkan telepon kepada ibunya. Anak itu menurut saja. Ia membangunkan ibunya sekali lagi, menggoyang-goyangkan bahu ibunya. Tetapi tetap saja tak ada kemungkinan lain selain dugaan bahwa ibunya telah mati.

***

Zoel --Zoel Kiflie-- temanku, seorang pecandu cerita yang parah. Setiap pagi ia menghabiskan dua gelas kopi hitam untuk menemaninya menulis cerita pendek. Zoel adalah satu dari sekian banyak manusia paling sibuk yang pernah kukenal di kota ini.

Coba, bayangkan, ia bekerja di sebuah gerai pulsa dan paket data berbagai jenis provider di siang hari, menulis dan membaca pada malam hari. Ia berangkat kerja pada pukul delapan pagi dan pulang tepat pukul dua belas malam, dengan gaji empat juta satu bulan, tentu ia lebih makmur ketimbang gajiku sebagai seorang jurnalis lepas di sebuah media daring kecil di kota yang sama kecilnya.

Kupikir, hidupnya seharusnya jauh lebih santai. Tetapi ia lebih memilih melakukan kesibukan lain yang tak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaannya.

Suatu kali, Zoel pernah berkata, "Cerita, seperti narasi dalam kitab suci. Ia bisa membuatmu memegang keyakinan dengan segenap kemampuan yang kau miliki. Bedanya, cerita bukan kucing pemalas dan penurut di rumahmu. Ia bisa membelot dari kehendak pengarang dan pembacanya. Tapi kitab suci tidak."

Bagi seorang yang malas berpikir sepertiku, apa yang diterangkan Zoel tentang cerita dan kitab suci itu terlampau sukar buat dipahami. Yang dapat kupahami cuma cerita, seperti yang ia katakan, punya kemampuan membuat keyakinan bertambah kuat. Dan, atas dasar itu saja, aku menyepakatinya.

Terlepas dari itu semua, yang membuatku heran adalah mengapa ia rela menghabiskan sepanjang malam buat menulis cerita-cerita pendek ketimbang tidur atau membaca kitab suci, mengingat usia kami sama-sama memasuki tiga puluh.

Zoel, temanku, pecandu cerita yang parah dan penulis yang baik, sekalipun tak pernah mengirmkan tulisan ke media mana pun dan menerbitkannya. Satu-satunya orang yang pernah membaca tulisannya, selain istrinya, hanya aku. Ia kelewat menyukai Roberto Bolano dan Hemingway. Tetapi ia selalu gagal meniru keduanya.

Iseng sendiri, ia menggabungkan teknik dan gaya dua penulis kesukaannya itu dan meniru cerita-cerita yang ditulis keduanya lalu membelokkannya secara sadis dan habis-habisan. Aku pernah membaca cerita hasil eksperimennya, sekalipun telah berakhir di keranjang sampah dekat meja kerja.

Pada suatu akhir pekan, ia mengajakku bertemu di sebuah gerai kopi yang sepi. Sesaat sebelum ia menghubungiku lewat pesan singkat, aku baru saja selesai mengetik dan mengirim tulisan yang membuatku nyaris mampus dikejar tenggat. Kebetulan hari itu Zoel sedang libur dan ia butuh seorang kawan untuk membicarakan perkara-perkara serius dan tak serius.

Sebagai teman yang sudah bertahun-tahun mengenalnya sejak mula kuliah di kampus yang sama, aku mengiyakan ajakannya, sekalipun aku tak tahu perkara penting dan tak penting apa yang hendak ia bicarakan.

Jam dinding di kantor tempatku bekerja menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit. Aku berkemas lalu turun dari ruang kerja menuju motor di parkiran.

***

Saat tiba di tempat yang sudah dijanjikan, aku memesan secangkir kopi hitam meskipun saat di kantor aku sudah menandaskan dua cangkir kopi dengan sedikit gula.
Zoel duduk di kursi paling sudut di tempat itu. Sendirian.

"Sudah lama," tanyaku saat tiba di depannya sembari membetulkan kursi.

"Ah, tidak, baru beberapa menit yang lalu. Kau sudah pesan minum," ia bertanya balik.

Aku mengangguk dan meletakkan tas punggung di dekat kaki meja. Zoel menyodorkan ponselnya. Ia menunjukkan sebuah gambar yang menyimpan senyuman anak dan istrinya. Selagi aku melihat gambar-gambar itu, ia menceritakan apa saja peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang pernikahannya. Peristiwa itu berhasil ia tulis dalam sebuah buku kumpulan cerita pendek.

Selagi aku tenggelam dalam pikiran sendiri melihat gambar-gambar itu, ia bertanya perihal judul apa yang tepat untuk kumpulan cerita itu. Buku itu, kelak akan diterbitkan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan dan putrinya.

Aku membaca sebagian cerita dalam kumpulan itu.

Kalimat apa yang sesuai untuk mewakili kebahagiaan sesaat, kesedihan, kecemasan, dan kesepian manusia dalam kumpulan cerita pendek ini, pikirku.

***

Pukul 16:56 sore, ia pamit pulang lebih dulu. Ia membayar kopi yang kupesan, kopi yang masih tersisa setengah. Menjelang pulang, aku menelepon istriku di rumah dan di kota yang berbeda, untuk memuaskan kangen yang datang tiba-tiba setelah melihat gambar keriangan Zoel bersama istri dan anaknya barusan. Panggilan teleponku diangkat dan diterima anakku. Aku menyapanya dengan penuh kelembutan kasih seorang ayah.

Di seberang telepon, anakku menangis sambil menyebut "mama, mama, mama." Aku membujuknya agar berhenti menangis dan menyerahkan telepon kepada istriku. Tapi yang kudengar cuma suara seorang perempuan sedang menyiarkan berita di televisi yang kuduga sedang bicara sendiri.

Sesaat setelah menutup telepon, aku memutuskan pulang ke rumah dan mengabaikan pekerjaanku di kota yang berjarak sekitar sembilan puluh kilo meter dari kota tempat istri dan anakku tinggal.

Aku mengendarai motor dengan kecepatan enam puluh kilo meter per jam sambil membayangkan wajah istri dan anakku.

Saat tiba di rumah, setelah mendobrak pintu yang terkunci dari dalam, aku menemukan anakku yang berusia dua tahun lebih sedikit sedang mencoret-coret cermin dengan ujung gincu milik istriku. Ia menabur pupur di seluruh lantai di kamar tidur,seperti menabur abu sisa bakaran mayat seseorang entah siapa di lautan.

Ia menghamburkan pakaian kotor dalam keranjang di dekat lemari. Ia bercakap-cakap dengan boneka-boneka kecil hadiah ulang tahunnya yang pertama. Di dapur asap mengepul seperti baru saja terjadi sebuah ledakan.

Tanpa kesedihan dan ketegangan, aku berlari menuju kamar dan memeluk anakku lalu membangunkan istriku yang sedang berbaring telentang di lantai dekat ranjang dengan menggoyang-goyangkan bahunya beberapa kali, tetapi tetap saja tak ada kemungkinan ia akan bangkit.

Anakku memanggil ibunya dengan derai airmata.

Abdul Karim lahir 21 Oktober 1996. Tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bergiat di Perpustakaan Warungbaca

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads