Angin dan Mahoni

Cerita Pendek

Angin dan Mahoni

Haryo Pamungkas - detikHot
Minggu, 15 Mar 2020 10:29 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Ahmad Fauzan Kamil/detikcom
Jakarta -

Di persimpangan lelaki itu ambil kiri, berjalan sepuluh langkah kemudian berbelok pada gang kecil dan menuruni anak tangga yang terbentang. Cahaya hanya milik lampu temaram di satu dua teras rumah yang berjejer memanjang di kedua sisi, ia berjalan turun mengikuti bunyi gemercik arus sungai yang mengundang nun di bawah sana.

Tapi kemudian ia berbalik, sekelibat bayangan menghentikannya menuruni anak tangga menuju sungai. Bayangan dua orang, sedang tiduran di sisi kiri anak tangga. Setelah menyipitkan matanya, ia memastikan beberapa botol minuman tergeletak di samping mereka. Itu mengingatkannya akan satu hal yang buruk di masa lalu. Maka ia memutuskan berbalik, menaiki beberapa anak tangga dan berbelok di muka gang.

Jalanan lengang, sesekali hanya terdengar mesin kendaraan dari jauh dan lolongan anjing yang memecah kesunyian. Di ujung, ia mengamati lampu jalan yang berkelip nyaris mati, beberapa serangga kecil terbang dan hinggap di sekelilingnya. Ia sempat mendongak ke atas, mengamati awan-awan yang bergerak lambat dan satu bintang kesepian dari cahaya masa lalu. Seperti dirinya? Tak tahu.

Kemudian ia kembali berjalan. Ketika itu sudah pukul 1 pagi. Ia hanya ingin memenuhi hasrat anehnya demi mendengar gesekan angin dan daun-daun mahoni di satu tempat yang sepi-jika tempat itu benar-benar ada.

Di depan satu emperan toko ia berjalan mengendap, kakinya berjinjit penuh kehati-hatian. Di sana, di emperan beberapa gelandangan sedang tidur dalam balutan selimut yang tipis; satu di antaranya adalah gadis kecil dengan kepala boneka kusam menyembul dari balik selimutnya. Ia tak ingin mengganggu istirahat mereka: sebuah upaya sementara melarikan diri dari kenyataan yang memilukan. Ia ingin meninggalkan beberapa lembar uang namun urung sebab khawatir gerakan-gerakannya justru membangunkan mereka.

Dan ia memutuskan hanya meninggalkan doa demi keselamatan gadis kecil itu, di malam di mana udara kadang-kadang dapat mengubah kulit menjadi lebih pucat dan menggetarkan gigi-gigi.

***

Di palang pintu kereta, ia sempat berhenti. Sejenak diamatinya penjaga palang pintu yang terlelap duduk dengan seragamnya di dalam pos. Entah didorong oleh apa, ia menduga lelaki penjaga itu tengah bermimpi tentang hari pensiun yang menggembirakan --meskipun dengan gajinya agaknya cukup mustahil. Atau bermimpi tentang kereta, atau laut dan bunga-bunga. Atau kereta yang melintasi laut dan padang penuh warna beragam bunga-bunga.

Kadang, ia pun tak habis pikir, mengapa bagi beberapa orang mimpi bisa begitu menyenangkan ketimbang kenyataan. Tapi demi menghindari berprasangka yang melesat terlalu jauh, ia memutuskan berjalan meninggalkan lelaki penjaga itu dan samar kobaran api unggun yang memantulkan wajah cantik beberapa perempuan di persimpangan kereta. Apakah ia harus menghampiri para perempuan itu? Ia tak yakin.

Ketimbang hasrat berkencan, letupan perasaan aneh di dadanya justru membuatnya ingin memeluk mereka dan membiarkan mereka melepaskan tangis yang penuh penderitaan. Tangis terpendam para perempuan di persimpangan rel kereta itu, air mata penderitaan yang purba.

Tiba-tiba sesosok perempuan mencegah di hadapannya. Ia menatapnya, perempuan itu juga menatap. Sejenak dua pasang mata tengah beradu di bawah kubah kegelapan malam yang sunyi. Perasaan aneh di dadanya berubah menjadi kikuk luar biasa, perempuan itu berusaha mendekat namun ia telah menyiratkan tanda tidak dan berjalan melewati perempuan berambut legam sebahu itu dengan cepat.

"Mampirlah, malam ini, khusus untuk Anda hanya dua puluh, Tuan," perempuan itu berkata, suaranya serak, seolah memohon, namun ia telah melangkah meninggalkan perempuan itu cukup jauh.

Di dekat persimpangan kereta itu warung-warung dengan cahaya temaram berjejeran memanjang. Beberapa lelaki duduk di bangku depan, ada yang bermain kartu dan satu di antaranya terlihat tengah memangku seorang perempuan. Masing-masing mereka menjepit sebatang kretek yang menyala di ujungnya dan empat gelas seperempat terisi berada di atas meja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian, sebuah suara menyapanya, suara perempuan yang berat, "Mampirlah, Tuan, minumlah. Aku tahu hatimu haus."

Ia menangkap samar-samar bayangan perempuan berdiri di bawah gardu listrik, di seberang jalan. Tapi, sekali lagi, ia tak ingin menjelaskan letupan perasaan aneh di dadanya, kepada siapapun, termasuk perempuan itu. Ia hanya perlu berjalan, terus berjalan mencari hasrat anehnya yang lain tentang gesekan angin dan daun mahoni.

"Manusia membangun kota, dan kota mengubah mereka," gumamnya, untuk pertama kali, kepada dirinya sendiri saat dilihatnya dua orang polisi turun dari mobilnya di depan warung-warung dan hilang ditelan temaram lampu bersamaan dengan bayangan dua perempuan yang mengikutinya. Ia yakin satu di antara dua bayangan perempuan itu adalah si pemilik suara berat.

Setelah meninggalkan dunia stasiun beserta rahasia-rahasia di dalamnya, gerimis mendadak turun. Ia menimbang sejenak apakah harus berteduh atau kembali berjalan, dan ia menjatuhkan pilihan pada yang kedua.

Sampai di satu kelokan ia melihat seekor kucing hitam tengah menenteng seekor tikus di mulutnya --yang agaknya tengah sekarat-- dan si kucing berbalik menjauh setelah menatapnya sebentar. Barangkali si kucing berpikir bahwa ia bakal mengganggu acara santap malamnya, yang berhasil didapatkannya dengan usaha tak mudah itu. Namun demi Tuhan, demi Tuhan yang menciptakan dirinya dan si kucing, ia sama sekali tak berminat mengganggu.

ADVERTISEMENT

Ia tak berminat mengganggu siapapun, manusia atau bahkan seekor kucing sekalipun. Sebab ia hanya ingin berjalan, menyusuri dunia-dunia rahasia yang hanya dilahirkan kota dan malam. Hingga di satu jembatan ia berhenti, berdiri agak lama memandangi aliran sungai yang menabrak batu-batu besar di bawah. Ia berpikir, tempat ini adalah model yang paling mendekati tentang hasratnya yang aneh. Hasratnya?

Tak ada gesekan angin dan dedaunan di sana, hanya suara rintik-rintik kecil yang jatuh di permukaan sungai, di sisi jembatan, di rambutnya. Kemudian, secara tiba-tiba di ujung lain jembatan ia melihat seseorang tengah memainkan biola, lirih sampai di telinganya. Ia menghampirinya, lelaki itu masih menggesek biolanya seolah sedang bercerita tentang kesedihan dan luka.

"Apakah lelaki tua itu juga mengirimmu?" ia bertanya, lelaki itu berhenti menggesek biola, menatapnya.

"Ah, benar, lelaki tua itu sekarat dan aku tak sampai hati menolak keinginannya, meskipun bagiku aneh memainkan biola pada waktu-waktu seperti ini. Apa yang diperbuatnya padamu?"

"Ya, kukira lelaki tua itu akan segera mati. Ia membangunkanku tengah malam dan membuatku berjalan menyusuri seluk-beluk kota dalam kepalanya demi mendengar gesekan angin dan dedaunan. Itu, sulit." Ia memangkukan tangannya pada sisi jembatan.

"Ya, kau benar, itu memang sulit. Lelaki tua itu, pengarang kita yang kesepian itu, hidup dalam kota yang rumit. Ia tak punya ingatan tentang daun-daun mahoni yang bergesekan dengan angin. Tapi kau cukup baik dengan tetap melakukan keinginannya."

"Kupikir itu adalah keinginannya yang terakhir, dia sekarat dan akan segera mati."

"Dia akan mati, ya, ya dia memang akan mati."

Kemudian lelaki itu kembali menggesek biolanya, Love Sorrow gubahan Kreisler seolah menangis di atas jembatan di satu kota --yang tak pernah ada....

Haryo Pamungkas mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember; esai, opini, cerpen, dan puisinya tersiar di beberapa media cetak dan daring

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads