Dulu kampung ini kacau. Anak-anaknya berserak di mana-mana, menghisap lem, bercarut-marut, berkelahi, mencari pitih. Ibu-ibunya bermenung di tepi banda, menceracau, terkadang berkelahi juga, sembari mengikuti lagu yang diputar oleh beberapa pengeras suara entah dari arah mana. Bising dan pusing. Purus ini dianggap orang sebagai sarang kebiadaban di sekitar pantai Padang. Namun, bagi saya Purus merupakan, katakanlah, tambang emas.
Emas itu lantaran tidak digali di bawah tanah rumah-rumah penyok warga di sini. Emas itu adalah hasil dari endorse-endorse di media sosial. Ya, meski belakangan tidak ada lagi yang menawarkan itu kepada saya. Bagaimana lagi, saya harus menghadapi perubahan pula. Coba bayangkan, seminggu ini hanya rokok murah harga dua belas ribu per hari dan itu saya hemat-hematkan menghisapnya.
Sebenarnya saya ingin sekali bercarut, kalau boleh: pantek dia itu! Ya, bagaimana lagi, orang memang pandai-pandai. Memang cerdik sekali dia mengakali ketenaran saya di media sosial. Tibanya, pendulang saya yang dia ambil. Dia buat donasi daring untuk warga kampung emas saya itu, kemudian ibu dan anak di sana menjadi tidak biasa. Tidak seperti lanskap yang saya dapati pada awalnya, yang membuat akun saya dikenal orang banyak. Mendapat 460K pengikut, setiap unggahan sering mendapat ribuan komentar, ribuan suka, dan ratusan repost!
Ketika itu masih mudah mendapati potret anak-anak berkelahi dengan latar ibu-ibu duduk bermenung di depan gubuknya atau pemadangan serupa lainnya. Tetapi, lebih sering saya ambil per tubuh, dengan posisi kamera agak tinggi. Saya unggah dengan warna hitam putih. Hasilnya pun mendapat pujian dari warganet. Tentu saja foto-foto itu akan memancing simpati mereka.
Itu yang dieksploitasi oleh Rani Akbar, paja yang mengambil dulang dengan mengakali karya saya di media sosial. Sial! Bukan hanya memakai karya saya untuk kampanye donasinya, dia juga mengubah lingkungan dan kebiasaan objek-objek kamera saya.
Belakangan saya menyadari gelagat Rani ini dan berusaha membuat perhitungan dengannya. Dia pasti mengambil untung buat dirinya dari donasi tersebut. Tetapi, tiap kali di Purus seperti saat ini, saya tidak pernah bertemu dia.
Beberapa kali saya telah pergi ke rumah Rani di Siteba, sekitar 15 menit dari sini dengan motor, tetapi dia tidak ada di rumah. Tepat sehabis Magrib saya ketuk rumahnya dan menunggu hampir 10 menit. Tidak pernah ada balasan. Seperti itu terus. Sepertinya ia tahu saya datang meminta pertanggungjawaban dan ia terus mengelak.
Kini saya turut lagi dia ke sana. Semoga saja dia mau berhadapan. Kalau tidak. Lihat saja nanti. Saya habiskan rokok sebatang ini dulu.
***
Bertamu ke rumah orang entah jam berapa. Apakah dia tidak tahu bahwa jam Magrib itu orang mandi, bersih-bersih, salat, menyiapkan makanan. Tidak pula mau menunggu orang bersigap. Sudah lah keras-keras memanggil orang, menggaduh solat orang, ketika keluar dia tidak ada lagi di depan rumah. Ini orang ingin bertamu atau memberi harapan palsu. Dasar laki-laki.
Saya kira laki-laki itu adalah Ares yang sering memoto warga Purus. Kemarin seorang ibu di Purus memberi tahu bahwa dia selalu menanyakan saya dan pergi ke rumah, tetapi saya tidak ada di rumah. Kalau bertemu dia nanti akan saya katakan bahwa waktu Magrib itu waktu orang sibuk.
Hari ini sengaja saya agak lama di Purus, menanti Ares, mudah-mudahan dia datang. Barangkali ia ingin menegur saya, karena saya langsung saja memakai foto-fotonya untuk kampanye donasi di dunia maya. Waktu itu saya yakin, bahwa dia pasti senang, seperti beberapa ulasan karya fotonya itu, bahwa Ares merupakan fotografer yang berpihak pada rakyat pinggiran. Makanya tidak minta izin, saya pikir bagaimana pun pasti dia setuju dengan proyek kemanusiaan ini.
Tidak disangka pula sebenarnya, bahwa pengaruh karya-karya Ares ini cukup besar. Padahal, target pengumpulan donasi pada awalnya hanya untuk sekadar membantu warga Purus saja, tidak sampai begini, seperti hari ini. Sampai bisa membuat program jangka panjang sehingga dapat menghasilkan untung sendiri oleh warga dan komunitas fasilitator di Purus ini.
Gara-gara buat donasi daring itu pula saya jadi terikat di sini. Padahal sudah saya katakan pada mereka, bahwa saya hanya bisa membantu untuk kampanye dan mengumpulkan donasi daring, saya juga ada kerjaan lain di komunitas lain. Lagian, saya tidak terlalu mengenal wilayah ini. Tetapi, komunitas fasilitator di sini malah meminta saya sekaligus mengurus keuangan program-program memberdayakan warga Purus ini.
Katanya, mereka kapok setiap ada dana bantuan untuk warga di sini pasti selalu tidak beres, ujung-ujungnya komunitas di sini saling berkelahi gara-gara duit. Ya sudah, saya bantu di situ saja, tidak sampai ke mana-mana ya, saya tegaskan kepada mereka.
Sudah larut hari, Ares belum juga datang. Tampaknya dia memang tidak ke sini. Ya sudah, besok saja, atau minggu besok, atau bila beruntung bertemu. Padahal dia bisa mengontak media sosial saya kan untuk membuat janji.
***
@Adam63x: Kalian tahu tentang meninggalnya Rani Akbar beserta rumahnya yang terbakar kan? Sekarang memang tidak banyak yang membicarakannya, dan klaim polisi masih itu juga, bahwa yang memicu kebakaran adalah ledakan kompor gasnya sore itu. Saya punya asumsi siapa pelakunya. Sebuah Utas.
@Adam63x: Pertama, seperti yang kalian tahu, tahun lalu Rani Akbar membuat donasi daring untuk kampung Purus, itu membuat warganya menjadi lumayan makmur dari sebelumnya, didukung oleh kerja komunitas di sana. Akbar memakai karya Ares untuk kampanye donasinya.
@Adam63x: Saya sempat ke Purus itu, melihat dan memoto aktivitas warga. Dan tentu berbincang dengan mereka.
@Adam63x: Nah, kalau kalian mengikuti karya Ares pasti tampak setelah donasi tersebut, mungkin beberapa bulan setelahnya, fotografer ini jarang muncul. Tidak ada yang mengulas karyanya, tidak ada perdebatan kusir di media sosial gara-gara fotonya. Akunnya juga jarang mengunggah.
@Adam63x: Setahun ini, tepatnya setelah kematian Akbar, Ares kembali muncul dan memancing kontroversi kembali. Atau katakanlah ia kembali populer setelah tenggelam sebelumnya setelah donasi itu.
@Adam63x: Kalian merasa ada yang aneh tidak?
@Adam63x: Keanehan selanjutnya adalah perubahan di kampung Purus itu. Sebelum donasi, kampung itu adalah wilayah tempat Ares berkarya. Foto-fotonya tentang orang miskin itu. Setelah donasi, warganya bisa menghasilkan uang dari kegiatan yang dikelola oleh komunitas di sana.
@Adam63x: Artinya, kemiskinan yang menjadi senjata Ares menjadi tidak ada, sehingga karyanya juga jarang muncul setelah donasi itu.
@Adam63x: Sekarang, setelah kematian Akbar, komunitas di sana tidak lagi jalan, proyek-proyeknya juga jarang. Seperti yang tampak pada karya-karya Ares mutakhir ini, kemiskinan tetap menjadi fokusnya. Artinya, warga di sana kembali pada kondisi semula.
@Adam63x: Kalian bisa liat korelasinya kan? Jangan-jangan yang membakar rumah dan membunuh Akbar adalah....
@Hnryunan737: Hoaks, hoaks!
@Yssiput0022: Kenapa polisi tidak melanjutkan penyelidikannya ya?
@Hrrykurni8282: Jadi maksud loe, nasib warga Purus tergantung mereka berdua? Udah kayak dewa aja mereka.
@Miraandaa04: Paan sih, kebanyakan nonton pelem detektip.
@MHaminRZQ9: Fotonya jelek-jelek kok dan tidak etis lagi, mana mungkin bisa sampai begitu. Coba kalian liat ulasan-ulasannya, rata-rata pada mencaci karya dia.
@aaazioms: Aah kritikus pada iri aja, padahal gara-gara fotonya donasi menjadi tinggi kan.
@Whayyun: Hati-hati lu, ini bisa dilaporin ke polisi, kena UU ITE dan pencemaran nama baik.
Adi Osman lahir di Padang, 11 Mei 1994. Bergiat di ruang studi sastra dan humaniora Lab Pauh 9
(mmu/mmu)