Nawa di Ladang

Cerita Pendek

Nawa di Ladang

Afri Meldam - detikHot
Minggu, 23 Feb 2020 10:41 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Bertelanjang kaki, Nawa menuruni undakan tanah menuju anak sungai di kaki bukit. Hujan semalam telah membuat jalan setapak itu menjadi begitu licin. Sedikit saja kehilangan keseimbangan, sudah dipastikan ia akan terjungkal lalu terguling ke sisi jurang yang dipenuhi bebatuan ngarai. Ia memang saban hari melewati jalan setapak itu, dan ia sudah hapal semua ceruk dan lekuknya. Namun, dengan Mayang di gendongannya kini, ia tentu harus lebih memperhitungkan setiap langkahnya.

Tak biasanya Mayang rewel begini. Ia menangis meronta-ronta ketika Nawa hendak menutup pintu dari luar dan berontak lepas dari gendongan kakaknya. Nawa tak punya pilihan lain selain menggendong anak bungsunya dengan melilitkan kain panjang di punggung, sementara dua tangannya memegang jeriken bekas minyak.

Sudah lama sebenarnya Nawa meminta suaminya memasang selang plastik untuk mengalirkan air dari anak sungai yang ada di punggung ladang mereka. Andai saja itu bisa, tentu ia tak harus bersusah payah saban pagi dan petang mengambil air ke sungai. Mereka tinggal meletakkan sebuah baskom atau drum bekas di samping pondok sehingga air bisa dijangkau langsung dari dapur. Tapi karena jaraknya yang lumayan jauh, selang yang dibutuhkan tentu sangat panjang. Mungkin lima sampai tujuh gulungan. Dan mereka tak pernah mempunyai cukup uang untuk itu.

Hasil penjualan sayur-mayur yang mereka tanam di ladang sering tak menentu. Jika musim sedang bagus, mereka bisa menjual cabai atau mentimun dengan harga yang lumayan tinggi. Tapi yang lebih sering terjadi justru sebaliknya. Panen di ladang sering bertepatan dengan melimpahnya sayuran yang dibawa pedagang dari Lintau atau Payakumbuh, sehingga mereka terpaksa menjual hasil ladang dengan harga sangat murah.

Dulu, ketika ladang baru dibuka, apa saja yang disemai tumbuh dengan subur. Nawa masih ingat, begitu abu sisa pembakaran ladang menyatu dengan tanah hutan yang hitam gembur, mereka tinggal menebar benih mentimun, bayam dan sawi ke segala penjuru mata angin. Tak berselang lama, tunas-tunas muda tumbuh menghijau.

Namun, kini lihatlah! Daun-daun cabai yang semula hijau mengkilap cepat saja menjadi keriting dan lisut. Buahnya pun kecil-kecil. Serangga semakin banyak saja menggerogoti tanaman-tanaman muda itu. Mentimun yang semula bisa tumbuh sebesar pergelangan tangan, kini seolah tak mendapatkan asupan apapun dari tanah, hingga hampir semua yang dipanen Nawa belakangan ini tak lebih hanyalah mentimun bungkuk. Kawanan monyet pun kini lebih sering bertandang ke ladang mereka, mencuri putik-putik labu dan mencabuti pangkal ubi jalar yang mulai membesar.

Betapa tak adilnya hidup, pikir Nawa, sambil terus menuruni undakan tanah menuju sungai. Ada orang-orang yang telah bersusah payah setiap hari memeras keringat hingga kerontang, bekerja siang malam tanpa menghiraukan hujan maupun panas, tetapi masih hidup dalam kepapaan. Sementara sebagian yang lain cukup menunggu orang-orang bekerja untuk mereka atau tinggal memakai seragam dan berangkat ke kantor berpendingin udara.

Ia juga membayangkan teman-teman aliyah-nya yang kini tentu hidup senang dengan pekerjaan mereka masing-masing. Puti, anak tauke karet, yang meskipun hanya mempunyai otak pas-pasan, bisa terus melanjutkan sekolah hingga menjadi bidan. Kabarnya temannya itu sekarang bekerja di rumah sakit paling besar di Pekanbaru. Ia dengar juga kabar tentang Ranti, teman sebangkunya yang kini membuka toko pakaian di pusat perbelanjaan di Padang. Begitu juga dengan Inun, yang katanya telah membuka rumah makan di Palangkaraya. Dan, Gadih! O, betapa tak berartinya ia jika dibandingkan dengan teman satu kampungnya itu.

Gadih kebetulan sedang pulang kampung, dan begitu mereka bertemu di pasar dua hari yang lalu, Nawa seolah ingin lari saja ke ladang dan mengunci diri di dalam pondoknya. Karena di sanalah tempat yang pantas untuknya kini. Ia yang sudah bertahun-tahun tak menyentuh pena dan kertas, yang hanya bisa melumuri mukanya dengan bedak beras, yang tumit kakinya retak rengkah dan mengeras...

Namun, Gadih merangkulnya erat, menciumi Mayang dan Lian berulang kali, lalu membawa mereka ke kedai sate Angku Sutan. Meski awalnya terasa sedikit canggung - demi mengingat semua perbedaan di antara mereka kini - mereka akhirnya larut dalam kenangan hari-hari sewaktu di aliyah dulu. Juga, tentu saja, menagih cerita masing-masing setelah mereka menamatkan bangku sekolah - bagian yang sebenarnya ingin dihindari Nawa.

Setamat aliyah, ia dan Gadih ikut seleksi beasiswa untuk kuliah ke Jawa. Nawa masih mengingat semuanya dengan jelas. Pagi buta, ibu sudah membangunkannya dan menyuruhnya bersiap-siap. Ya, bus ke kota Padang, tempat ujian dilangsungkan, hanya ada satu dan berangkat seusai salat Subuh. Itu hari yang sangat penting dalam hidup Nawa. Ia tak benar-benar bisa tidur malam itu. Selepas Isya, ia menyempatkan diri membuka-buka buku, sekadar mengingat poin-poin yang mungkin saja keluar pada saat ujian nanti. Ia juga mencoba membayangkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan nantinya pada sesi wawancara.

Pengumuman hasil ujian sempat ditunda beberapa kali, entah karena alasan apa. Begitu akhirnya hasil tes diumumkan dan hanya Gadih yang lulus, Nawa mencoba berbesar hati meski pahit tentu saja harus ia telan. Ia turut bangga atas kelulusan sahabatnya sendiri. Dan ketika Gadih berangkat ke Jawa untuk melanjutkan sekolah, ia ikut melepas kepergian sahabatnya itu ke bandara.

"Aku iri padamu, Gadih. Kau bisa mewujudkan cita-citamu menjadi seorang dosen. Sementara aku, kau bisa lihat sendiri. Aku hanya seorang perempuan ladang..." Gadih kembali memeluk Nawa. "Kau perempuan hebat, Nawa. Kau ibu yang hebat. Dari rahimmu telah lahir anak-anak luar biasa ini. Itu anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya..."

Nawa paham belaka bahwa kata-kata itu tak lebih hanyalah upaya Gadih untuk membesarkan hatinya. Lagipula, apa istimewanya menjadi perempuan seperti dia? Semua orang bisa melakukan apa yang ia kerjakan setiap hari: bangun Subuh, menjerang air, menyeduh kopi untuk suaminya, turun ke sungai mengambil air, memasak, menyiangi tanaman di ladang. Semua itu hal-hal biasa yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Sementara untuk menjadi seorang dosen seperti Gadih? Hanya Gadih yang bisa melakukan itu.

"Kau tahu, bulan lalu aku tanpa sengaja bertemu dengan Akmal di Jakarta." Gadih menyebut nama salah satu teman laki-laki mereka waktu sekolah. Nama yang dulu selalu menjadi bagian dari doa Nawa.

"Oh ya? Ia bekerja di Jakarta juga? Kerja apa ia sekarang?" Nawa berusaha sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutannya dan mencoba bersikap sewajar mungkin saat menyebut nama laki-laki itu.

Gadih menggeleng. "Ia sedang mengikuti seminar di sebuah hotel di Jakarta, dan kebetulan sekali kantor suamiku juga sedang mengadakan acara di sana. Ia di Makassar sekarang, sudah jadi manajer!"

Nawa tahu, Gadih tak bermaksud apa-apa dengan menceritakan kesuksesan Akmal. Namun, tetap saja ia merasa menjadi semakin tak berarti. Apa yang bisa ia banggakan di depan teman-temannya? Gambir mereka yang mulai meninggi namun kemudian pucuknya menghitam dan layu, ayam-ayam yang telurnya sering dimakan habis musang, atau perjuangannya setiap hari menuruni undakan tanah di ladang untuk mengambil air di sungai? Atau tentang harga karet yang terus turun, sehingga suaminya harus berjalan puluhan kilo ke dalam hutan hanya untuk menjadi buruh angkut kayu? Atau ia akan bercerita kepada mereka tentang setiap detik dan menit yang ia habiskan untuk mengurus Mayang dan Lian yang tingkah polahnya mulai membuat Nawa kewalahan?

Satu-satunya yang mungkin bisa ia sebut dengan bangga tentu adalah anak sulungnya, Damar, yang sebentar lagi akan naik kelas lima. Anaknya itu memang tahu di malang diri. Ia tinggal bersama mamak jauh Nawa, yang rumahnya lumayan dekat dari sekolah. Sepulang sekolah, ia membantu angku-nya itu berjualan kelontong di kedai kecil di samping rumahnya. Nilai rapornya juga cukup membesarkan hati Nawa, menjadi obat penat letih sehari-hari.

Namun, anaknya tentu tak akan sepadan jika dibandingkan dengan anak-anak Gadih, yang bahkan katanya sehari-hari terbiasa berbahasa Inggris dengan keluarga di rumah. "Aku sebagai ibu mereka kadang dibuat tak berkutik kalau mereka sudah bercerita panjang lebar dalam bahasa Inggris," cerita Gadih.

Meski badannya sudah hampir sebesar rusa betina yang sedang bunting, namun duduk di hadapan Gadih dan mendengar cerita temannya itu tak pelak membuat Nawa seolah menciut menjadi seekor tungau. Betapa ia bukan siapa-siapa. Betapa ia tak punya apa-apa.

Sebelum mereka berpisah, karena Mayang mulai rewel dan tak henti-hentinya menarik rok Nawa --menyuruh ibunya untuk segera beranjak dari sana-- Gadih meminta Nawa untuk mencarikannya daun sawi onggang dan buah bangan.

"Sudah lama sekali rasanya aku tak makan sayur sawi onggang. Aku akan masak ikan nila goreng, dan sawi onggang akan menjadi teman makan yang sangat enak. Dan, ya, buah bangan! Tolong carikan untukku," pinta Gadih dengan sungguh-sungguh.

Bagi Nawa dan orang-orang di kampung, sawi onggang tentu bukan sesuatu yang istimewa. Sawi liar itu tumbuh hampir di setiap petak tanah di ladangnya. Namun, Gadih yang tinggal di rantau tentu wajar merindukan sayur sawi onggang. Apalagi buah bangan yang hanya berbuah sekali setahun, itu pun jika musim sedang baik. Dan kebetulan sekali bersamaan dengan kepulangan Gadih saat ini pohon-pohon bangan sedang berbuah di hutan. Pada musim seperti ini, Nawa dan suaminya biasanya akan menyisir hutan lebih jauh dan mengumpulkan buah bangan yang jatuh.

Nawa tentu saja ingin memberikan semua itu sebagai buah tangan untuk sahabatnya yang hanya sempat pulang sesekali, tetapi Gadih bersikeras untuk menyelipkan beberapa lembar uang di lipatan kain gendongan Mayang. "Tak apa. Ini bukan buat kamu, tapi buat Mayang dan Lian," tegasnya, tahu kalau Nawa akan menolak.

Gadih juga menyuruh Angku Sutan membungkuskan sate untuk dibawa Nawa pulang ke ladang. "Ini untuk suamimu. Sampaikan salamku padanya. Oh iya, aku hampir lupa! Jumat besok aku akan menggelar syukuran di rumah Amak. Jangan sampai tak datang. Sekalian kau bawakan sawi onggang dan bangan pesananku..."

Setelah pertemuan itu, ia sebenarnya ingin mengajak Gadih ke rumah pondoknya di ladang, bercerita lebih lama tentang hari-hari di masa muda yang mereka lewati bersama. Namun tiap kali keinginan itu muncul, tiap kali itu pula Nawa merasa malu dengan dirinya sendiri. Betapa ia merasa bahwa sahabatnya itu bukan orang desa lagi. Lihatlah kulit Gadih yang bersih tanpa bekas luka sedikit pun. Kuku-kuku kaki dan tangannya pun tampak sangat terawat.

***

Kembali ke pondok, Nawa mendapati Lian tengah menumpahkan minyak tanah ke perapian di sudut dapur. "Apa yang kau lakukan?" Pertanyaan itu tetap saja meluncur dari mulut Nawa meski ia tahu belaka bahwa Lian sedang mencoba menyalakan api di tungku. Ini entah sudah kali ke berapa anaknya itu melakukan hal yang sama. "Ibu lama sekali. Aku lapar," jawab Lian dengan wajah masam.

Nawa segera mengambil alih. Ia susun beberapa keping kayu kering lalu menghidupkan api. Ada ikan asin sisa kemarin yang bisa ia goreng dan ia akan merebus pucuk muda ubi jalar untuk sayur. Air di baskom penampungan sebenarnya masih belum penuh dan ia masih harus turun dua atau tiga kali lagi ke sungai. Ia pun belum menjerang air untuk dimasukkan ke dalam termos. Ia berjanji akan menuntaskan pekerjaan rutinnya itu sepulang mencari bangan nanti.

Sebenarnya Nawa sudah merencanakan semuanya dengan matang: begitu ia melepas suaminya pergi ke tempat pengolahan kayu di hutan, dan setelah memberi makan kedua anaknya, ia akan menidurkan Mayang lalu meminta Lian menjaga adiknya itu. Sementara itu ia akan bergegas ke puncak ladang, berjalan sekira seperempat jam ke arah hulu, untuk mengambil buah bangan pesanan Gadih. Namun, entah mengapa, Mayang seperti mengetahui semua rencananya, dan anak bungsunya itu tak mau lepas dari gendongannya sejak Subuh. Berkali-kali Nawa mencoba membujuknya agar mau tidur, tetapi mata Mayang terus saja nyalang.

Nawa tak punya pilihan lain. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan buah bangan itu hari ini. Ia sudah berjanji untuk membawakan buah itu besok ke rumah Gadih. Temannya itu pasti akan sangat kecewa jika Nawa datang ke sana tanpa buah bangan yang sudah sangat diidamkannya.

Sebelum matahari meninggi, ia pun memboyong kedua anaknya mencari buah bangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

***

Turun dari punggung ladang dengan sekantong besar buah bangan, Nawa melihat asap membubung dari pondoknya. Rupanya suaminya sudah pulang.

"Kupikir aku lupa mematikan api di tungku sebelum pergi," ujar Nawa melepas rasa cemas yang sejenak bergelayut. Ia kemudian membaringkan Mayang yang sudah tertidur di gendongannya.

"Kalian dari mana?" suaminya membalas dengan tanya sambil menyambut Lian di pangkuannya.

Nawa menunjuk sekantong besar buah bangan yang tadi ia letakkan begitu saja di bibir pintu. "Gadih pulang dari Jakarta dan ia memintaku mencarikannya buah bangan."

"Gadih anak Guru Hasan?"

Nawa mengangguk.

Api di tungku yang tadi dinyalakan suaminya tampak membesar di tiup angin. Bunyi mendesis dari dalam panci mulai terdengar. Nawa mengambil gelas dan mengisinya dengan bubuk kopi.

"Kau tahu, setiap kali orang-orang membicarakan keberhasilan Gadih dan segala kebaikan keluarga mereka, aku selalu merasa....."

"Sudahlah, Uda. Tak perlu kita mengungkit-ungkit masa lalu..." Nawa buru-buru memotong sebelum suaminya kembali mengulang cerita itu. Cerita yang entah sudah berapa kali ia dengar dari orang-orang. Bahwa kalau bukan karena ia anak Guru Hasan, Gadih tak akan bisa mendapatkan beasiswa itu. Bahwa nilai ujian mereka telah ditukar oleh panitia atas suruhan seseorang berpengaruh di provinsi yang kenal baik dengan Guru Hasan. Bahwa Nawalah yang seharusnya berangkat ke Jawa untuk melanjutkan sekolah....

"Kenapa Uda sudah pulang sesiang ini?" Nawa mengusung tanya sekaligus mengalihkan pembicaraan.

Suaminya menghela napas. "Mesin di sana rusak lagi. Hanya sedikit kayu yang bisa diangkut dan itu pun sudah habis dibawa oleh orang-orang yang datang lebih dulu," keluhnya.

Nawa menyeduh kopi lalu menghidangkannya di depan laki-laki itu. Ia kemudian kembali ke dapur, mengambil dua jeriken bekas minyak dan melangkah ke luar pondok.

Masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Afri Meldam lahir di Sumpur Kudus, Sumatra. Menulis cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya Hikayat Bujang Jilatang (2015). Kini menetap di Jakarta

ADVERTISEMENT

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads