Michael Thio Fuk Kam

Cerita Pendek

Michael Thio Fuk Kam

M. Joenoes Joesoef - detikHot
Minggu, 16 Feb 2020 09:31 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Saya agak heran juga, saat cucu saya bilang, ada telepon dari Hendra Tan Bun An. Ada apa ini, tanya saya dalam hati. Hendra Tan Bun An (yang sering dipelesetkan orang usil jadi Hendra Tambunan) tadinya pedagang bahan bangunan dekat kompleks kami. Satu-satunya pula. Tetapi sikapnya tidak lalu mentang-mentang. Rupanya dia paham juga soal symbiose mutualistis, hubungan saling menguntungkan karena saling membutuhkan. Maka usahanya maju cukup pesat. Lima tahun terakhir dia pindah tempat usaha ke ruko yang representatif.

Saya dan Hendra sudah cukup lama tak saling kontak, karena memang tak ada hal-hal yang menyebabkan kami perlu kontak.

"Saya baru kembali dari kampung, Pak Noeswar," kata Hendra.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pontianak?"

"Betul, Pak. Di sana saya bertemu Pak Maikel. Beliau sekarang jadi grosir air kemasan, termasuk yang terbesar. Beliau minta saya menyampaikan salamnya kepada Bapak. Harus secara pribadi, kata Pak Maikel. Maksud beliau, saya harus langsung menemui Bapak. Apalagi memang ada bingkisan titipan dari beliau. Tetapi, mohon maaf, Pak Noeswar, sekarang ini saya belum bisa datang. Saya harus segera ke Singapura. Papa saya sedang kritis di Mount Elizabeth. Tentang bingkisan itu, nanti saya suruh orang antarkan."

ADVERTISEMENT

"Pak Maikel masih ingat saya?"

"Sangat ingat, Pak, sangat ingat. Beliau bilang, berkat doa dan petunjuk-petunjuk Bapak dulu itu, maka beliau dapat bertahan, sampai sekarang. Kalau tidak, entah apa jadinya dengan beliau."

"Ah, bisa lebay juga Pak Maikel ini," kata saya, tertawa.

***

Saya jadi ingat masa-masa sekitar tahun 1998 dulu. Ketika itu saya dan beberapa jamaah lain punya kebiasaan rutin untuk omong-omong lepas di teras musala, setiap usai Salat Subuh. Kebetulan musala itu terletak di pinggir jalan masuk kompleks kami. Jadi kami pun dapat melihat, siapa saja yang lalu lalang di waktu itu. Kami tandai beberapa orang yang tampaknya disiplin mengatur jadwal, sehingga setiap pagi selalu melintas pada saat yang relatif sama. Salah satunya adalah Michael Thio Fuk Kam, yang kami panggil Pak Maikel.

Sekitar pukul 5.20, Pak Maikel tentu akan lewat, sambil tak pernah lupa menyalami kami. Dia mengemudikan mobil box Toyota yang sudah tua, untuk menemui para pelanggannya. Dia pengusaha makanan kecil, seperti kacang atom, kacang asin dan semacamnya. Semua dikerjakannya di rumah, dibantu istrinya, seorang wanita asal Solo.

Saya bertetangga dengan keluarga itu, jadi saya tahu, bagaimana cara kerja mereka. Dan itu adalah kerja keras, sangat keras, malah. Seringkali sampai jauh malam mereka masih terus berkutat mempersiapkan barang-barang yang harus diantarkan pagi harinya.

****

Pada suatu pagi, ketika Pak Maikel melintas, Pak Sarwo Guntoro, pensiunan Departemen Agama, berkomentar, "Ya, begitulah kalau jadi orang Cina ya, tak pernah puas cari duit. Semua waktu kayaknya selalu dipergunakan untuk cari duit. Apa kalau mati nanti, duitnya dibawa juga ya? Kan pasti tidak."

Komentar itu segera "disambar" oleh Dahlan "Bacot", "Dalam hal ini, Pak Gun salah persepsi. Apa yang dilakukan Pak Maikel itu tak ada hubungannya dengan soal puas dan tidak puas. Tetapi memang sudah begitulah etos kerja orang Cina. Mereka selalu bekerja keras, teliti dan hemat. Itulah yang sepatutnya ditiru oleh orang-orang kita."

"Rasulullah sendiri kan sudah mengatakan, carilah harta seakan-akan kamu akan hidup selamanya, tetapi beribadahlah seakan-akan kamu akan mati besok. Jadi Islam tidak melarang orang kerja keras untuk jadi kaya. Duit memang tidak akan dibawa mati. Tetapi dengan duit itu kan orang bisa melakukan banyak hal secara nyata. Berinfak. Bersedekah. Menyantuni fakir miskin. Mengayomi anak yatim piatu. Pahalanya kan kembali kepada kita juga."

"Etos kerja Pak Maikel itu perlu ditiru, Pak Gun. Seperti Pak Gun sendiri kan punya warung bakso. Kembangkan warung itu, misalnya dengan tambahan jualan jus buah atau apa. Pastilah penghasilan Pak Gun akan bertambah, kesejahteraan Pak Gun akan meningkat. Dan amal jariyah Pak Gun bisa ikut meningkat pula."

Dahlan "Bacot" ini mahasiswa ekonomi semester akhir, asal Minang, terampil dan suka sekali bicara. Itulah sebabnya maka namanya ditambahi "bacot" --tentu saja di belakang dirinya.

Mendengar usul itu, Pak Gun memberungut, "Ora sudi aku!"

"Mengapa begitu, Pak Gun?!?" Dahlan "Bacot" heran.

"Buat apa? Wong kalau mati, paling banyak cuma bawa kain kafan lima meter. Harta yang ditinggal malah bisa jadi sumber keributan orang-orang yang masih hidup."

Dahlan "Bacot" terdiam. Menghadapi "argumentasi" Pak Gun itu, rupanya dia kehilangan sumber untuk menjawab. Tak ada teori ekonomi apa pun yang bisa dipakainya sebagai dasar jawaban.

***

Tetapi Pak Maikel dan istrinya memang betul-betul bekerja terus dengan kerasnya. Pada suatu saat, mereka pun berhasil membuka kios di Pasar Jamblang, sebuah pasar dadakan yang berdiri untuk memenuhi kebutuhan warga kompleks kami dan kompleks lain di sekitar. Kios itu dikelola oleh istri Pak Maikel. Isinya tidak melulu makanan kecil yang mereka hasilkan sendiri, tetapi ditambah dengan kue-kue basah yang disebut jajan pasar. Dan, untuk itu Pak Maikel bekerja tambah keras.

Belum pukul empat dini hari dia sudah berangkat ke Pasar Senen, pusat penjualan jajanan itu. Sambil pulang, sekaligus dia menghampiri para pelanggannya. Begitu Pasar Jamblang memulai aktivitasnya, jajan pasar itu sudah nangkring di kios istrinya. Peminatnya cukup banyak. Malah untuk hidangan kegiatan pengajian, arisan antarwarga atau semacamnya banyak yang memesan ke kios itu.Kalau untuk keperluan acara-acara agama, seperti Maulid atau Mikraj Nabi, langsung diberi diskon 30 persen. Saya tak tahu, apakah mereka rugi atau pulang pokok dengan diskon seperti itu.

Rupanya memang benar apa yang diucapkan Dahlan "Bacot" tentang etos kerja orang Cina itu. Terus kerja keras tak kenal henti. Dan, setelah memiliki kios di Pasar Jamblang itu, Pak Maikel dan istrinya terus mengembangkan usaha. Sampai mereka berhasil punya kios di sebuah pusat perbelanjaan. Kios itu khusus menjual makanan dan minuman.

"Agaknya hokkie saya memang terletak di bidang makanan dan minuman, Pak Noeswar," kata Pak Maikel kepada saya. "Usaha saya di bidang itu hampir tak pernah gagal. Selalu dapat dikembangkan sesuai dengan rencana."

Saya segera ingat Dahlan "Bacot" lagi. Kata saya, "Pasti Pak Maikel masih punya rencana lain ya? Malah mungkin beberapa rencana."

Dia tersenyum lebar. Katanya, "Tentu saja, Pak Noeswar. Mungkin belum boleh disebut rencana ya. Katakanlah, impian. Ya, baru impian, begitu. Kalau Tuhan kasih, mungkin jadi kenyataan. Kalau tidak, ya tetap jadi impian he he he!"

"Impian apa, Pak Maikel?"

"Sebuah pabrik makanan dan minuman, Pak Noeswar. Sebuah pabrik makanan dan minuman terpadu yang besar dan luas. Impian yang terlalu mengawang-awang barangkali ya? Paling sedikit, butuh kerja keras yang berlipat-lipat dari sekarang. Tetapi akan terus saya coba. Tolong ikut doakan saya, Pak Noeswar. Doa orang tua seperti Bapak pasti akan didengar Tuhan."

Saya tidak ingat, apakah saya pernah berdoa seperti yang diharapkan Pak Maikel itu. Tetapi yang kemudian menyata, impiannya memang tak pernah mewujud. Malah hancur berantakan. Seperti bunga yang luruh sebelum berkembang. Itu disebabkan oleh "Insiden Mei" itu.

***

Pada hari yang nahas itu, jauh petang baru Pak Maikel dan istrinya pulang. Saya dan istri segera menyambanginya. Wajah Pak Maikel tampak tegang. Matanya merah. Tetapi dia masih bisa tersenyum menyambut kedatangan kami. Berbeda dengan sang istri. Wanita asal Solo itu jelas tampak betul-betul terpukul. Wajahnya pucat. Kehilangan seri dan ekspresi. Pandangannya nanar dan hampa. Ketika istri saya merangkulnya, dia hanya bisa mengisak lirih.

"Bagaimana, Pak Maikel?" tanya saya.

"Habis semuanya, Pak Noeswar. Hancur total! Tak ada apa pun yang bisa kami selamatkan. Kios rusak parah dan isinya musnah dibakar. Padahal saya baru saja menambah stok untuk tiga bulan ke depan. Saya belum tahu apa selanjutnya yang harus saya lakukan. Yang jelas cuma kios di Pasar Jamblang itulah yang sekarang jadi satu-satunya andalan kami. Entah kapan kami bisa bangkit kembali."

Hati saya ikut tergetar juga ketika mendengar kisah Pak Maikel, bagaimana gerombolan manusia yang sudah tak terkendali itu mendobrak masuk ke kiosnya, mengobrak-abrik semua yang ada di situ, lalu dengan begitu saja membakarnya. Itu semua dilakukan langsung di depan mata Pak Maikel yang sudah tak punya daya apa-apa.

Kata Pak Maikel, "Perasaan saya waktu itu mungkin sama dengan perasaan orang yang melihat anak kesayangannya dibakar hidup-hidup di depan matanya, sementara dia dibelenggu, dibikin tak berdaya. Sakit sekali rasanya. Ya, Tuhan! Bagaimana ada manusia yang bisa bertindak begitu barbar, seperti gerombolan orang-orang itu."

Ketika kami pamit, karena adzan magrib sudah terdengar, Pak Maikel menjemba lengan saya, bilang, "Pak Noeswar, saya tahu, apa yang terjadi ini adalah cobaan Tuhan kepada saya. Dan cobaan Tuhan itu pasti tak dapat saya tolak. Tetapi, apakah saya akan kuat menghadapinya? Saya belum tahu. Maka, tolong, Pak Noeswar, dalam salat bapak nanti, doakan saya, supaya saya kuat menghadapi cobaan ini. Bapak mau kan?"

Saya merasa tersedak. Saya anggukkan kepala, lalu saya rangkul Pak Maikel. Siapa pun dia, beragama apa pun dia, saya merasa, yang berdiri di hadapan saya ini adalah seorang anak manusia juga, yang sedang dilanda musibah, tergoncang batinnya dengan sangat dan merasa hanya Tuhan yang dapat menolongnya. Saya katakan dalam hati, akan saya doakan dia. Saya bilang, "Pak Maikel, Tuhan tidak akan mencobai hambanya di luar batas yang dapat ditanggung oleh sang hamba. Jadi, bersabarlah, Pak Maikel. Pada waktunya, semua cobaan akan berlalu, keadaan akan kembali seperti semula."

Sejak saat itu, Pak Maikel sering menemui saya untuk berbincang-bincang. Lebih tepatnya, untuk "curhat" tentang apa yang dirasakan dan dipikirkannya setelah dilanda musibah itu. Saya paham, secara tersamar sebetulnya dia ingin tahu, apakah Tuhan memang betul-betul mau atau dapat membantu orang-orang yang sedang berada dalam keadaan seperti dirinya. Saya bilang, "Pak Maikel, kadang-kadang manusia itu bertindak terlalu sepihak. Saat sedang dilanda musibah atau keadaan tak menyenangkan lainnya, langsung mengadu kepada Tuhan, mohon dibebaskan segera dari bala bencana yang menimpa itu."

"Tetapi bagaimana sikap manusia terhadap tuntutan Tuhan, agar jalankan segala yang telah diperintahkan-Nya dan hentikan segala yang telah dilarang-Nya? Banyak yang pura-pura tidak mendengar. Atau mendengar, tetapi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Yang paling penting, Pak Maikel jangan pernah ragukan belas kasih Tuhan. Pasti Tuhan paling sedikit akan menunjukkan jalan. Hanya saja, Pak Maikel jangan pula lupa mengimbalbaliki. Untuk itu, Tuhan tidak minta yang mokal-mokal. Cukuplah dengan beribadah kepada-Nya."

Lama Pak Maikel hanya terdiam. Rupanya dia merasa "tercubit" dengan ucapan saya itu. Ya, sepanjang ingatan saya, selama kami bertetangga, belum pernah saya lihat dia sebagai penganut Katolik pergi ke gereja pada hari Minggu. Bahkan pada perayaan Natal. Sebagai pengganti ibadah yang seharusnya dia lakukan, rupanya dia anggap cukup dengan memasang Pohon Natal yang gemebyar di rumahnya.

"Cubitan" saya ternyata bawa "khasiat" juga. Sejak itu, setiap hari Minggu, pagi-pagi sekali, dengan becak yang khusus dia langgani, bersama istrinya dia ke gereja. Ikut misa yang paling pagi.

***

Pak Maikel memang dapat bertahan terhadap musibah yang menimpanya itu. Tetapi istrinya tidak. Depresi melandanya. Semula ringan, lalu berkembang ke arah yang lebih berat. Praktis jiwanya berubah total. Dia sudah bukan lagi seorang istri andalan yang selalu siap membantu dan mendampingi suaminya, seperti yang ditampilkannya sebelumnya. Alih-alih membantu dan mendampingi, dia kini malah jadi beban bagi Pak Maikel, karena harus memberikan waktu dan perhatian yang khusus kepada dirinya. Sampai akhirnya dia meninggal empat tahun kemudian.

Sepanjang empat tahun itu pula Pak Maikel tak dapat menjalankan usahanya sebagaimana mestinya. Maka, lambat laun kondisi usahanya memburuk. Tetapi dia tak melepaskan keinginan untuk bangkit kembali. Dia pun lalu mengambil kredit ke bank dengan rumahnya sebagai agunan. Sayang, nasib baik rupanya belum berpihak kepada dirinya. Kredit itu tak terbayar. Rumah itu diambil alih oleh bank yang bersangkutan. Pak Maikel sendiri kemudian "mudik" ke Pontianak, kota asalnya.

***

Bingkisan dari Pak Maikel itu berisi enam lembar kain sarung samarinda yang asri dan halus sekali. Sayang, saya tak dapat memanfaatkannya, karena sarung-sarung itu dibuat dari sutra. Sebagai muslim, saya tak boleh gunakan pakaian dari sutra.

M. Joenoes Joesoef 82 tahun, pensiunan, menulis untuk cegah pikun; tinggal di Cikunir, Bekasi




(mmu/mmu)

Hide Ads